Begitu riuh suara gadisku beberapa hari lalu. Dia tanya beli bunga mawar
yang sebatang itu dimana. Katanya OSIS
memberi pengumuman untuk menyiapkan sebatang mawar yang akan dipersembahkan
pada guru hari ini.
Waktu kudengar
proposalnya, aku langsung menyahuti, “Hanya setangkai mawarkah yang kau akan
kau berikan pada gurumu?” maka kujelaskan keberatanku tentang setangkai mawar
ini.
Bila setangkai mawar ini
seharga Rp. 15000, tidakkah sebaikanya uang sebesar itu dikumpulkan sekelas,
bisa terkumpul uang sebesar RP. 600000, yang bisa dibelikan barang yang lebih
manfaat buat gurunya? Tas, sepatu? Atau sebentuk cincin mas? Saya kira gurupun lebih senang menerimanya,
dibanding setangkai Mawar yang akan melayu dan berakhir di keranjang sampah.
Sebenarnya setangkai
Mawar, atau sebuah bingkisan hanya sebagai penanda hari saja. Tapi selebihnya,
kita tak pernah mampu membayar jasa seorang guru pada kita, ataupun anak-anak
kita. Kalkulasi matematikanya benar-benar rahasia Tuhan.
Karena menjadi guru
bukanlah hal yang mudah. Selain dituntut menguasai ilmu yang ia sampaikan pada
muridnya, dia pun harus menjadi pendidik yang sabar. Tekun mengajari siswa yang
kurang. Menyediakan ruang toleransi yang lebar saat siswanya nyeleneh, atau
bikin jengkel.
Guru itu mengajarkan dari
tidak tahu menjadi tahu. Mendidik karakter siswa dari latar belakang keluarga
dan lingkungan yang sangat beragam. Tapi yang paling diharapkan semua orang tua
murid adalah guru yang mampu menginspirasi muridnya.
Berpuluh tahun lalu, saat
seorang guru SDku menceritakan tentang sebutir kacang, lingkungan yang
melingkupi, aneka hewan yang memburunya, bagaimana sebutir kacang ini menjadi
sambel, menjadi sumber tanaman baru, menjadi biji yang dapat di awetkan yang
bahkan untuk digunakan di masa depan (belakangan dalam majalah NatGeo, ternyata
memang ada bank biji, yang ditujukan untuk masa depan yang paceklik!). Jika
Tuhan memberi hidayah, aku analogikan saat itu aku-pun menerima ‘inspirasi’. Aku ingin mengetahui lebih banyak lagi
tentang kehidupan yang ajaib!
Maka menjadi wajar bila di Finlandia seorang guru menempati status
sosial yang dihormati. Tidak kaya, tapi pemuliaan masyarakat terhadap profesi
ini kurang lebih membayar jerih payah Guru. Bagaimana dengan di negeri ini?
Bukan hanya ada di
cerita ‘Laskar Pelangi’ cerita tentang
compang-camping dunia pendidikan. Tapi, saat ini, di NKRI masih banyak, guru di
pedalaman terseok berjalan menuju sekolahnya. Bahkan sekolah sambil disaksikan
beruang (sekolah Rimba, Butet Manurung). Di Garut, temanku, Yoni Haryadi
lulusan TL ITB mengajar di samping
kandang Kambing. Mengajari murid-murid dari pelosok, menggugah semangat
menggapai masa depan bagi anak-anak pegunungan. Kata Yoni, Kambing selalu
lebih cepat menjawab saat ada pertanyaan yang dilontarkan guru. Lucu, sekaligus
ngilu.
Lantas apa yang di dapat
guru-guru pedalaman seperti ini? Saya yakin, langkah murid-muridnya yang
menyusuri sungai, gunung, berbekal semangat, bercita-cita setinggi langit
nilainya melebihi dari setangkai mawar.
Murid-murid dari masa lalu
yang bertandang kepadanya, berkabar telah menjadi ini dan itu, berbakti di sana
sini, tanpa lupa dari mana semua ilmu itu berasal, sungguh menjadi kado
terindah sepanjang hidup setiap guru.
Maka putriku, jadilah kamu
seperti itu. Orang yang membanggakan gurumu. Hingga kaulah kado terindah itu.