Minggu, 24 November 2013

Guru, Untukmu Tak Cuma Setangkai Mawar



Begitu riuh suara gadisku beberapa hari lalu. Dia tanya beli bunga mawar yang  sebatang itu dimana. Katanya OSIS memberi pengumuman untuk menyiapkan sebatang mawar yang akan dipersembahkan pada guru hari ini.
            Waktu kudengar proposalnya, aku langsung menyahuti, “Hanya setangkai mawarkah yang kau akan kau berikan pada gurumu?” maka kujelaskan keberatanku tentang setangkai mawar ini.
            Bila setangkai mawar ini seharga Rp. 15000, tidakkah sebaikanya uang sebesar itu dikumpulkan sekelas, bisa terkumpul uang sebesar RP. 600000, yang bisa dibelikan barang yang lebih manfaat buat gurunya? Tas, sepatu? Atau sebentuk cincin mas?  Saya kira gurupun lebih senang menerimanya, dibanding setangkai Mawar yang akan melayu dan berakhir di keranjang sampah.
            Sebenarnya setangkai Mawar, atau sebuah bingkisan hanya sebagai penanda hari saja. Tapi selebihnya, kita tak pernah mampu membayar jasa seorang guru pada kita, ataupun anak-anak kita. Kalkulasi matematikanya benar-benar rahasia Tuhan.
            Karena menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Selain dituntut menguasai ilmu yang ia sampaikan pada muridnya, dia pun harus menjadi pendidik yang sabar. Tekun mengajari siswa yang kurang. Menyediakan ruang toleransi yang lebar saat siswanya nyeleneh, atau bikin jengkel.
            Guru itu mengajarkan dari tidak tahu menjadi tahu. Mendidik karakter siswa dari latar belakang keluarga dan lingkungan yang sangat beragam. Tapi yang paling diharapkan semua orang tua murid adalah guru yang mampu menginspirasi muridnya.
            Berpuluh tahun lalu, saat seorang guru SDku menceritakan tentang sebutir kacang, lingkungan yang melingkupi, aneka hewan yang memburunya, bagaimana sebutir kacang ini menjadi sambel, menjadi sumber tanaman baru, menjadi biji yang dapat di awetkan yang bahkan untuk digunakan di masa depan (belakangan dalam majalah NatGeo, ternyata memang ada bank biji, yang ditujukan untuk masa depan yang paceklik!). Jika Tuhan memberi hidayah, aku analogikan saat itu aku-pun menerima ‘inspirasi’.  Aku ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kehidupan yang ajaib!
            Maka menjadi wajar bila  di Finlandia seorang guru menempati status sosial yang dihormati. Tidak kaya, tapi pemuliaan masyarakat terhadap profesi ini kurang lebih membayar jerih payah Guru. Bagaimana dengan di negeri ini?
            Bukan hanya ada di cerita  ‘Laskar Pelangi’ cerita tentang compang-camping dunia pendidikan. Tapi, saat ini, di NKRI masih banyak, guru di pedalaman terseok berjalan menuju sekolahnya. Bahkan sekolah sambil disaksikan beruang (sekolah Rimba, Butet Manurung). Di Garut, temanku, Yoni Haryadi lulusan TL ITB  mengajar di samping kandang Kambing. Mengajari murid-murid dari pelosok, menggugah semangat menggapai masa depan bagi anak-anak pegunungan.  Kata Yoni, Kambing selalu lebih cepat menjawab saat ada pertanyaan yang dilontarkan guru. Lucu, sekaligus ngilu.
            Lantas apa yang di dapat guru-guru pedalaman seperti ini? Saya yakin, langkah murid-muridnya yang menyusuri sungai, gunung, berbekal semangat, bercita-cita setinggi langit nilainya melebihi dari setangkai mawar.
            Murid-murid dari masa lalu yang bertandang kepadanya, berkabar telah menjadi ini dan itu, berbakti di sana sini, tanpa lupa dari mana semua ilmu itu berasal, sungguh menjadi kado terindah sepanjang hidup setiap guru.
            Maka putriku, jadilah kamu seperti itu. Orang yang membanggakan gurumu. Hingga kaulah kado terindah itu.

            

Guru, Untukmu Tak Cuma Setangkai Mawar



Begitu riuh suara gadisku beberapa hari lalu. Dia tanya beli bunga mawar yang  sebatang itu dimana. Katanya OSIS memberi pengumuman untuk menyiapkan sebatang mawar yang akan dipersembahkan pada guru hari ini.
            Waktu kudengar proposalnya, aku langsung menyahuti, “Hanya setangkai mawarkah yang kau akan kau berikan pada gurumu?” maka kujelaskan keberatanku tentang setangkai mawar ini.
            Bila setangkai mawar ini seharga Rp. 15000, tidakkah sebaikanya uang sebesar itu dikumpulkan sekelas, bisa terkumpul uang sebesar RP. 600000, yang bisa dibelikan barang yang lebih manfaat buat gurunya? Tas, sepatu? Atau sebentuk cincin mas?  Saya kira gurupun lebih senang menerimanya, dibanding setangkai Mawar yang akan melayu dan berakhir di keranjang sampah.
            Sebenarnya setangkai Mawar, atau sebuah bingkisan hanya sebagai penanda hari saja. Tapi selebihnya, kita tak pernah mampu membayar jasa seorang guru pada kita, ataupun anak-anak kita. Kalkulasi matematikanya benar-benar rahasia Tuhan.
            Karena menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Selain dituntut menguasai ilmu yang ia sampaikan pada muridnya, dia pun harus menjadi pendidik yang sabar. Tekun mengajari siswa yang kurang. Menyediakan ruang toleransi yang lebar saat siswanya nyeleneh, atau bikin jengkel.
            Guru itu mengajarkan dari tidak tahu menjadi tahu. Mendidik karakter siswa dari latar belakang keluarga dan lingkungan yang sangat beragam. Tapi yang paling diharapkan semua orang tua murid adalah guru yang mampu menginspirasi muridnya.
            Berpuluh tahun lalu, saat seorang guru SDku menceritakan tentang sebutir kacang, lingkungan yang melingkupi, aneka hewan yang memburunya, bagaimana sebutir kacang ini menjadi sambel, menjadi sumber tanaman baru, menjadi biji yang dapat di awetkan yang bahkan untuk digunakan di masa depan (belakangan dalam majalah NatGeo, ternyata memang ada bank biji, yang ditujukan untuk masa depan yang paceklik!). Jika Tuhan memberi hidayah, aku analogikan saat itu aku-pun menerima ‘inspirasi’.  Aku ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kehidupan yang ajaib!
            Maka menjadi wajar bila  di Finlandia seorang guru menempati status sosial yang dihormati. Tidak kaya, tapi pemuliaan masyarakat terhadap profesi ini kurang lebih membayar jerih payah Guru. Bagaimana dengan di negeri ini?
            Bukan hanya ada di cerita  ‘Laskar Pelangi’ cerita tentang compang-camping dunia pendidikan. Tapi, saat ini, di NKRI masih banyak, guru di pedalaman terseok berjalan menuju sekolahnya. Bahkan sekolah sambil disaksikan beruang (sekolah Rimba, Butet Manurung). Di Garut, temanku, Yoni Haryadi lulusan TL ITB  mengajar di samping kandang Kambing. Mengajari murid-murid dari pelosok, menggugah semangat menggapai masa depan bagi anak-anak pegunungan.  Kata Yoni, Kambing selalu lebih cepat menjawab saat ada pertanyaan yang dilontarkan guru. Lucu, sekaligus ngilu.
            Lantas apa yang di dapat guru-guru pedalaman seperti ini? Saya yakin, langkah murid-muridnya yang menyusuri sungai, gunung, berbekal semangat, bercita-cita setinggi langit nilainya melebihi dari setangkai mawar.
            Murid-murid dari masa lalu yang bertandang kepadanya, berkabar telah menjadi ini dan itu, berbakti di sana sini, tanpa lupa dari mana semua ilmu itu berasal, sungguh menjadi kado terindah sepanjang hidup setiap guru.
            Maka putriku, jadilah kamu seperti itu. Orang yang membanggakan gurumu. Hingga kaulah kado terindah itu.

            

Translator: