Selasa, 31 Mei 2016

#Novel #Scifi #Dystopia. TELELOVE Bagian 6.Kesit Susilowati

PUTRI. 3.
SI BOLA BEKEL

Tap. Telpon genggamku mati. Alamak! Naik tangga? Setelah marathon yang diteruskan dengan sprint lalu naik tangga? Bagus! Setidaknya kalau aku sampai dipecat dini, aku sudah berlatih menjadi atlit.
Aku langsung lari menuju tangga darurat. Dua anak tangga aku lalui sekaligus.
Lantai delapan.
Pfuh... akhirnya sampai juga. Tepat di depan pintu Lift nakal itu. Kuhela nafasku. Oksigenku harus cukup, sebab aku akan menghadiri rapat  pertamaku, sebagai pekerja magang di perusahaan iklan.
Sampai diantai ruang rapat, aku  diam sejenak. Menghirup nafas setenang mungkin. Saat yang sama, di depanku pintu lift  membuka. Dia, lelaki misteriusku keluar dari sana. Sial! Liftnya berarti membuka saat aku lari tadi. Ya Tuhan kenapa kau biarkan aku menyia-nyiakan tenagaku? Kenapa kau biarkan aku melewati kesempatan berdua dengannya di lift. Sial.
 Dia, si tampan itu,  melihatku. Aku tak tahu rupaku seperti apa. Yang ku tahu dia menengok ke arah lain. Tapi lewat cermin dekorasi, aku tahu dia tersenyum dan matanya mengkerut. Dia pasti menyorakiku karena berlari-lari lewat tangga, sementara liftnya ‘baik-baik’ saja. Sialan.
“Qon...!” dari jauh Kamila, teman baruku  yang cantik, mengibaskan tangannya dengan anggun. Gayanya yang berkelas selalu membuatku berangan-angan, andai aku seperti dia, maka akan seperti apakah dunia di sekelilingku?
Dengan terburu aku memasuki ruang rapat yang sempit.
“Qon, Gimana sih?” Tanya pak Rudi mengaggetkanku. Dia adalah seniorku. Pria botak bertubuh atletis.
“Maaf sodara-sodara... hehe..” aku  bisa dengar tawaku mulai salah nada.
“Yah sudah lengkap. Pak Jan ini anak bawang itu. Qonita, pak Jan adalah pemilik usaha ini. Pak Jan  baru balik dari bawah laut.” Bu Kim mengenalkan seorang yang nampak akrab di benakku. Si muka pucat nan tampan yang misterius itu!
“Haaa...?” jantungku berdenyut lebih cepat, tak teratur, dan mungkin mau loncat dari selubungnya. Tuhan!
“ya ampun  Qon, hapus muka bodohmu!” Kamila berbisik gemas ditepi telingaku.
Maka begitu bisikan Kamila berhenti, segera wajahku kuputar seratus derajat, menjadi senyum Zombi. Tapi aku masih mendengar bisik  gemas Kamila “dasar kampungan.”
“Mana konsepnya?” Lalu volume suara Kamila beranjak normal. Kamila nampak tersenyum manis. Tapi aku tahu sebenarnya dia tak sabar menghadapi gaya patungku. Terhadapku, Kamila selalu tak sabar. Tapi tunggu dulu, dia bilang apa tadi?
Konsep? Konsep apa?
Aku baru sadar dan membuktikan bahwa jatuh cinta adalah penyebab utama kebodohan. Ternyata kebodohan bukan karena faktor genetis atau kesalahan kurikulum pembelajaran. Karena begitu melihat pak Jan, lelaki misteriusku, otakku langsung berhenti bekerja. Jatuh cinta bisa jadi penyebab salah satu kerusakan otak. Kini aku sedang merasakannya.
“Dia telah menyiapkan dengan detil pak.” Suara Kamila terdengar empuk. Aku melirik Kamila. Apa maksudnya ‘menyiapkan dengan detil’? Bukankah semua konsepnya Kamila  yang  menyanggupi untuk membuatnya? sebagai tim kami telah menyepakatinya. Aku  sudah menangani bagian survey pasarnya. Dia yang merancang konsepnya.
Hah! Ini pasti serangan dhuha (bukan fajar). Karena aku melakukan pencegahan ‘pencurian hak intelektual dan kreatifitas’ dengan menolak mengirimkan file rancanganku –yang belum aku buat-! Karena aku baru tahu manusia seanggun Kamila ini adalah mahluk jadi-jadian di kantorku. Srigala berbulu domba. Parahnya aku pernah terkena tipu olehnya. Maksudku masuk perangkapnya, saat pertama dulu kukirimkan file gambar konsepku, keesokan harinya aku menemukan gambar kamila dengan alur konsepku di layar ‘promosi kreasi terbaru’ untuk para desainer iklan junior.
Aku harus bagaimana? Berteriak pada semua yang hadir dan bilang bahwa itu karyaku yang dibajak? Apa buktinya? Gambarku dan gambar Kamila sangat berbeda gaya.
Jadi saat aku dipanggil untuk mempresentasikan iklanku dengan gambarku yang ‘serupa tak sama’ apa yang harus aku lakukan?
Saat itu aku cuma bisa bilang “Maaf…”
“Cepatlah Qon...!” kini suara tak sabar bu Kim terdengar diujung meja.
“Oh... eh...” kuketikan dengan cepat sesuatu yang melintas di kepalaku. Semua yang hadir disini bisa melihatnya melalui dinding layar.
“Haaa... apa yang kau buat?” Tanya pak Rudi keras seperti biasanya.
“Nah itu... yang tulisan ‘iklan susu!’” Kamila menujuk dengan laser dari bangkunya. Sial! Kenapa penunjuk kursor lesernya ada ditangannya?
Aku tak yakin. Tuhan, benarkah aku baru saja mengetikkannya? Tuhan pasti tahu. Tuhan... katakan pada mereka...
Aku menarik nafas. Tenanglah, aku pasti bisa. Ini dia  prolog iklannya.


SUSU
oleh
QONITA



Dari:
CITRA INDAH C.O
Partner anda untuk ek$i$



Latar belakang
Kejenuhan pasar terhadap produk yang sama



Tujuan
Merekayasa pencitraan terhadap ASI isi ulang



Konsep:

Adegan 1:
?
?



“Dasar narsis!”
Wajahku merona.
“Huuuuf...” seorang senior wanita, mbak Runi,  melorot dari sandarannya.
Aku mengkerut.
“Hahahaha... lucu... kalo dari jauh terbaca ‘Susu Qonita’” kulihat  Rudi dengan suara kerasnya sambil  menyenggol teman sebelahnya.
Aku malu.
“Hahahaha...” temannya menggeleng-geleng kepala. 
Aku malu sekali.
“Lha adegan-adegannya mana?”
“Apa-apaan ini?” Lidah api bu Kim, bergerak. Maka gempalah! Maksudku pasir diotakku menerjemahkannya seperti gempa. Kau tak usah bingung, aku sering mengalami keanehan seperti ini. Sebuah respon berlebihan dari kepanikan akutku.
Oh Tuhan! duhai Maha Kreatif... kenapa Kau tidak menciprati aku dengan setetes inpirasi saja?
Tak ada jawaban dari Tuhan. Tapi aku diam saja. Aku tunggu Tuhan meneteskan anugerah inspirasi di otak pasirku.
Kini kurasakan kejatuhanku. Aku tak punya ide apapun. Sepertinya otakku ini hanya berisi pasir. Pasir yang akan mengalir lewat telinga saat aku memiringkan kepalaku.
“Te... te... tenang sodara-sodara.” Aku mulai mencium angin kekacauan di meja ini. Hanya Kamila yang tersenyum. Kamila tersenyum? Oh... oh... aku mencium bau busuk dikepalanya.
“Masih ada,...” Kumainkan kursorku. Tuhan, jika kau tak mengabulkan doaku, setidaknya Kau kabulkanlah doa ibu Ratija, ibu kesayanganku yang aku yakin dia sedang sujud dhuha,memohon padaMu untuk kelancaranku hari ini.

Gambar 1 : Pose ibu menyusui balita.
Gambar 2 : Pose sapi menyusui anaknya.

Gambar 3 : Pose Sapi menyusui anak manusia.

Senin, 30 Mei 2016

NOVEL #Scifi. TELELOVE. Kesit Susilowati. Bagian 5.

PUTRI. 3
SI BOLA BEKEL



Sabarlah, anggap saja dirimu sebuah bola bekel. Jika kau dibanting, bukan
jatuhnya yang penting tapi memantulnya yang penting.
Semakin dibanting, kau akan semakin melambung,
karena Tuhan meninggikan derajatmu,
tapi itu terjadi jika kau ikhlas.’


Bis yang aku tumpangi ternyata bertujuan ke Pasar Lama. Arah yang berlawanan dengan kantorku.  Sialnya lagi aku tak bisa semena-mena menghentikan bis ini. Aku baru bisa turun di halte berikutnya. Kulihat jam di atas papan iklan perempatan jalan. Jam  telah menunjukkan –bahwa aku sangat kesiangan-.
            Tuhan! Jangan biarkan aku kesiangan di rapat pertamaku. Aku telah menyiapkan laporan survey pasar sejak tiga hari lalu. Jangan biarkan usahaku untuk survey itu menjadi sia-sia. Tuhan, plis… plis… plis..
            Di halte berikutnya aku turun, dan menyeberang jalan lewat jembatan penyeberangan, untuk berganti bis ke arah sebaliknya. Menuju kantorku.
Syukurlah, akhirnya aku melihatnya. Sebuah gedung mewah yang terdiri dari berbagai kantor dari beberapa bendera korporasi.
Syukur? Bolehkah syukurnya aku batalkan? Karena ternyata kini aku memandang gemas angka lift yang tak jua berhenti tepat dimana dia berdiri. Lantai 1. Angka lift cuma berlari-lari anatara 2-3-4-5-3-4-2-. Sial! Oh, Tuhan! Sial-sial-sial, duhai Penggenggam Waktu, aku ikhlas bila lift ini lama menghampiriku, tapi tolong tambah waktunya sekarang sudah jam 10.00, bisakah Kau hentikan waktunya sementara lift ini begitu sombong untuk mengangkutku?
 Dalam keadaan apapun aku selalu mencoba menjadi pribadi yang seimbang. Menyeimbangkan antara gerutu, keluh kesah dan doa. Setidaknya kebiasaan ini, menurut keyakinanku, tidak akan membuat aku terlalu berdosa.
            Telpon genggam  yang kubawa berbunyi. Panggilan Bu Kim, atasanku. Aku bisa langsung merasakan hembusan nafasnya, bahkan merasakan lidah apinya yang menyala dari dalam lidahnya. Mengiringi kata-kata khas ‘hello’nya.
            “Dimana?! Cepat! Semua sudah menunggu!”
            Wuuuuzzzz... kurasa telingaku langsung gosong tersambar lidah apinya yang keluar dari penyerantaku. Apinya menyambar bagian dalam telingaku, mencairkan kotoran kupingku, dan membuat system keseimbangan kupingku rusak. Aku limbung.
            Tentu saja itu cuma bayanganku. Kamu tolol bila memercayainya. Itu suara  Bu Kimentah darimana. Dan bu Kim adalah manusia normal, sepertiku.
            “Qonitaaaaaaaaaaaaaaa!”
            “Eh, iya bu... liftnya mati.”
            Lalu kulihat pemandangan indahku. Lelaki misteriusku karena aku belum mengenalnya. Sudah seminggu ini aku sering melihatnya. Subhanalloh, tampannya dia. Berikutnya aku beristigfar, aku ingat pesan alim ulama, tentang hadis ‘tundukan pandangannmu!’.  ‘Pandangan pertama adalah anugrah, dan pandangan kedua adalah kesesatan’. Maka untuk menjaga agar tak sesat, tak kan kutundukan pandanganku. Sah? Sah! Kurasakan setan terbahak-bahak di pikiranku. Sedikit saja jiwaku gelisah. Pemandangan di depanku menyenangkan sisi sesatku. Aku pun semakin terkejut saat melihat dia berjalan menujuku. Menujuku!
            “Lari (bodoh)! Lewat tangga!” suara bu Kim tak sabar. Menyadarkan aku.
Tap. Telpon genggamku mati. Alamak! Naik tangga? Setelah marathon yang diteruskan dengan sprint lalu naik tangga? Bagus! Setidaknya kalau aku sampai dipecat dini, aku sudah berlatih menjadi atlit.
Aku langsung lari menuju tangga darurat. Dua anak tangga aku lalui sekaligus.
Lantai delapan.
Pfuh... akhirnya sampai juga. Tepat di depan pintu Lift nakal itu. Kuhela nafasku. Oksigenku harus cukup, sebab aku akan menghadiri rapat  pertamaku, sebagai pekerja magang di perusahaan iklan.
Sampai diantai ruang rapat, aku  diam sejenak. Menghirup nafas setenang mungkin. Saat yang sama, di depanku pintu lift  membuka. Dia, lelaki misteriusku keluar dari sana. Sial! Liftnya berarti membuka saat aku lari tadi. Ya Tuhan kenapa kau biarkan aku menyia-nyiakan tenagaku? Kenapa kau biarkan aku melewati kesempatan berdua dengannya di lift. Sial.
 Dia, si tampan itu,  melihatku. Aku tak tahu rupaku seperti apa. Yang ku tahu dia menengok ke arah lain. Tapi lewat cermin dekorasi, aku tahu dia tersenyum dan matanya mengkerut. Dia pasti menyorakiku karena berlari-lari lewat tangga, sementara liftnya ‘baik-baik’ saja. Sialan.
“Qon...!” dari jauh Kamila, teman baruku  yang cantik, mengibaskan tangannya dengan anggun. Gayanya yang berkelas selalu membuatku berangan-angan, andai aku seperti dia, maka akan seperti apakah dunia di sekelilingku?
Dengan terburu aku memasuki ruang rapat yang sempit.
“Qon, Gimana sih?” Tanya pak Rudi mengaggetkanku. Dia adalah seniorku. Pria botak bertubuh atletis.
“Maaf sodara-sodara... hehe..” aku  bisa dengar tawaku mulai salah nada.
“Yah sudah lengkap. Pak Jan ini anak bawang itu. Qonita, pak Jan adalah pemilik usaha ini. Pak Jan  baru balik dari bawah laut.” Bu Kim mengenalkan seorang yang nampak akrab di benakku. Si muka pucat nan tampan yang misterius itu!
“Haaa...?” jantungku berdenyut lebih cepat, tak teratur, dan mungkin mau loncat dari selubungnya. Tuhan!

“ya ampun  Qon, hapus muka bodohmu!” Kamila berbisik gemas ditepi telingaku.

Minggu, 29 Mei 2016

TELELOVE.Bagian 4

Novel Fiksi Sains. Kesit Susilowati 
Telelove. Bagian 4.


PANGERAN. 1, SI SEBELAS


‘Sebelas’, begitu saja panggilanKU. AKU adalah –orang-  tak bernama. Hanya 2 anka yang aku punya sebagay identitasku. Tapi kmu boleh menjadi –takjub- saat kmu buka pusat data rumah tabug yayasan BEGO.[1] Tepatnya, seperti yang dokter Rut[2] bilang, jika Kmu punya otak untuk membobol sistem penyimpanan dokumen di sana, lalu kmu punya nyali untuk melakukannya, melihat siyapa itu si nomor ‘11’. Kmu akan membaca sebuah data yang sukar dijelaskan:

Kode       : RAHASIA
Spesimen   : 110011
Spesifikasi:1/xi/L.
Status     : GAGAL

Nah! Kmu tidak mengkerti bukan? Jagan tanya padaku apa artinya itu. Aku sendiri tidak tahu, dan aku tak mau tahu.
Sekalipun disetiyap angka itu kmu lakukan penelusuran, kmu tetap tak akan mengerti, itu karma kmu bukan bagiyan dari Dewan Penting BEGO. Baiklah aku akan terjemahkan dengan bahasa yang sangat sederhana, seperti yang dokter Rut bilang:
Aku adalah ‘Sebelas’, dari  bukan  manusia  biyasa.
Munkin berbahaya. Munkin tidak. Yang jelas sangat rahasiya.
Bila saja aku berhasil dibuwat menjadi seorang –manusia buatan-, mungkin saja aku bisa hidup lebih berguna. Mungkin bisa menjadi tentara yang tangkas, mampu berpikir cepat, bertindak spontan, tanpa cacat. Bisa juga aku dijadikan sebagai orang pintar yang ditempatkan di tempat-tempat penelitian berbahaya. Dimana manusia biyasa tak mampu melakukannya. Yah, kami ini manusia buwatan, yang dibuwat agar dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya dan beresiko tinggi, dimana manusia biasa tak mampu melakukannya.
Karenanya, kebanyakan manusia buwatan  berbangga dan merasa beruntung. Tapi kata dokter Rut itu semua mengenaskan, tragis, ironis, miris, dan membuat dokter Rut menangis.
Tetap saja aku tak mengerti.
Kata dokter Rut, aku beruntung, karena aku menjadi manusia buwatan yang gagal.
Tetap saja aku tak mengerti.
Yang aku tahu Karna aku tidak memenuhi mutu sebagai manusia buatan, aku berada dalam rumah kaca ini, sebuah hutan buwatan. Sebuah tempat kecli menyerupai  hutan hujan torpis. Aku hidup  bersama dengan beberapa mahluk snasib, yag menanti dalam ketidakpastiyan.
            Kmi di sini berusaha bertahan hidup. Kmi dalam persaingan kacaw, karena kmi serba buwatan, maka hukum keseimbangan alam di sinipun buwatan, begitu yag dokter Rut bilang.
            Jangan tanya padaku, rasanya seperti apa. Pagi, siyang, malam, kami dalam pengawasan. Sementara kami mencoba berlaku seperti orang ‘wajar’, tubuh kami yang kumpulan berbagai implan, kombinasi genetik, cangkokan organ sana-sini, membuwat kmi sulit untuk berlaku wajar.
            Aku si Sebelas,  adalah jenis  manusia bersisik, bisa saja kulitku  mengkelupas kapan saja. Sekalipun dokter Rut rutin menyuntikan suntikan pengatur hormon mengkelupas, tapi bila dalam keadaan emosi marah, mengkelupas bisa terjadi begitu saja.
Aku bisa mengkelupas saat malu karena sekawanan kangguru mengintipku berjemur. Aku bisa mengkelupas saat marah karena hal sepele. misal saat berbagi jatah obat-obatan pengkendali hormon. Aku bisa mengkelupas saat tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan aku bisa mengkelupas saat gemas karena serangga incaranku tak juga bisa aku tangkap. Sungguh memalukan, merepotkan, memilukan.
            Karena kekacawan inilah, aku dicap dokter Rut sebagai mahluk yang gagal. Dan aku dikurung di sini sebagai hukuman.
            Sering aku berpikir, hukuman itu apa?
 Yah memang kelihatannya hutan ini di buwat untuk menghukum mahluk-mahluk gagal sepertiku. Walaw aku tetap bingun, setahuku hukuman itu untuk kesalahan. Jadi kesalahan apa yang telah aku buwat? hamya karena aku gagal menjadi manusia buwatan yang sempurna lalu aku dihukun?
Begitu?
***


BERSAMBUNG....

[1] Ditulis B-GO, diceritakan sebagai sebuah  yayasan yang di danai oleh kamunitas ilmuwan international, mendanai riset untuk tujuan kemajuan biologi.
[2] Rut ditulis: Root

Kamis, 26 Mei 2016

Novel fiksi sains, TELELOVE. Kesit Susilowati. Pangeran. 2. Si Sebelas. Bagian 3.

PANGERAN. 2
SI SEBELAS



Catatan: untuk tokoh pangeran ini, kesalahan penggunaan bahasa mauapun tata paragraf bukan kesalahan cetak, atau editor, ini sengaja dilakukan untuk penggambaran tokoh ini yang mengalami perkembangan jiwa seseorang dari keterbelakangan mental, menjadi seseorang yang  berotak cerdas, secara mental dan intelektual.

1
Senangya aku mendapat buku baru.
Pinsil baru.
Dan permen.
 Dan dokter rut membawa buku cerita baru.
Hari ini aku senag
***

2.
Hari ini dokter Rut cerita tentang si kancil.
Katanya aku harus seperti kancil.
Lincah, dan cerdik.
Kata dokter rut aku pasti bisa.
***

3.
kata dokter  Rut aku harus menulis angka tanggal. Seperti ini contohnya.
Hari ini. Selasa 29 september. Dokter  Rut cerita tentang Kura-kura yang balap lari. Lucu sekali. Aku tertawa. Hingga mengelupas.
***

4.
Hari ini  kamis 1 oktobe. Aku disuruh membuat puisi. Puisi adalah ungkapan hati.
Baiklah aku coba. Ini puisi pertamaku:
Aku senang Mendengar cerita.
Aku sayang dokter Rut
***

Sejak aku jatuh, aku tak bisa memegang pinsil. Baru sekarang ini aku bisa mentulis lagi. Oh. Hamper saja aku lupa bagaimana cara mentulis.
Aku sayag dokter Rut.

12 desember.
Aku bisa bicara seperti manusia. Tapi kata dokter Rut,  kelak aku pasti bisa. Aku tahu, dia bilang begitu agar aku rajin berlatih bicara. Dokter Rut sangat rajin mensuruhku bersenam mulut. Menarik lidahku, dan membersihkannya. Semula tentu saja aku selalu lari. Tapi dokter Rut  selalu bawa permen yag rasanya manis yag aku suka. Dokter Rut  akan beri permen itu jika aku rajin berlatih bicara. Dan jika mau diotak-atik mulutku. Dan jika dia membaca ceritaku ini. Dan jika dia suka karena aku berhasil menang dalam permaianan.

            Dia juga akan memberi permen padaku jika aku menulis ceritaku ini. Dia baik? Dia tidak baik. Dia pelit. Dia cuma memberi satu permen untuk setiap usaha kerasku. Padahal aku tahu dia punya sekantung permen dalam sakunya. Berbeda dengan suster Marie, dia selalu memberikan banyak permen padaku. Tanpa memintaku melakukan apapun.

Rabu, 25 Mei 2016

Novel, Fiksi Sains, TELELOVE. Kesit Susilowati. Putri. 1. MEMBURU PAGI. Bagian 2.

Putri. 1

Orang pintar itu biasa disebut Ilmuwan. Isi otaknya luber, karena mereka terlalu pintar. Tapi kebanyakan  emosi, dan tingkat keimanan mereka mengenaskan. Tak ada hal yang dapat mereka pegang atau jadi tumpuan, selain hawa nafsu. Nafsu untuk memuaskan isi otak mereka yang luber.
            Tidak semuanya buruk tentang mereka. Para Ilmuwan  ini telah membuat negara dan rakyatnya ‘nampak ‘ hidup sejahtera dan nyaman lewat inovasi-inovasinya.
             Kulihat  para penguntit itu semakin dekat. Bahkan dari sisi kiri dan sisi kanan mulai mengambil gerakan akan menyeberang. Apalagi gerak kendaraan di jalan melambat, menuju macet. Aku harus cepat. Aku  berbalik menyeberang begitu mereka berempat ada di tengah jalan ini. Aku mencari tempat-tempat keramaian. Karena setidaknya orang akan berpikir dua kali bila melakukan kejahatan di tempat ramai. Aku berusaha menggiring mereka ke tempat-tempat dimana CCTV terpasang. Agar bila sesuatu terjadi padaku, peristiwa kejahatannya terekam disana. Tapi tak mungkin, aku harus cepat bergerak. Toilet umum! Tentu saja itu tempat sembunyi yang ideal. Tapi aku tak mungkin lama di sana.
Aku masuk ke toilet hanya  untuk  membalikkan jilbabku, hingga bagian dalam ada di luar. Mengganti warna hijau menjadi warna salem . Jaketku yang merah polos bagian luar, aku balik juga menjadi jaket motif boneka, berkain lusuh. Aku tak peduli lagi dengan noda getah yang tak mungkin hilang membentuk sebuat pulau di punggungku.
Aku sengaja berbaur dengan keramaian dan sesaknya pasar pagi yang sibuk. Orang-orang berteriak-teriak dengan toa menawarkan dagangannya. Musik hingar bingar saling beradu nada dengan orang-orang yang tawar menawar.
Aku buka lagi penyerentaku menyalakan aplikasi kamera, untuk melihat gambaran di belkangku. Aku bisa lihat, mereka celingukan dan marah-marah. Mulut mereka komat-kamit bicara dengan head set yang tersembunyi secara rapih di balik kerah jaket.
Aku lihat seorang dari mereka mengeluarkan alat berantena. Apa itu? Oh mereka menggunakan pelacak suhu tubuh atau detak jantung hewan target. Teknologi  yang dipakai para pemburu binatang, Interpol, polisi, agen rahasia,  untuk melacak buruannya.
Nyaris aku tertawa sendiri. Dasar bodoh! Mereka menggunakan alat itu di pasar seramai ini? Di tempat ratusan jantung berdebar tidak karuan, ratusan suhu tubuh berseliweran. Alat itu hanya cocok dipakai di tempat sepi.
Aku menatap layar penyerentaku. Melihat mereka berjalan menujuku. Apa? Mereka menemukan aku? Dengan alat itu? Tuhan! Bantu aku untuk berlari lebih cepat lagi.
Kukejar bis yang baru saja berhenti di halte depanku. Aku tak peduli lagi kemana tujuan bis ini. Kugapai Bis yang berjalan perlahan, aku naik dengan lincahnya. Kelincahan dan ketrampilan mengejar dan naik bis memang wajib dimiliki oleh  Penduduk megapolitan .

Kulihat para pengejarku dibelakang berdiri tanpa daya

Senin, 23 Mei 2016

Novel, Fiksi Sains,TELELOVE, Kesit Susilowati. Bagian 1.

Putri. 1
MEMBURU PAGI



Pagi adalah  milik semua. Tuhan Maha Adil membagi pagiNya. Dia tak memberi pagi yang sepintas  kepada Singapura yang tertib yang dapat melakukan segalanya dengan efesien. Kepada Moscow yang dingin, Tuhan tidak mempercepat kehadiran Matahari. Dubai yang gemerlap. Beijing yang sesak. Jakarta yang gemeretak oleh perjuangan hidup.
Begitulah Tuhan yang Maha Adil. Dia juga pasti punya alasan membuat kepalaku terasa berat, pagi ini. Ini pasti efek begadangku semalam. Bukan karena klabing, ajojing dan minum-minum. Mana mungkin aku, gadis berjilbab, melakukan itu. Tapi peningku juga bukan karena lembur semalaman seperti layaknya orang bekerja dikejar batas waktu. Memang seharusnya aku Melakukan kerja lembur untuk proyek iklan pertamaku. Tepatnya untuk presentasi pagi ini. Tapi itu tak mungkin aku lakukan.
Tapi yang terjadi semalaman adalah aku dan ibu Ratija begadang menjaga si kembar Rahman Rahim yatim piatu anggota baru rumah kami. Bayi yang baru mendapat vaksinasi itu, tubuhnya panas dan rewel semalaman. Memaksa kami untuk menggendong, meninabobokan. Tepat saat adzan subuh mereka baru bisa memejamkan mata. Jika saja aku tahu suara  adzan yang membuat mereka tidur, kenapa aku tak menyetel suara adzan saja sejak isya? Tapi ya sudahlah, tepat jam subuh itu kami justru harus bangun, dan memulai hari baru. Rutinitas pagi.
Bruk! Aku terjatuh karena berjalan sambil mengantuk. Kali ini aku terjatuh karena pengemis cacat yang ‘tempat kerjanya’ memang ditengah jalan pemisah ini.
“Brengsek! Mana matamu orang gila?” ujarnya galak.
“Ma-ma-af... “. Kuempar senyumku, lalu kujatuhkan permen asam buatan ibu ratija di dalam rantang usangnya.
“Hah! Aku tidak butuh permen seupil ini! Aku mau uang! Aku mau uang!”
Aku mempercepat jalanku. Dia mengatakan apa? Permen ini  seupil?  Bayangkankan! permen asam sebesar jempol kaki ini disebutnya ‘seupil’? berarti upilnya dia besarnya sebesar jempol kaki? Maka jika upilnya sebesar jempol berarti hidungnya sebesar apa?
Menurut ibu Ratija, pengemis jaman sekarang berbeda dengan jaman dulu. Pengemis di jamannya masih mengenal basa-basi. Pengemis jaman itu bisa melakukan doa standard bagi pemberi sedekahnya. Para pengemis itu  memberi doa sesuai sumbangan yang kita berikan. Ibu Ratija memberi gambaran seperti ini:
500 rupiah = ‘terima kasih’ (pengemisnya belum berdoa)
1000 rupiah = semoga slamat diperjalanan
1500 rupiah = semoga selamat dan sentosa.
2000 rupiah = semoga selamat, sejahtera, gampang jodoh.
2500 rupiah = semoga selamat, sejahtera, gampang jodoh, sehat sentosa
Jika banyak, kau akan mendapat kata ajaib yang memuaskan dermawan : Semoga bahagia dunia-akhirtat.
Tapi jika lebih sedekahmu lebih banyak lagi, kau tak usah berharap untuk mendengar persembahan sebuku surat Yasin lengkap dengan aneka zikirnya. Karena kebanyakan dari mereka tak bisa mengaji.
Hah! Tapi di jaman ini, jangan harap itu semua. Doa yang terlantun telah berganti dengan sumpah serapah. Jadi aku harus maklum, bahkan seharusnya aku yang malu. Hanya karena memberi sebuah permen saja aku ingin ucapan terima kasih.
Kepalaku berdenyut pening.  mataku bengkak, gelap disekitar matanya, seperti riasan gaya gotik. Bagaimana aku bisa tampil cantik di depan rapat nanti? Bagaimana aku memikirkan kecantikan? Sementara hal yang paling penting, skema rancangan kerja dan konsep iklan yang harusnya selesai pagi ini, aku sama sekali belum mengerjakannya?
Entah sudah berapa kali aku menguap lebar, tanpa sopan. Alih-alih oksigen yang masuk  ke otakku tapi   asap knalpot, polutan H2S yang membawa aroma kentut. Setiap pagi, saat suhu turun, polutan merayapi udara untuk turun di tempat yang padat penduduknya. Cekungan Bandung. Tak heran kerja otakku semakin tak karuan saja.
 Jika kau sering mengalaminya, kau tak kan muntah, karena segala sesuatu yang diterima dengan dosis rendah, kemungkinan besar dapat membangun ‘kekebalan semu’. Senyawa kimia itu cuma bersarang di sudut selmu, menyusun kekuatan untuk muncul menjadi kekejian lingkungan jilid 11, Kanker.
Ingin sekali aku jalan selambat mungkin. Kalau bisa, aku ingin jalan sambil tidur. Tapi tak mungkin. Perasaanku tak enak. Sejak di Kereta tadi aku merasa seseorang mengawasiku. Beberapa kali aku mengecek mata burung hantuku lewat kamera penyerenta, dan saat yang sama aku lihat beberapa orang sedang memperhatikanku. Tidak mungkin aku si ‘muka standard’ yang sedang buruk penampilan karena begadang, mempunyai penggemar gelap. Tak mungkin. Walau rasanya ingin.
Aku harus jalan lebih cepat. Saat kulirik ke arah belakang, benar saja orang di kereta itu  mengikutiku dengan bergegas pula. Jadi benar aku sedang dikejar orang!
            Jalanku mulai setengah melayang. Beberapa kubangan lumpur sisa banjir semalam tak lagi kuhiraukan. Kecipak airnya mencipratkankan kotoran didalamnya.
 Kusebrangi keramaian jalan, begitu aku menangkap lampu hijau penyeberangan. Aku bahkan hampir menabrak seorang tua yang tertidur pulas di atas pemisah jalan di tengah lalu lintas. Mobil melesat dekat sekali kepalanya. Tapi dia tenang saja, tidur pulas ditengah lalu lintas gila, yang berkabut asap polutan. Melihat dia mendekap boto kosong, kupastikan dia seorang pemabuk, dan tak sadarkan di jalanan ini. Tak ada  yang peduli.
Lalu lintas benar-benar dipenuhi kabut hasil pembakaran mesin yang tak sempurna. Mobil-mobil yang berhasil melarikan diri dari kejaran polisi lingkungan, lolos atas kesalahan mesin yang gagal, atau bahan bakar illegal yang mengandung logam, dan  polutan yang berbahaya bagi kesehatan.
            Aku masih mencoba jalan cepat di tengah pembatas jalan ini. Nafasku mulai payah, sudah setengah jam ini aku berjalan, berkelok-kelok menghindari penguntitku. Kukeluarkan telpon genggamku, mencoba menggunakan layarnya sebagai cermin. Aku berpura-pura mengobrol sambil jalan dengan seseorang melalui penyerenta.
Ya, aku bisa lihat, setidaknya ada 4 orang yang mengejarku. Seorang di sisi trotoar kanan, dan seorang di belakangku yang menguntitku sejak aku turun Kereta. Aku yakin mereka jalan sambil berhubungan lewat head set telpon genggamnya.
            Tuhan lindungi aku! Aku rasa mereka mengikuti sejak aku keluar dari rumah. Apa mereka mau menculikku? kenapa aku tak langsung diculik di rumah saja? Kenapa mengikuti bersusah payah naik kereta berdesakan.
            Haaa, tentu saja mereka telah memperhitungkannya. Wilayah tempat aku tinggal dikenal sebagai lingkungan bar-bar.  Mereka mungkin menghindari bentrok dengan preman yang menguasai lingkunganku. Pasti mereka menghormati kode etiknya.
Tapi kenapa mereka tak menggunakan jasa profesional semacam manusia android [1]saja dari mafia ilegal? Yang didesain  khusus untuk menculik?
            Karena manusia miskin sepertiku, semestinya bukan incaran bagus untuk dirampok ataupun dijadikan sandera.
            Jadi untuk apa aku diculik? Mungkin karena sekarang ini penculikan sangat biasa terjadi. Mungkin bisa disetarakan dengan kejahatan curanmor, atau penjabretan.
Biaya hidup semakin tinggi, hidup semakin susah, anehnya kehidupan tetap menjadi pilihan yang populer di masa ini. Sekalipun angka bunuh diri tinggi, tapi tetap saja lebih banyak orang yang memilih meneruskan hidup dibanding memilih mati.
Untuk menopang hidup yang mahal ini para kriminal yang malas tapi  bernyali gila melakukan penculikan.
Banyak alasan penculikan dilakukan para kriminal.
  1. Korban bisa dijadikan sandera berharga bila ia berasal dari keluarga kaya.
  2. Korban bisa dijual sebagai komoditi prostitusi. Tak peduli dia cukup umur atau anak-anak. Tak peduli perempuan atau laki-laki. Semua bisa dimanfaatkan.
  3. Bila tidak bisa ditawarkan pada dua hal di atas, korban bisa ‘dipakai’, setelah itu dibunuh, dan dijadikan komoditi penjualan organ ilegal.
  4. Pilihan lain, korban bisa di jual untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan di tempat-tempat yang nampaknya bermoral dengan bendera lembaga intelektual (baca: tempat percobaan gila).
Atau untuk hal lain?
Isi kepalaku bergerak panik. Apa mungkin karena aku menolak tawaran yang lebih menyerupai desakan sekelompok orang pintar waktu itu? Agar aku dengan imbalan yang lumayan, mau menyumbangkan sel telurku pada sebuah bank sel telur? Apa menariknya DNA diriku? Atau hanya sekedar stock untuk percobaan dunia kedokteran? Genetika? Ough, di jaman ini bahkan iblispun terang-terangkan melakukan aktivitasnya lewat lembaga riset kedokteran atau farmasi secara legal.
            Orang-orang dari lembaga riset itu,  merayu ibu Ratija, kepala rumah tangga tempat aku tinggal. Mereka memberi  iming-iming pembebasan pinjaman berbunga yang membuat ibu Ratija selalu tercekik di sepanjang hidupnya.
            Ya, Orang-orang   itu datang setelah  pihak bank itu mengirimkan preman penagih. Memberi iming-iming bayaran yang besar bila aku bersedia melakukan perjanjian penjualan sel telur.
             Tanpa takut, ibu Ratija selaku waliku menolak mereka.Tapi mereka selalu datang. Tanpa bosan pula ibu Ratija menjelaskan keberatannya, dari kata halus hingga tegas-jelas-dan lugas. Mengeluarkan beberapa fatwa syariah kontemporer yang kuat. Aku juga tahu, beberapa anak gadis tetangga dengan bayaran tinggi telah menjual ‘sel telur’ mereka. Andai mereka tahu kengerian yang akan mereka hadapi. Membiarkan anak anak mereka berkembang biak tanpa sanad atau silsilah yang jelas. Haa, memangnya aku ini apa, sok-sok tak menyetujui penjualan sel telur, untuk menjaga sanad atau silsilah, sedang aku sendiri tak memiliki silsilah yang jelas. Ironis, karena  Aku, juga 11 anak di rumah ibu ratija hidup tanpa memiliki silsilah yang jelas. Kami cuma kumpulan anak-anak yang terbuang.
            Percakapan jual beli sel telur, penyewaan rahim, sudah menjadi potret kehidupan kami, kelas masyarakat bawah:
‘apa ruginya? Toh tiap bulan juga sel telur ini di’lewat’kan begitu saja’
‘Tunggu sampai punya suami? Mohon ijinnya? Lhaaa... emang ada yang mau menjadikanmu istri?’
‘bentuk dua dimensi begini, biasanya susah laku, Qon.’
OH.
 Sepertinya dia melempar pisau ke pusat emosiku. Komentar seperti inilah  yang membuatku sebel. Kuhibur diriku dengan alasan masuk akal:  Yah, dijaman kecantikan bisa direkayasa, dipalsu, maka jenis asli sepertiku, menjadi sukar bersaing dengan pengguna hidung, dagu, buah dada, pantat, tulang pipi, bahkan kulit kencang yang ‘palsu’.
Kamu bisa lihat bentuk wajahku yang sepertinya salah tempat. Aku mancung dibagian jidat, dan pesek di bagian hidung. Hingga adik-adikku bila jahil menggoda dengan cara begini: menabrakan tangan dari samping, bila tangannya mengarah ke jidat, pasti ‘bruk’ tanda nabrak. Tapi bila tangannya dari dari samping dilalukan di depan hidung bunyi nya pasti ‘los’ alias lolos. HUH.
Ibu Ratija selalu membesarkan hatiku:
‘Tuhan selalu menciptakan segalanya berpasang-pasangan. Baik-buruk. Cantik-tampan, Miskin-kaya. Lelaki-perempuan.  Kau tahu, Tuhan tidak menciptakan si tampan untuk si cantik, tapi si baik untuk si baik.  Kau tahu, kebaikan dapat mematahkan kecantikan. Lihat almarhum suami ibu, dia itu seorang manusia sistesis yang gagal. Wajahnya seperti monster.. Mengerikan bukan?
Tapi, firasatku, kau akan mendapat seorang yang tampan.‘
Ibu Ratija menatapku lembut, ketenangannya mengelus jiwa gelisahku. Lalu katanya lagi: ‘Kini orang banyak menyadari, bahwa penampakan kecantikan luar tidak menjamin kecantikan pribadinya.’
OH! Lagi, sekalipun isinya –melapangkan dada- tapi  tetep ada unsur penghinaan mengenai penampakanku. Tapi aku  harus ambil sisi positifnya, bukan?
Jadi, aku harus menjadi gadis yang baik,  agar aku mendapatkan jodoh yang baik dan tampan. Jangan pikirkan kemungkinan lain, seperti Jelek tapi baik.
Para tetangga yang simpati kepada kami, menyarankan agar aku –menawarkan- diri sebagai calon ibu ‘tanpa nama’, ‘tanpa hamil’ dengan bayaran tinggi, bayaran berjangka, bayaran yang dapat menghidupi seluruh anggota keluargaku yang lima belas orang itu.
            Semua ini hanya membuktikan kami yang didera kesulitan, adalah makanan empuk bagi mereka. Hingga hidup ini bukan lagi pilihan. Hidup ini  adalah milik mereka, orang-orang ‘beruntung’ itu.
            Kadang-kadang semboyan:
 *di negeri ini bertahan hidup adalah setengah dari pekerjaan utama*
 sepertinya menjadi pas.



[1] Manusia android = manusia robot. 

Translator: