Rabu, 29 Oktober 2008

Cerita dari 1K SMPN 5 Bandung. 1983.

KISAH SEBUAH CELANA HAWAI

Gambaran tubuh seorang Siswi SMP sepertinya tidak sesuai dengan yang digambarkan seorang anak lelaki remaja yang sedang mengalami perubahan tubuh. Bandingkan saja, sementara remaja putrid berkembang, bermetamorfosis menjadi mahluk yang cantik, (kecuali perubahan pertumbuhan jerawat). Segala daging menempati belulang yang tumbuh dengan baik. Pinggul, pinggang, betis, panggul, perpembangan buah dada. Dan apa lagi? Suara denngan aneka warna. Suara yang sepertinya indah sekalipun secempreng Gina Nycta.

Sedang anak lelaki mengalami keadaan anehnya. Pertumbuhan tubuh melebar yang aneh. Atau pertumbuhan meninggi, menjulang. Suara pecah dari selembar pita suara yang mengalami perubahan, pertumbuhan jakun yang membuat sebagian orang nampak menggelikan. Tentang suara ini, aku ingat temen SMPku di Bandung dulu, dia sampai mendapat julukan Gaang dibelakang namanya. Gaang adalah sejenis serangga yang mengeluarkan suara tak nyaman.

Suatu ketika aku mengalami hal yang membuatku sadar akan perbedaan pola pertumbuhan ini. Sebelum kejadian ini aku merasa aku sama saja dengan teman-temanku yang lain. Aku bisa memanjat pohon, aku bisa main kelereng, main bola.... yaa sampai suatu saat, yang karena –rasa sama-sama- ini, aku bermain bola di kelas. Sebenarnya siswi yang bermain bukan aku saja. Aku begitu menikmati permainan ini. Jeritan siswi-siswi sepertinya lebih heboh dari cherrleader para banci yang dipimpin siswa terheboh di kelas.

Gol! Gol!

Lalu aku terpeleset. Tersingkaplah rok biru tuaku. Ibuku menjahit rok ini dengan ekstra panjang (dibanding jamannya, yang sebatas –pas lutut). Tersingkapnya rokku, membuat seisi kelas menjerit, dan koor para banci dengan suara bas-bariton yang pecah (1 x lagi karena pita suara belum sepurna).

Malu! aku begitu malu.

Setelah kejadian itu aku baru sadar, kenapa ibuku memberi baju-baju ekstra longgar, ekstra panjang bagiku. Pasti karena dia ingin anaknya tak terlihat seksi. Setelah kejadian itu aku pun membentengi diri dengan celana hawai dibalik rokku yang extra large.

Hanya untuk sementara, karena malu, aku lebih feminin. Mungkin karena kejadian itu, teman-teman lelakiku jadi sadar juga, bahwa aku seorang –anak perempuan-. Yang terkesan sampai saat ini, adalah, aku merasa, lewat kejadian itu, para siswa yang biasanya dengan nakal mencari kesempatan mengintip ke dalam rok siswi lewat secuil cermin penserut yang diselipkan di tali sepatu, tidak melakukannya padaku. Bukan! bukan karena aku tak membuat penasaran/tidak seksi... tapi sepertinya mereka menghormatiku sebagai anak perempuan.

Tapi, hanya sementara saja. Aku begitu tergoda dengan keributan anak lelaki didepan kelas bermain bola, dengan bola dari gumpalan kertas ulangan yang dikumpulkan anak-anak sekelas karena nilainya kurang dari lima koma lima. Sebuah tradisi gila menyambut nilai jelek sekelas!

Kakiku, tanganku telah menghianatiku, untuk tak bergabung dengan mereka. Apalagi saat bolanya nyasar di mejaku yang dipenuhi dengan majalah gadis.

Baiklah aku bergabung lagi! kusambut lemparan bola ini... Sialnya aku terjatuh lagi. Tapi kali ini aku tak perlu malu, aku telah melapisi rokku dengan celana hawai. Semua tertawa-tawa. Aku tertawa.

Tak ku duga, peristiwa itu adalah peristiwa lebih memalukan dari sebelumnya. Sekalipun aku sudah bercelana hawai. Apalagi saat aku baca lemparan kertas ke mejaku, surat dari teman. Saat itu kami belum mengenal SMS seperti sekarang ini. Isi surat yang membuat aku selalu ingat dengan kelas satu SMPku itu;

Hallo lady,

kamu masih pakai celana pendek motif kembang-kembang, kan?

Translator: