Rabu, 29 Juni 2016

TELELOVE 33

PUTRI. 13.
SANG BINTANG JATUH



Ini bukan tentang rasa yang hidup dari mati.


 Dua minggu sudah aku keluar dari rumah sakit, akupun  kembali pada rutinitasku. Pekerjaanku. Setiap pulang dan pergi, Boy akan mengantarku. Tentu saja aku tak berani memamerkan kemewahan bermobil dengan supir android itu. Terkadang kami, aku dan pak Jan bisa bersamaan, tergantung dari jadwal kami.
Selama tinggal di rumah tumpangan, apartemen pak Jan, tak  ada seorangpun yang tahu aku di sana, selain ibu Ratija, dan Wanda. Untungnya pak Jan jarang menerima tamu di Apartemennya. Coba bayangkan bila orang bergantian datang, seperti di apartemen kumuh kami. Orang yang datang mungkin akan menanyakan ‘siapa aku’, atau bila tidak, mungkin akan menyangka aku ‘simpanannya’, karena tak mungkin menyangka aku pembantunya, bukankah sudah ada Boy yang merangkap perannya?
            Sebagai anak baru, tentu saja aku harus menjaga citra di depan teman-teman kantor yang lain. Aku ingin menunjukan bahwa aku mampu. Keuntunganku banyak waktu bersama dengan pak Jan adalah beajar  atau diskusi singkatnya tentang seluk beluk periklanan.
            Atas bimbingan pak Jan pulalah, aku beberapa kali mendapat pujian dari bu Kim. Lambat laun pasir diotakku bekerja normal, dilusi optik tentang lidah api bu Kim, tanpa kusadari hilang dengan sendirinya. Yah otakku memang butuh dilatih bekerja lebih sinergis.
Menurut bu Kim aku harus mencoba membuat lima proposal proyek sekaligus untuk diajukan ke kantor pusat. Besar kemungkinan, ide tentang pencitraan ‘industri berniat baik’ akan diterima baik. Bagian pemasaran, mungkin tidak suka menerima ide –mustahil- ini.
Memang kelihatannya seperti proyek ambisius buat anak bawang sekelasku, proyek ini seperti ‘mustahil’. Mendengar tantangan dari  bu Kim saja, pasir diotakku langsung kalut, antara bangga dan bingung.
Lalu angin ribut menari-nari di seputar meja kerjaku. Pasir diotakku –seperti biasa- tak dapat membedakan antara sindiran dan sanjungan atau jilatan bahkan ancaman. Semacam inilah keributan itu, diributkan dengan suara sengaja keras.
“Hah? Anak bawang ini? 5 proyek? Dan kita yang harus membantunya?”
“Ah anak bawang ini telah bermetamorfosis menjadi anak EMAS!”
“Wow, 5 proyek? Taruhan, di minggu ke dua, kepalamu yang berjilbab itu akan ganti dengan penutup perban, karena otakmu –me-le-dak-!”
“Anjrit! Gila! Mimpi apakah?”
“Sssssttt... kamu pake susuk?”
“Bolehlah nona ciprat dikit rezeki dan berkah yang nona dapat untuk ane?”
“Aku mencium bau busuk.”
“Aku mencium bau uang.”
“Aku ingin menciummu!”
Tapi aku hanya diam saja. Sebagai  anak bawang, aku harus tahu diri,  harus jaga diri, dan jaga lidah dari keparahan kerusakan persepsi yang sedang terjadi.
Dari semua celoteh angin ribut diseputar mejaku, kamu bisa menebak bukan yang mana suara Kamila? Lupakan Kamila! bicara tentang dia hanya buang-buang waktu energi dan perasaan saja. Ingat kata ibu Ratija:
Tinggalkan yang sia-sia, kerjakan yang penting!
Jadi  dua minggu ini aku lakukan riset pasar, melalui internet. Untungnya ditengah kesibukan itu, Ibu Ratija melalui saluran jarak jauh,  mengingatkan aku untuk  selalu  sholat tahajud. Dia bilang, sholat tahajud, adalah kunci segala masuknya energi positif.  Aku percaya itu. Karena selama sholat segala inspirasiku datang menggodaku bertubi-tubi.
Jelas bukan? Aku tidak munafik, bicara sebagai pelaku sholat tahajud yang khusu. Yang jelas, setidaknya dalam 11 rokaat itu, aku menemui Tuhanku, aku merasakan Tuhan menciprati ilham di malam-malam seperti itu.
Aku anggap inilah hasil tanya jawabku dengan Tuhan.
Tapi apakah ‘tinggal/numpang’ termasuk rutinitas? Yah tentu saja. Anggap saja begitu, karena dua minggu  ini aku beralih tugas dari dapur rumah ibu Ratija, ke dapur mewah pak Jan.
Aku memasak untuk pagi dan malam. Semula pak Jan mengusulkan untuk makan di luar. Tapi aku beri pertimbangan bahwa  makan di rumah lebih irit, aman, sehat, pak Jan mau menurutiku.
Aman dari gosip. Dan dari Kelompok Kupu-kupu yang konon masih berkeliaran di perumahanku, entah kenapa.
Tentang Kelompok Kupu-Kupu,  aku curiga, merekalah yang menculikku, kemarin. Tapi aku jadi ragu. Karena bila benar mereka yang menculik aku kemarin, pasti mereka sudah berhenti mencariku. Dan berkeliaran di sekitar rumah ibu Ratija. Memangnya apa lagi yang mereka cari?
Sembilan adik-adikku? Ah tidak! Jadi karena kekhawatiran ini aku sering menghubungi Ibu Ratija. Aku bisa melihat Ke sembilan adikku bergantian nongol di monitor komputerku. Mereka terlihat baik-baik saja.
 Ibu Ratija bilang, ‘Tuhan telah mengaturnya, saat kau pergi, seorang manusia buatan  datang menyusup dan tinggal secara ilegal di rumah kami. Dia datang  beberapa saat setelah aku pergi. Hebatnya manusia buatan  ini mampu belajar dan berlatih dengan cepat
            Walaupun tidak ‘sehebat’ diriku, dia bisa menggantikan aku dalam mengajari anak-anak dan pekerjaan rumah yang lain. Bahkan ibu Ratija bilang, dia bisa diandalkan untuk menjaga keamanan kami. Dia bisa menyamar, dan menghindar dari para tukang palak kupon air dan listrik. Sepertinya kehidupan rumah ibu Ratija semakin baik sepeninggalku.

Ingin sekali Aku mengenal manusia buatan  ini. Ingin aku ucapkan banyak terima kasih untuknya. Tapi kata bu Ratija dia belum siap bertemu denganku. Menurut bu Ratija dia begitu malu dengan penampilannya yang buruk rupa. Sekalipun bu Ratija menerangkan bahwa aku tak pernah mempedulikan diua buruk rupa atau tidak. Kupikir aku ingin sekali-kali berkunjung ke sana. Tapi itu tidak mungkin, menururt bu Ratija gang Kupu-kupu  semakin rajin patroli. Jadi sampai hari ini aku belum melihat kakak Mansis yang menjadi pahlawan rumah kami itu. Mungkin Tuhan menginginkannya begitu.
                                                                    ***





Bersambung. 

Selasa, 28 Juni 2016

TELELOVE 32

PANGERAN. 12

REVOLUSI KEMAMPUAN



Dokter Rut, Kata ibu Ratija, seminggu ini aku mengalami kemajuan  yang  -sangat banyak-. Dia pasti melewati informasi ini: bahwa kegiatan belajar terus menerus membuat aku semakin pandai setiap harinya.
            Dan lompatan hebat terjadi lagi hari ini. Dinda menangis karena ia kehilangan bonekanya. Dia memelukku. Air matanya, membuat aku bicara!
            “Sssshhhh...” oh... aku mendesis seperti ular. Aku meniru bunyi yang selalu dikeluarkan kakak-kakanya dan ibu ratija bila ada diantara kami yang menangis. Aku hapus air mata dipipinya.
            Dinda menatapku kaget. “Kakak bunyi?”
            “Aaa..kuuu... buuu...nyiiii.” tenggerokanku berderit derit.
            Anak-anak lain yang tadinya sibuk sendiri, menengok, dan mengelilingiku.
“Kakak?” mereka mengguncang tubuhku.
“Kakak!” mereka mulai mendesakku.
“Haii iiiaaa...”kataku dengan kekuatan batin yang penuh. Aku bisa! Lalu mereka bersorak. Ibu Ratija memegang pipiku. Anak-anak lain memelukku.
            “Hebat!”
            “Alhamdulillah... “
            “Katakan yang lainnya!”
            “Aaaa... kuuuuuuu...baa.. haa.. giaaa...”
            “Horeeeeeeeeeeeeee...!”
            Maka sejak itu aku dan Dinda semakin akrab. Dialah yang mengajariku bicara, Kami tak mengenal waktu saling mengeluarkan bunyi-bunyian. Bu Ratija bahkan tanpa sungkan, menarik-narik lidahku dengan perlahan. Dia piker lidah yang panjang akan membantuku membedakan bunyi-bunyi yang bergetar di sekitar lidah.
Tapi kini sebaliknya, jika malam, aku mendapat tugas baru: membacakan cerita untuk Ilalang, Dinda, dan muti.
            Katanya ini tugas kakak Qonita yang sekarang pergi itu. Aku tanya: “kenapa kakak Qonita harus pergi? Padahal begitu banyak tugasnya di sini?”
Ibu Ratija hanya bilang: “ seperti kamu, dia pergi agar dia aman.”
Bagian ini aku benar-benar tak mengerti. Tapi aku tak akan bertanya. Nanti aku pasti akan tahu jawabannya.
Dokter Rut, aku rasa yang namanya Qonita ini kakak tua yang hebat. Dia membantu ibu Ratija di rumah, dan bekerja di luar rumah. Di luar rumah! Hebat sekali!
            Kata ibu Ratija aku bisa belajar banyak kata-kata baru, dan cara menulis yang benar, bila rajin membaca. Maka aku lakukan keduanya.
Kepada ibu Ratija, aku tunjukan buku ‘ceritaku ini’.  Maksudku untuk menunjukan kemajuwan menulisku. Ibu Ratija membaca. Dia nampak kagum dan bangga. Dia mengelus pipiku. Dia cuma bilang: “Bagus, teruslah menulis.”
Suatu malam aku dibangunkan olehnya, hanya karena dia terburu dengan semangatnya, ingin menunjukan padaku: “Lihat bedanya! Kini kau bisa menulis dengan benar! Kau bisa menaruh semua tanda baca dan alenia dengan benar!” Ibu Ratija menunjukan tulisan lamaku yang tak terstruktur, dengan gaya menulisku yang baru. Rapih.
            Lima hari kemudian, ibu Ratija menantangku untuk mengajari Mufti berhitung, penjumlahan dan pengurangan. Dan aku berhasil melakukannya!
            Aku tak menyangka akan secepat ini lompatan-lompatan ini terjadi padaku.
            Dalam sebulan, kedudukanku di rumah ini sama dengan ibu Ratija. Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi setidaknya inilah yang aku rasakan. Karena kedudukan kami –nyaris sama- maka kini sehabis anak-anak sholat Isa, Aku dan ibu Ratija tidur tengkurap, dan para kurcaci itu memijati kami dengan berbagai cara.
            Nikmat. Hangat. Sangat-sangat bahagia. Aku tahu pasti inilah rasa yang belum pernah aku rasakan. Saat di mana ibuu Ratija dipijat para kurcaci bergantian, beramai-ramai, sambil memberi nasihat atau cerama/atau kisah nabi. Dan aku mulai mengobrol soal Tuhan.
Hal ajaib lain, tapi begitu mudah masuk ke hati dan pikiranku.






BERAMBUNG

****

Sabtu, 25 Juni 2016

TELELOVE bagian 31

PANGERAN. 12
REVOLUSI KEMAMPUAN


Percayakah kmu, sentuhan ksih sayag mebuwat orag bahagiya
 lalu menjadikan pintar?
 Aku percaya.


Maret. 10
Maka mulailah aku tinggal sebagai penghuni ilegal di rumah ibu Ratija. Sebuah rumah sempit yang sesak oleh kehangatan. Sangat berbeda dengan lingkungan hutan buatan, yang berudara segar, damai, sejuk, tenang, kaya akan sinar matahari di waktu pagi hingga sore, di sini aku jarang sekali bisa menatap matahari. Gedung-gedung apartemen yang tinggi ini dibangun berdesakan, hingga kau nyaris tak mendapatkan sinar matahari kapanpun karena bayangan gedung sebelahnya menyelimuti jendelamu. Karena terlalu berdesakan kau bisa mengintip jendela kamar di gedung sebelahnya. Selain itu kau dapat mencium aroma masakan dari dapur gedung sebelah. Bahkan diwaktu malam kau bisa samar-samar mendengar kekacauan suara TV dan obrolan orang yang timbul tenggelam dari gedung sebelah. Bahkan bila kau mau, kau bisa menjelajah seluruh  area kumuh ini tanpa menginjakan kaki di tanah, cukup dengan melompat dari atap ke atap antar gedung. Dari balkon ke balkon.
Mulanya aku sulit beradaptasi dengan cara hidup seperti ini.
            Tapi kata ibu Ratija, sepertinya TUHAN telah mengatur pertemuan kami. Tepat sebelum aku datang, Mreka ditinggal oleh sorang gadis. Kakak tertua mreka yang mreka –sayangi-.
            Kini aku menempati tempat tidurnya. Sedikit kekecilan. Kakiku melampaui batas panjang ranjangnya. Tapi bau selimutnya, wangi bantalnya,  membuat aku tidur pulas.
            Aku harus sembunyi bila ada tamu, atau pengunjung datang. Tapi ibu Ratija, di depan aku dan anak-anak, menjelaskan bahwa ‘aku harus disembunyikan’. Lalu dia menerangkan bagaimana bila aku sampay tertangkap oleh polisi atow pemilikku. Aku tidak akan menjadi ‘orang’ seutuhnya lagi.
            Karena aku –kabur lari- dari tempatku sebagai tawanan. Bukan manusia buatan yan  bebas. Bukan orang bebas. Lewat ibu Ratija, dan anak-anak, aku belajar tentang bangsaku. Merka mensebutnya sebagay mansis, Manusia Sintesis, Kaum KW ataw BS, yang artinya, -tidak sempurna-. Dokter Rut, kau tahu, inilah pertama aku tahu bagaimana posisi aku dan kau sesungguhnya.
            Bahwa secara warga negara, aku tak punya status sosial apapun.
            Di luar itu, bergantian dengan kegembiraan dan gairah yang aneh, kami saling belajar. Ibu Ratija dan 9 kurcaci di apartemen sempit ini, membuatku semakin seperti *Orang*!
Dokter Rut dan  KW3 jika bertmu deganku pasti kalian akan menemukan perbedaan yang banyak.
            Ibu Ratija mengajariku bkerja dan menjadi berguna. Sebagai ‘imbalan’ aku diberi buah-buahan dan sayuran. Seperti jika dokter Rut memberiku makanan ekstra dan kesukaanku bila aku berhasil menyelesaikan sebuah persoalan permaianan.
 Jika malam aku tidur di tempat tidur Qonita, kakak mereka yang pergi.  Satu persatu sahabat baruku akan mengendap-endap mendatangiku. Memberiku makanan yang mereka sisihkan dari jatah mereka yang –sangat sedikit-.
            Dokter Rut, kmu pasti bingung. Bagaimana *orang* sejelek dan seseram  aku bisa membuat mereka sayang padaku? Aku juga tidak tahu jawabnya.
            Satu hal yang aku akan selalu ingat tentangmu dokter Rut, pesanmu agar aku selalu belajar, kini aku lakukan dengan sungguh-sungguh. Dan aku selalu berterima kasih, sebab walau tak bisa bicara, kau mengajariku bahasa isyarat, baca dan tulis. Dan karena semua itu menjadi lebih mudah bagi  Ibu Ratija yang mengajariku menggunakan internet.
            Lewat internet, tiba-tiba saja dunia bagiku menjadi begitu luas. Dan lebih banyak teka-tekinya.
            Termasuk teka-teki ini:
KENAPA DOKTER RUT TAK PERNAH MEMBERI AKU PENGETAHUAN INTERNET?
            Aku pasti   akan tanyakan ini bila nanti aku bertemu dokter Rut.

                                                                            ***



BERSAMBUNG


Jumat, 24 Juni 2016

TELELOVE. Bagian 30

PUTRI. 11.

PUTRI TIDUR





“Haaa..?” tiga hari?!
            “Kamu masih ingat kejadian sebelumnya? Kamu bilang akan menungguku di kios itu.”
            Tiba-tiba aku ingat mimpiku yang kacau. Menyelinap rasa takutku. Kuraba bagian perutku, ada rasa ngilu.
            “Ah, sudahlah. Yang penting kini kau aman.” Pak Jan melirik monitor jantungku. Alisnya terangkat. Dia tersenyum misterius. manis
            “Kurasa kau begitu kacau, tapi kau cukup sehat untuk pulang.”
            “Phhuuullaagh?”
            “Ya, ke rumahku.”
            “Ke whuummaah fbaaphaa?”
            “Ibu Ratija begitu memercayaiku untuk menjadi ‘wali’mu. Sementara.”
            “Khheeenaphhaaa?”
            “Karena Kelompok Kupu-kupu  masih mencarimu.”
            “Shuulik? Huunthuug haaphhaaff?”
            “Aku tak tahu. Mungkin karena mereka baru tahu, kamu adalah incaran yang salah (tak berharga).”
            “Ha?”
            “Bersyukurlah, kau selamat dan  ‘utuh’” Pak Jan menepuk pipiku. Kurasakan darah ku mengaliri wajah. Wajahku pasti memerah.
            Oh! Memangnya sudah berapa lama kita berkenalan? Kenapa kita merasa sedekat ini? KITA? Ah, mungkin hanya perasaannku saja. Jangan-jangan menepuk pipi adalah salah satu sakit sarapnya. Mungkin dia biasa menepuk kucing, berhubung tidak ada kucing jadi....
            Dia tersenyum. Dia pasti menikmati permainan baru setelah  tahu aku tersipu. Ya Tuhan, aku tersipu...?

***




BERSAMBUNG.....

TELELOVE. Bagian 29

PUTRI. 11

PUTRI TIDUR






“Bagaimana Qonita?”
            Samar aku melihat bayangan gelap. Lalu wajahnya semakin jelas. Pak Jan! Kurasakan tubuhku begitu lemas dan mengantuk. Apa yang terjadi? Apa aku masih berpakaian lengkap? Kuraba kepalaku. Masih berjilbab! Syukurlah.
            “Oh... Syukurlah! Kau sudah bangun!” suara ibu Ratija. Dia tergopoh-gopoh mendekatiku. Lalu menciumiku seperti baru bertemu denganku setelah penantian 3,537 abad.
            “Alhamdulillah... kau masih perawan! Mereka tidak memerkosamu!” bisiknya penuh suka cita.
            Oh, ada apakah ini? Memerkosa? Apaa? Oh ya! Ada kata penting: ‘masih perawan’. Kurasa itu cukuplah. Aku lihat di ujung tempat tidurku pak Jan menandatangani seberkas kertas yang diberikan oleh polisi.
            Kurasakan genggaman kuat tangan bu Ratija. Hangat. Getarannya mengabarkan kecemasan. “Fbhuu..” mulutku tak mampu mengeluarkan kata dengan benar.
            “Oh, malang sekali Qonita.  Apa yang kau rasakan? Bagaimana ini semua terjadi pada dirimu?” Tanya bu Ratija bertubi-tubi.
            “Ffbhuuf…” bibirku terasa kelu, tebal.
            “Sabar bu, dia sebentar lagi pasti bisa menjawab semua pertanyaan ibu. Saat ini saraf mulutnya masih terganggu oleh obat bius.” Pak Jan mencoba menenangkan bu Ratija.
            “Qon, ibu Ratija telah menungguimu sejak kemarin, aku khawatir bila nanti ibu malah sakit.”
            “Ffbhuff…” gemas sekali aku ingin berucap, ‘Ya bu, pulang saja, aku akan baik-baik saja!’ tapi aku hanya mampu mengangguk lemah sambil kupasangkan senyum agar aku nampak baik-baik saja.
            “Yang penting sekarang semuanya semakin baik. Ibu, Sebaiknya ibu pulang bersama pak polisi. Ibu sudah terlalu lama di sini. Ibu tentu lelah.” Pak Jan menarik tangan ibu Ratija. Sikapnya lembut, berbeda sekali dengan sikapnya di kantor.
            “Tidak.” Jawab ibu Ratija tegas, matanya tak lepas menatapku.
            “Bagaimana dengan –adik-adik- Qonita?” Pak Jan menengok ke arahku. Melihat tatapannya, ah... kukira hanya orang gila sepertiku yang ‘bisa’ berpikiran kacau disaat kritis seperti ini. Kacau karena alasan :
Ada 12 area pada otak yang bekerja pada saat seseorang jatuh cinta. Ke 12 area itu menghasilkan bahan kimia seperti : Dopamin, oxytocin, adrenalin, dan vasopression yang berujung pada euphoria. Bahagia.
            “Oh, jantungnya berdebar lebih kuat!” seorang suster menengok dan menunjukan jarinya ke arah monitor jatung.
            Oh! Malunya aku, itu adalah efek kimia dan euphoria orang jatuh cinta BODOH!
Astagfirlloh.
Nah, benar memang cinta membuat orang gila. Aku mulai tak sopan mendampingkan kata ‘bodoh’ dan ‘istigfar’. Setidaknya aku –tak terlalu berdosa- dengan pikiran liarku ini.
            “Alhamdulillah!” bu Ratija tersenyum lebar. Matanya bersinar gembira.
            “Nah, ibu bisa lihat sendiri kan?  Qonita akan segera sembuh bu, dia gadis yang kuat. Ibu bisa tenang sekarang.” Pak Jan menambahkan alasan. 
            “Sekarang ibu sudah lega bukan? Ibu bisa beristirahat di rumah.” Seorang suster menimpali bujukan pak Jan.
            “Qonita?” Tanya bu Ratija memandangku cemas.
            “Biar aku yang mengurusnya. Pasrahkan saja semua pada petugas medis di sini, bu. Ibu percaya padaku bukan?” kata pak Jan, matanya menatap bu Ratija teduh.
            “Saya hanya percaya pada Allah semata.” Kata bu Ratija sengau.
            “Hahahaha... tentu saja.” Pak Jan tertawa.
            “Baiklah, saya pasrahkan segalanya pada tuan. Saya mohon... “ akhirnya bu Ratija membereskan tasnya. Aku bisa melihat barang-barang standard yang selalu dia bawa, Al-quran,  tasbih, dan tentu saja minyak gosoknya.
            “Ah tentu.”
            Lalu semua berlalu dari ruangan ini. Kecuali polisi itu. Dia menatapku lama hingga pak Jan datang, membisikan sesuatu dan memberikan selembar amplop. Aku ingin sekali tahu apa yang dibisikan pada pak Jan.
            Beberapa kali pak Jan menerima telephone, sambil dia melihatku sesekali. Kurasa dia melayani semua bisnisnya dari sini, dari rumah sakit?
            “Kau benar-benar sudah bangun?” tanyanya berdiri di sampingku.
            “Air...”
            Dia mengambilkan segelas air dan mengantarkannya dengan sedotan ke mulutku.
Kulirik monitor jantung. O-oooo... alatnya benar-benar bekerja! Alat itu begitu sensitif membaca degub jantungku.
            “Ffbuuffh…?” maksudku ‘Apa yang terjadi?’. Tentu saja aku masih bingung.
Pak Jan mengambilkan sedelas air isotonic. Dia mengarahkan sedotannya kepadaku. Kuhisap air di dalamnya. Benar aku begitu haus.  Kucoba menarik nafas. Kulantunkan Ar-rahman dalam hatiku untuk menenangkan hati karena jarak kami yang  begitu dekat.
            “Kamu diculik, dirampok, semua ranselmu, dan berkas-berkasmu hilang.”
            “Whamphok..?” suaraku pelo terhambat rasa baal.
            “Ah untungnya kau tak menyimpan file penting perusahaan.” Kata pak Jan menarik nafas.
            Semua File saya penting pak! File tentang ide-ide saya yang hebat... ah ya... tak ada yang patut aku banggakan dari file-file itu.
“Kamu –tertidur-sampai-3 hari-.” Suara pak Jan penuh penekanan.
            “Haa? Uhuk...uhuk...” tersedaklah aku. Pak Jan menepuk punggungku.
 Oh, tuhan bagaimana cara menolak perlakuannya? 3 hari telah hilang dalam hidupku, dan begitu bangun aku menemukan pangeran yang begitu –perhatian- padaku? Kejutan dari Tuhankah ini? Hadiahkah ini? Atau ujian baru dari Tuhan agar aku mampu menaklukan syetan penggoda?

            “Kurasa kau tidak pernah sadar sejak diculik 3 hari yang lalu.” Pak Jan duduk di ujung kakiku. Tanpa Ragu. Ingin sekali aku menolaknya, tapi bagaimana caranya?



Bersambung

Rabu, 22 Juni 2016

TELELOVE Bagian 28

Putri.  11.
PUTRI TIDUR



Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan,
Dia harus bangun dari tidurnya .


Berat  sekali aku membuka mataku. Kenapa kelopak ini begitu rekat menutup. Sudah kucoba berulang kali menjaga kesadaranku. Tapi adegan-adegan tak karuan berulang kali datang dan pergi bergantian tema. Sebentar tentang rumah  yang damai dan hangat tempatku bersesak-sesak bersama delapan  anak lain, di rumah ibu Ratija.
            Lalu berganti tentang hiruk pikuk pekerjaan kantor. Wajah Kamila dengan senyumnya yang menyeringai, menampakan taringnya yang belum pernah aku lihat.  Dia duduk di pangkuan pak Jan di ujung meja. Dengan kostum kantor super seksi, super ketat.
            Ini pasti tidak benar. Ini tidak nyata! Aku menggelengkan kepala berulang kali. Menghalau gambaran iblis diujung meja (Kamila). Lalu kupejamkan mata.
 Saat aku bangun aku bingung, karena tiba-tiba saja aku ada di tengah  lalu lintas malam dengan kelebat lampu mobil  yang menyilaukan. Rahman menempel di punggungku, pampersnya yang penuh sepertinya mulai meresap di punggung kemejaku. Di dadaku menggelayut Rahim. Kedua bayi itu meraung galau, bingung dengan jalan raya.
Sementara aku tak punya apapun untuk menghentikan tangisnya. Seandainya saja Tuhan menganugrahiku ASI di payudaraku, depan dan belakang sekalian!
Mataku menangkap lambaian tangan Ilalang di seberang jalan. Anak itu, seperti biasa, terduduk lemah, sementara kaki palsu dan tongkatnya hancur berserak di sampingnya, entah kenapa.
Aku  Ingin sekali menyeberang, mengambil dan mengajak  Ilalang. Terburu lampu merah menyala, sebuah bis tua yang kumuh besar sesak penumpang berhenti, mogok, knalpotnya terkentut-kentut mengeluarkan asap jelaga hitam tepat di depan  hidung Ilalang, hingga Ilalang ‘terpaksa’ menghirup asap hitam itu. Dan Ilalang mengalami sesak nafas yang akut. Asma alerginya akut.
Oh, Ilalang ! Aku ingin sekali berlari menghampirinya. Menggendongnya. Membawanya pulang. Tapi kakiku begitu berat. Tanganku begitu lemas. Tubuhku... lalu gelap. Kelebat terang memerah, lampu sorot mencoba menembus kelopak mataku.
Tuhan, kenapakah aku ini?
Kudengar gemuruh orang bersuara. Terdengar juga denting alat-alat logam. Restorantkan ini? Semoga benar aku di restorant, aku sangat lapar. Tapi yang kucium bukanlah aroma masakan, melainkan aroma obat-obatan.
Mataku, membukalah! Tuhan, kenapa aku tak berdaya?
“Anak ini?”
“ Semua dalam pengamatan?”
“ Bagaimana?”
“Yah, sesuai dugaan kita.”
“Jadi benar dia sedang ovulasi”
“Ah! Hebat!”
Suara-suara itu. Apa kata mereka? Ovulasi? Apa? aku? Akan? Haaaaaaaaa...!
Inikah hari itu? Hari dimana aku tak dapat menolaknya? Aku... aku... akan hamil demi menyelamatkan rumah ibu Ratija termasuk 15  penghuni di dalamnya.
Aku akan hamil, begitu saja, tanpa suami, aku akan menjadi ibu biologis dari sepasang telur dan sperma entah milik siapa, yang mereka tak memiliki rahim untuk menjaganya.
Cuma itu? Tidak! Aku baca kontrak itu bunyinya....
*atas nama ilmu pengetahuan*
Aku ingat, betapa ibu Ratija berusaha merobeknya. Tapi kertas bermaterai itu memang dirancang untuk tidak bisa robek, bagaimanapun keadaannya. Ibu Ratija yang tua renta begitu lemah dalam paksaan seorang mansis kekar. Sembilan adikku yang menjerit-jerit, sungguh memilukan, mereka duduk dibawah ancaman senjata.
Setelah hari itu, aku secara paksa mengalami pemeriksaan yang panjang. Sementara air bersih mengalir lancar di rumah kami. Listrik mengalir tanpa putus, kiriman makanan memenuhi lemari persediaan kami. Tak tanggung-tanggung, mereka membangunkan bunker bagi kami untuk melindungi kami dari perubahan cuaca yang ekstrim. Di dalam bunker itu, dipenuhi dengan aneka makanan, minuman.
Apartemen  kami yang sengsara, melarat, namun penuh kasih dan kedamaian, kini berubah menjadi istana mewah kecil yang nyaman namun penuh dengan kegelisahan.
Siang malam kami lantunkan doa, semakin kami berdoa, semakin kami merasa Tuhan mendekat, tapi aku rasa, Tuhan hanya melihat, mencoba kami agar kami lebih kuat-lebih kuat. Hingga hari ini datang.
Semuanya patah.
Ibu Ratija mendadak stroke saat lima dua orang manusia buatan  menjemputku dengan paksa. Kerudungku tak karuan lagi bentuknya. Mansis itu menarik ke belakang, hingga kepala berambut merahku menyembul, dan aku nampak seperti seseorang mengenakan jubah berlubang saja.
Para tetangga tanpa daya menatapku kasihan,. Mereka hanya bisa mematung. Karena mereka tahu, mereka tak mungkin melawan para mansis ini. Kami adalah rakyat jelata, yang kurang gizi, hingga bentuk tubuhnya tumbuh tak seindah kaum ‘bergizi’, dan tak memungkinkan melakukan tindakan bela diri.
Kami mengalami devisit energi. Output lebih besar dari input. Memeras keringat, banting tulang, putar kepala, hanya untuk sejumput karbohidrat, selembar kupon air bersih, selembar kupon listrik untuk sekedar menandakan ‘kami masih ada’.
Ironisnya,  dari septik tank, dan atap-atap gedung penadah sel surya  kamilah, mereka membuat listrik, dari listrik itulah  mereka mengelola air.

Air... Air...



BERSAMBUNG.....

Selasa, 21 Juni 2016

TELELOVE Bagian 27

PANGERAN. 10

HALLO!





Kamu yakin, dia masuk sini? suara para pendatang itu. para lelaki.
Yah, lihat saja rekaman kamera pengintainya
Mati aku! Kukira kamera pengintai hanya ada di hutan Buwatan. Ternyata di gedung huniyan orang juga ada! Dan mereka memang mencariku!
Kurasakan seseorang mendekatiku. Lalu terasa orang itu menarik Dinda. -Ah, dia ngompol. Sial.- Dia mendudukan Dinda lagi di atas pangkuanku. Syukurlah.
Nenek Tua! Awas kau bila kau menyembunyikannya. Semua pelanggaran dapat dibuktikan. Dan kau harus tanggung sangsinya!- suara serak seorang pria terdengar.
Lalu terdengar pintu dibanting.
Karpetku dibuka oleh... oleh... lutfi?
Aku masih gatal dan mulai bergerak-gerak.
Ibu, kenapa dia? lalu semuanya bersuara dengan bunyi anak-anak.
Aku mulai berdesah, berdesis, mengeluarkan suara. Pandanganku berputar. Pasti karena bebrapa hari ini dokter Rut tidak menyuntikan obat ke tubuhku. Aku bisa melihat, anak-anak yang agak besar memeluk adik-adiknya yang kecil. Wajah mereka seperti itu. Antara takut dan khawatir.
Bahkan kedua bayipun diam.
Akhirnya aku mengelupas. Dan aku lunglai.
Waaaaaaaaaa. suara kagum, ngeri, takjub, kaget, bingung menghujani diriku. Anak-anak kecil menjumputi guguran kulitku. Nampak mereka mengaggumi kulit lepasku.
Buka ikatannya! suara bu Ratija terdengar cemas.
Ibu, tapi kata ibu, dia mungkin berbahaya. kalau tak salah dia namanya Karin.
Dia lemas. kata ibu Ratija mulai membuka ikatannku
Kenapa?
Tadi kita sudah membaca tentang mansis bukan?
Tidak, dia adalah yang musuh  polisi-polisi gadungan tadi.
Kata siapa, ibu?
Musuh polisi gadungan pastinya ‘orang’ baik-baik.
Polisi gadungan itu, apa kakak?
Ah, sudahlah, kalau kau besar kau akan mengerti. Cepat buka ikatannya!
Anak-anak ramai berswara. Karin dan Nisa anak terbesar membuka taliku.
‘Terima kasih’, tapi aku tak bisa  mengucapkannya. Kusentuh bibirku dan dadaku ku tepuk. Bahasa tubuh yang diajarkan dokter Rut.
Karin dan Nisa saling berpandangan. Mereka tersenyum, hangat. Lalu memapahku ke tempat tidur.
Aku terlentang. Dikelilingi anak-anak kecil. Dokter Rut aku jadi ingat kisah puteri salju yang pernah kau ceritakan itu. Kira-kira keadaanku  seperti gambar putri Salju yang dikelilingi 7 kurcaci.
Dan perasaan ini, bagaimana aku menggambarkannya?
Rasanya pasti pedih.Kata Ibu tua di ujung tempat tidur.
ssssshhh... fuh... fuh... Ilalang meniupi lenganku yang memerah muda.
Fuh... Fuh...Dinda mengikuti kelakuannya.
Fuh... fuh... lutfi mengikutinya.
            ‘Hai... kenapa...?’ aku menengok ke arah ibu Ratija.
            Itu cara kami, menghilangkan sakit pada anak-anak ‘bayi’ kami. kata ibu Ratija diujung  tempat tidur. Sepertinya dia tahu apa yang ingin  aku ucapkan.
            Dokter Rut, kmu pasti bilang tiupan itu adalah perilaku primitif. Tapi aku rasa efeknya lebih cepat dari pada obat suntikmu.   ntah bagaymana menjlaskannya,  dengan tiupan anak-anak kecil aku merasa nyaman, hangat, dan ada rasa ngilu didada.
            Air mataku menetes!
 Inilah pertama kali aku menangis! Aku baru tahu kenapa dokter Rut suka menangis di depanku. Rasanya pasti seperti ini.

                                                                        ****








BERSAMBUNG


Minggu, 19 Juni 2016

TELELOVE 26




PANGERAN. 10
HALLO!



Dia melihatku! Tapi aku tidak lari. Aku ingin tahu dia mau apa. Dan dia melihatku terus. Matanya indah sekali. Seperti mata KW3 yang bulat besar.  Lalu dari atas sini aku mengikuti mereka. Lalu  mereka masuk ke salah satu gedung.   Yang sering dokter Rut  sebut rumah susun. Lalu aku kehilangan mereka.

Lalu aku melihat sebuah jendela di lantai atas terbuka. Ada tangan anak kecil melambaikan kain warna merah. Lalu dia menaruh buah pisang di sana.
Aku langsung melesat ke sana. Maksudku, aku berjalan, lalu meloncat, dan  Aku tak percaya akan bertemu seorang –teman- di luar hutan buwatan.
Beberapa kali seperti itu. Hingga aku tak pernah lapar. Lalu kudapati waktu makanku tak ada lagi, aku pun memberanikan diri ke sana. Saat aku tiba, aku lihat jendela terbuka, dan buahnya ada di sana.
Ada yang mengambil. Anak itu. Aku dan anak itu kembali saling menatap. Aku tahu dia baik. Tapi kenapa buahnya hanya ia genggam. Tapi lalu dia melangkah. Memgacungkan buah di tangannya padaku.
Aku menerimanya dengan terus menatapnya. Dia –tersenyum- sepertimu dokter Rut. Aku mencoba tertawa.  Tapi mungkin aku tak bisa memberi senyum yang baik. Dia melihatku, takut. Lalu dia mundur. Tapi ia nampak ragu. Dan Matanya mengajakku masuk.
Aku masuk. Lalu jendela tertutup. Otomatis. Sial ini jebakan! Lalu aku merasakan pukulan di belakangku.  Lalu gelap.
Samar aku melihat –lagi- gadis hebatku, si pesek, bibir dan jidat menonjol. Keriting. Lalu gelap. Saat aku terbangun lagi, aku dalam keadaan terikat di kursi. Beberapa anak manusia melihatku dengan melotot, lalu mereka berlarian ke luar ruang. Hanya seorang anak yang tertinggal di sini. Kurasa karena dia tak bisa berjalan. Kakinya hanya seukuran bonggol jagung. Maksudku, kakinya sangat kecil. Tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. Dia menatapku. Ketakutan.
Kurasa aku bukan  dalam perangkap kelompok ilmuwan lain. Tapi situasi asing ini tetap saja membuatku gelisah. Aku lupa agar aku selalu tenang. Agar aku tidak mengelupas di depan anak-anak manusia ini.
Ibu, dia sudah bangun. Terdengar  seorang di luar  berteriak . Lalu aku melihat seorang wanita tuwa datang. Dia menatapku. Mulutnya komat-kamit.
Kamu siapa? tanyanya menunjuk diriku.
‘aku Sebelas’, tpi kmu tahu bukan, aku tak bisa bicara. Aku hanya menatapnya, lalu wajah-wajah anak kecil yang mengelilingiku.
Ayooo! kenalkan diri kalian! dia akan baik, jika kita baik. Jangan takut anak-anak. Kata wanita tuwa itu.
Jika dia baik kenapa ibu mengikatnya? anak kecil di sampingku bicara bening, tanpa mengalihkan tatapannya padaku.
Itu untuk berjaga-jaga. kata wanita tuwa itu.
Dia tidak akan menggigit kita? anak kecil lain menempelkan telunjuknya dengan ragu di perutku. Sebentar aku merasa geli, jarinya bukan cuma menempel, menekan, tapi menggelitikku, seperti yang sering dokter Rut lakukan padaku. Dokter Rut, aku yakin, mereka orang baik. Karena mereka mau menggelitikku seperti dokter Rut.
Yah, makanya ibu ikat. Oh, tuan Sisik jika benar kau pemakan buah dan dedauanan, semestinya kmi tak perlu takut padamu ya?dia menyentuh dadaku dengan gemetar, jelas sebenarnya dia takut, tapi dia ingin menunjukan keberaniannya di depan anak-anaknya.
Saya ibu Ratija. Kata ensiklopedi, kamu itu jenis paling jinak, dan nyaris seperti kmi. Tangan kanannya menunjukan benda ditangannya, benda yang oleh dokter Rut diberi nama ipad. Tangan kanannya mengusap tubuhku dengan lembut. Seperti cara dokter Rut menyentuhku. Tapi dari sentuhannya, aku merasakan ada yang berbeda. Tapi tetap saja sama.  Kurasa  Ini sentuhan orang baik.
Lalu ibu Ratija menarik salah satu anak. Ini Karin, 10 tahun. Kata wanita tuwa itu sambil menyentuhkan tangan seorang anak wanita pada tubuhku.
Ini Muti, 4 tahun. Ica, 10 tahun. Lutfi 6 tahun, Nisa, 12 tahun, Dinda 1,5 tahun. Illalang 3 tahun.  Aku menghapal nama-nama itu  segera. Mereka mengenalkan dirinya! Dokter Rut pasti setuju bila aku bilang mereka orang baik.
Mereka mulai berani menyentuhku, merabaku, layaknya aku barang aneh. Sementara aku dalam keadaan terikat dan menahan rasa geli karena sentuhan tangan-tangan mungil mereka. Mereka semua tersenyum ragu.
Haus... mimi...-Dinda, anak yang terkecil di kelompok ini,  menyorongkan –botol- air tawarnya padaku, memaksaku untuk minum.
Nisa. anak yang lebih tua mengingatkannya.
Cepat aku hisap isinya. Yah aku memang sudah haus. Dinda tersenyum. Lucu sekali.
Dokter Rut, apa ada hubungan antara minum air putih dengan perasaan hangat?
Lalu tiba-tiba saja ada alarm berbunyi. Aku begitu panik. Ibu tua itu segera menutupiku dengan karpet.
Pintu terbuka. Ada apa? tanya ibu Ratija. Tapi tak ada jawaban.
Aku bisa mendengar derap kaki bersepatu ‘seragam keamanan’ memasuki ruangan ini. Barang-barang berjatuhan.
Ada bayi menangis. Ada bayi lain menangis juga. Suasana berubah menjadi gaduh.
Nisa! Seseorang memanggil yang lain.   kurasa Nisa menggendong bayi yang satu, sedang ibu Ratija menggendong bayi yang lain. Oh! Ingin sekali aku mengintip apa yang sedang terjadi. Tapi tanganku terikat di kursi ini, dan aku tak bisa menyingkap karpet yang menutupiku. 
Mendengar bayi-bayi itu menangis kencang, aku panik. Aku belum pernah mendengar anak bayi manusia menangis seumur hidupku.
Ibu, saya harap ibu tidak menyembunyikan apapun dari kmi! Tadi  kami lihat, dari kamera pengintai bahwa ada penyusup masuk ke rumah ini. Kata seorang lelaki di sela kegaduhan.
Ibu tahu, sangsi bila ibu memiliki android, ataw mansis ilegal?terdengar suara keras seorang pria.
Kata mansis, itulah yang memanah kepalaku dengan tepat. Mereka sedang mencariku! aku jadi panik. Aku lupa pesan dokter Rut agar aku slalu tenang dalam keadaan apapun.
Jadi aku segera –akan mengelupas-. Aku mulai bergerak, karena gatal. Dokter Rut, dmanakah kaw? Aku ingin suntik anti sakitnya!
Tiba-tiba seseorang menupangkan Dinda di pangkuanku. Sambil berbisik -sssst... diamlah! Sebenatar saja.
Kakak.suara anak lucu itu, dinda, terdengar takut.
Dinda pipis.suara dinda terdengar takut.
Bagus.bisik anak yang lebih tua.

Suara di luar  tetap gaduh. Bayi-bayi tak juga diam. Derap kaki, bantingan pintu, deritan kaca jendela berbunyi semua.





BERSAMBUNG.....

Translator: