Sabtu, 23 Juli 2016

TELELOVE43

PANGERAN. 16
BURON



Ibu, padamu hutangku tak kan pernah lunas.


Baru seminggu si Yasmin android itu bergabung, Rahman  dan Rahim mulai mengalami perubahan yang baik. Tentu saja ini semua karena perut mereka terjamin. Terisi dengan teratur dan tentu saja bergizi.
Mereka juga tidak rewel lagi, karena si Yasmin android itu pandai menyanyi, nyanyiannya menenangkan hati mereka.  Para penciptanya memberikan piranti lunak pada si Yasmin berupa alunan musik terapis yang sudah diuji coba untuk  menaikan kemampuan IQ pada anak balita.
            Tebak siapa yang mendulang banyak keuntungan dari musik dan lagu yang rajin berkumandang ini? 9 kurcaci di rumah ini dan TENTU SAJA AKU!
            Sejak aku bisa bicara, aku merasa mengalami lompatan-lompatan kepandaian, apalagi ibu Ratija mengatur agar saat jam belajar aku ada diantara 9 kurcaci. Secara ajaib dan melompat aku melewati kemampuan 9 kurcaci ini. Semua tampak senang.
            Dokter Rut pasti akan kaget bila melakukan test kemampuan IQ padaku.
            Lalu akupun mulai bertanya tentang Tuhan, Sholat, puasa, dan semuanya. Ibu Ratija nampak gembira sekali. Dia mempersilahkan aku menggali segalanya dari internet. Karena memanggil seorang ustad yang kompeten sangat berbahaya bagi kami.
            Aku juga diperingatkan agar tidak melakukan chating/temu muka langsung via internet. Katanya jaringan sosial warga ada dalam pengawasan pemerintah.
            Ibu Ratija mulai mendaulatku sebagai  guru belajar mandiri 9 kurcaci ini. Pekerjaan yang dulu dia tangani dengan Qonita. Selain itu aku melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan para lelaki di rumah tangga, atau tukang harian yang tarifnya mahal.
            Membetulkan kran air, membetulkan instalasi listrik, membetulkan mainan. Memperbaharui perangkat lunak dan keras komputer.
            Aku tahu, bisa saja kami berhitung, tentang berapa jumlah uang  aku harus bayar untuk tidur, makan, dan air. Karena makananku tergolong –sangat mewah- sayur mayur, serangga, dan buah-buahan. Sementara aku bisa mendapat upah sebagai tukang, guru, pemberi rasa aman, pengasuh.
            Bila benar begitu, maka akulah yang akan mengalami devisit. Bila pemulihan, penambahan kepandaianku, dan manusiaisasi, moralisasi, dan imunitas sosial, rasa dikasihi, rasa dihargai, rasa dicintai, dan semua rasa termasuk dalam daftar harga.
            Maka hutangku pada ibu Ratija tak akan pernah bisa lunas.

***

BERSAMBUNG

Kamis, 21 Juli 2016

TELELOVE 42

PUTRI. 15



FILM




Dua garis. Positif. Kali ini aku menatap hasilnya lama. Berharap satu garisnya hilang. Hanya dengan kekuatan pandangan mata. Hilanglah! Hilanglah!
            Tapi tidak. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Tetap 2 garis.
            Lemaslah segala ototku. Riuhlah badai pasir di otakku. Pasir di otakku membadai seketika. Apa yang aku alami ini? Benarkah? Aku tak dapat percaya. Ini Cuma selembar alat kecil pula! Kubisikan dari hatiku Innalillahi wainnalillahi rojiun. Badai pasir otakku mereda.
“Qon...?” suara pak Jan dari luar terdengar. Di tambah ketukan pintu kamar.
“Qon..? Qon..? Qon!” bonus panggilan cemas.
Kubuka pintu kamarku. Kutatap dia.
“Bagaimana?” aku melihat kecemasannya.
Kuberikan hasil test packku. Kukira dia akan kaget atau terkejut, walau dia sudah bisa menduga hasilnya. Ternyata aku salah. Aku melihatnya biasa saja. Alisnya sedikit naik. Seperti jika dia memeriksa analisa pasarku yang salah atau benar. Ya Tuhan! Dia biasa saja! Padahal tadi dia yang nampak penasaran. Tentu saja, dia biasa saja. Dia tak ambil bagian apapun dalam penciptaan dua garis di test pack itu.
Yang seharusnya mengalami kiamat itu aku!
Aku jatuh terduduk lemas. Menangislah aku sejadi-jadinya. Pasir di otakku teraduk-aduk karena guncangan tubuhku. Tak kuat dengan segala kebingungan ini. Siapa yang menyangka? Aku belum melakukan apa-apa. Apapun. Tak seorang lelakipun yang dekat denganku. Pak Jan itu bukan apa-apaku. Dia sahabatku, bukan pacarku, apalagi pernah mengintimi ku. Bersentuhan saja nyaris tak pernah.
            “Menangislah sepuasmu, Qon.” Dia jongkok di depanku sambil membawa sekotak tisue. Bila aku seorang Maya, tentu dia telah menarikku dalam pelukannya, untuk menumpahkan semua air mataku di dadanya. Tapi aku seorang Qonita, gadis yang selalu menjaga hijab. Hanya kepada Tuhankulah aku mencari tempat tumpahan air mataku.
            “Qon, Kau ingin aku mencarikan bapaknya? Atau orang tuanya?”     tanya pak Jan berhati-hati. Setelah suara tangisku mereda. Dia pasti telah memikirkan segala ucapannya.
            Badai pasir kepalaku bangun dalam bingung, lagi.
            “Bapaknya? Orang tuanya?” aku berusaha menhentikan tangisku.
            “Untukmu ini memang  diluar kebiasaan. Sangat aneh. Memang biasanya para orang tua menyewa rahim wanita untuk menjaga janin mereka. Lalu selama sembilan bulan ke depan, para orang tua  penyewa rahim ini        menjamin kehidupan wanita pemilik rahim sampai bayi itu lahir.”
            Aku hanya diam. Orang tua sialan itu! Di manakah mereka?
            “Qon, terjawab sudah, kenapa sehabis penculikan itu, kau belum bisa pulang ke rumahmu. Serta  beberapa kali kau masih mengalami penguntitan, hingga kau terpaksa harus tetap sembunyi di sini. Rupanya kau membawa janin mereka.”
            “Tapi kenapa orang tuanya tidak menemuiku secara langsung. Bicara baik-baik. Minimal mohon maaf, dan menerangkan melalui media massa sebagai usaha rehabilitasi namaku? “
            Pak Jan diam.
            “Atau orang tuanya sudah tahu jika aku hidup aman dan terjamin di sini?”
            Pak Jan diam.
            “Apa  orang tuanya tidak khawatir aku menggugurkan anak ini? Karena secara hukum, aku bisa melakukannya secara legal setelah melalui test pembuktian bahwa ini bukan anakku!? Dan aku tak pernah melakukan kontrak apapun secara resmi dengan mereka.”
            Pak Jan diam menatapku prihatin.
            “Aku bisa menggugurkan anak ini! Kenapa mereka seenaknya saja melakukannya padaku?”
            “Kau tak kan mungkin melakukkannya Qon, dan itu telah mereka perhitungkan.”
            “Kenapa? Aku bisa saja melakukannya!”
            “Aku tidak percaya.”
            Menangislah aku. Tuhan, bagaimana mungkin aku menggugurkannya sementara aku begitu takut atas dosanya.
            Bila kubiarkan janin ini tumbuh pun hanya menimbulkan kebingungan tanpa akhir. Dia tak memiliki silsilah yang jelas, salah satunya, karena darah kami tercampur, sekalipun itu di luar kehendak kami.
            “Memang aneh. Kenapa mereka melakukan ‘dengan paksa’? sementara proses seperti ini sudah bisa dilakukan secara legal?” pak Jan bicara pelan. Dia bersila di depanku.
            “Ya Allah... kenapa aku harus hamil anak ‘orang’... bukan anakku...” Aku tahu, sebagai muslim, harus menerima cobaan dengan ikhlas, bukan dengan kata tanya : ‘Kenapa saya Tuhan?’
            Kini Kusadari, aku ini seorang muslimah yang masih jauh dari rel agamaku. Aku masih susah payah menerapkan semua sunah dalam kehidupan dan menerima takdir ini.
            Kenapa Tuhan memilihku cobaan ‘gila’ padaku, muslimah yang keimannanya masih jauh – jauh... dari surga...
            “Kenapa saya pak Jan?”
            “Karena kau kuat, Qon.”

***

Rabu, 20 Juli 2016

TELELOVE 41

PUTRI. 15
FILM






Hujan deras berseling petir, disertai angin rebut,  berhasil memerangkap kami dalam apartmen. Berita TV isinya hanya tentang banjir, longsor, putting beliung, di sana sini Alam memaksa warga kota mencari pengungsian.  Ingatanku melayang ke rumah. Bagaimana di sana? Biasanya bila hujan deras seperti ini, aku sibuk mengalihkan perhatian adik-adik yang takut akan amarah alam atau  Ibu Ratija biasanya mengajak anak-anak berdoa.
“Mungkin film documenter bisa mengundang inspirasi Qon.” Pak Jan mematikan berita TV yang sedang aku tonton. Lalu menggantinya dengan saluran National Geographi. 
Film itu menggambarkan proses tumbuh kembang seorang anak manusia. Pak Jan mengerti dengan kebutuhan pekerjaan anak buahnya. Ini pasti karena  aku sedang mengerjakan proyek iklan bayi, dari susu, android, pampers.
“Ah, kebetulan sekali. Terima kasih, pak.” Kuacungkan jempolku.
Mata kami terpaku dengan proses tumbuh kembang seorang anak. mulut kami terkunci dengan kekaguman betapa Tuhan telah merancang segalanya sejak sperma bertemu dengan sel telur.
Melihat pak Jan duduk serius, tanpa bersandar, serta tengokannya kearahku, dan tentu saja pandangannya itu, membuat aku menjadi salah tingkah. Tuhan! Jangan kau buat scenario hujan deras, dan terkurungnya kami di apartemen ini, menjadi adegan tak senonoh.
Ah! Pikiranku. Otak pasirku, gemuruh.
“Qon, apa kau merasakan sesuatu?” pak Jan tetap menatapku. Membuatku salah tingkah. Aku harus jawab apa? ‘ya, aku merasakan getaran rasa’. hohoho amboy.
 Istigfar Qon!
“Film itu.” Pak Jan menunjuk ke arah TV.
Ah! Kukira apa. Otak dan perasaanku bereaksi berlebihan rupanya. “Kenapa filmnya, pak?”
“Filmnya, kok  seperti apa yang kau alami akhir akhir ini.”
Apa? Pak Jan memperhatikan aku? Pasir di otakku bergerak amburadul. Maksud dia apa sih?
“Kebiasaanmu akhir-akhir ini seperti wanita hamil muda.” Suara pak Jan jelas. Petir pun diam, agar suara itu masuk ke dalam pikiranku. Tapi aku tetap sulit mencernanya.
‘kebiasaanku seperti wanita hamil muda?’
“Serangan mual, dan pusingmu mungkin bukan maag, karena pada saat yang bersamaan kau menyukai buah-buahan masam.” Suaranya pelan, patah-patah. Pak Jan sangat serius. Aku berani menyahutinya dengan gurau. Aku tidak mampu untuk bergurau ketika pasir diotakkku berbaris rapi lalu bertanya padaku: ‘aku hamil?’
“Ba… bagaimana mungkin? Bapak tahu sendiri saya tak punya pacar, dan bagaimana pergaulanku di kantor? Dan jilbab ini sungguh bukan hiasan belaka.”
“tapi kau pernah hilang di culik.”
“Dokter bahkan memastikan saya masih perawan.”
“Tapi itu mungkin saja terjadi, ingat kau beberapa kali mengalami percobaan penculikan.”
“Mustahil, penculikan itu terjadi pasti karena alasan lain.”
Pak Jan bangkit meninggalkan kekacauan pikiranku. Tak berapa lama kemudian dia ke luar dari kamarnya.
            “Entahlah; Tapi ini... Cobalah!” Baru kali ini aku melihat pak Jan gugup, menggigit bibirnya. Dia bahkan menelan ludahnya. Dia memberikan test pack padaku. Kedua tangannya kembali dia sembunyi di saku celananya.
            Kutatap benda kecil di tanganku. Apa ini? Ini test pack, bodoh! Bagaimana dia memiliki benda semacam ini?
            “Ini milik Maya yang tak pernah ia pakai.” Pak Jan seolah bisa membaca pikiranku.
            Oh, tentu saja hubungan mereka telah sangat jauh, sehingga memiliki test pack adalah hal yang wajar.
            “Kapan terakhir kau menstruasi?” Tanya pak Jan, gayanya seperti seorang dokter.
            Lama aku mencerna pertanyaannya. Bingung tak karuan. Otakku begitu lamban mengingat tanggal mestruasi terakhirku. Ya. Rasanya sudah lama sekali.
            “Oh, Qonitaaaa... cepatlah! aku harus segera tahu.” Desak pak Jan.
            “Kenapa aku?” dan kenapa dia yang  gugup? Otakku benar-benar gaduh.
            “Sudah kukatakan tadi, karena kamu-dua-minggu-ini-seperti-orang-hamil-trismester-pertama-. Doktermu bilang tidak ada yang salah dengan kesehatanmu.”
            “Astagfirulloh... bapak...”
            “Maaf.”
            “Bagaimana...?” bagaimana bapak tahu cirri-ciri orang hamil? Hanya karena melihat film ini?
            Aku tak melanjutkan pertanyaanku. Pasir di otakku segera membuka file-file dua minggu. Malas di pagi hari, mual, muntah, kembung, emosi tidak stabil, senang buah-buahan berasa asam. Sepertinya semua yang dikatakannya itu benar!
            Bagaimana semua itu aku tak menyadarinya? Bagaimana  pak Jan memperhatikan semua itu? Kami saling tatap. Aku tak kuat lagi untuk terus menatap matanya.
            “Saya bahkan masih perawan pak.” Kataku tersenyum.
            “Aku tahu, aku percaya. Tapi lakukan saja, agar kita segera bisa bernafas lega.” Perintahnya, aku menangkap nada gemetar dari bibirnya. Dia pasti sulit mengucapkannya.
            “Kenapa…” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Lama kami saling diam. Matanya memerintahku dengan sungguh-sungguh. Aku rasa apa salahnya memelakukan apa yang ia perintahkan? Bukan hal yang memberatkan. Walau sangat tak masuk akal.
Aku bangkit dan masuk kamar. Melakukan semua prosedur yang tertulis di test Pack. Lalu membaca hasilnya.

            Dua garis. Positif. Aku tak percaya. Kupejamkan mataku. Lalu kulihat lagi.  





BERSAMBUNG

Minggu, 17 Juli 2016

TELELOVE 40

PENGERAN.14

HANYA SEBUAH NAMA






Oh, aku baru tahu, wanita kaku yang ditinggalkan pak Jan ini ternyata android, manusia robot, temuan baru. Dia dirancang menjadi baby sitter atau pengasuh bayi, lengkap dengan buah dada  bohongan dan isinya yang bisa diisi ulang bila habis. Dengan prosedur pengisian yang higienis. ASI palsu itu bahkan keluar dengan suhu yang sama persis dengan ASI asli.
            Dia diprogram juga untuk bernyanyi dengan nada-nada yang dipercaya dapat meningkatkan kepandaian si bayi yang dalam pengasuhan. Bukan main! Menakjubkan. Kehadirannya tentu saja membantu bu Ratija dalam pengasuhan Rahman Rahim.
            “Ibu, bagaimana bila bibi ini kita kasih nama juga.” Usul Mufti terlontar begitu saja saat kami sarapan pagi.
            “Ya kita kasih nama dia... hmmm... hmmm..” Karin mengendus-endus si Android.
            “Yasmin.” Kata Ilalang spontan.
            “Apa?” Tanya Dinda menoleh.
            “Karena tubuhnya selalu harum bayi.” Ilalang menjelaskan sambil mempermainkan  bibir kaku itu dengan sendok.
            “Yasmin itu artinya melati bodoh!” Karin menoyor kepala Ilalang. Bu Ratija langsung melotot melihat tingkah Karin. Biasanya itu berarti ‘tak sopan’ atau tak baik. Aku selalu mencatat sopan santun di kepalaku.
            “Yah, pokoknya harum kan?” Ilalang mengelus kepalanya.
            “Setuju.” Icha bertepuk tangan, disambut tepuk tangan yang lain.
            Begitu saja proses pemberian namanya. Sederhana. Melihat prosesnya, aku bersorak, setidaknya aku merasa namaku lebih hebat. Namaku diambil dari nama seorang nabi yang tampan. Bukan karena ‘bau’ sesuatu.
***

Jadi rumah sempit ini kian terasa sesak saja. Sekalipun Yasmin tidak memerlukan tempat tidur. Dia cukup berdiri diam mematung sambil di isi listrik.  Mulanya kami kaku menerima seorang robot android dalam kehidupan kami. Tapi begitu Rahman dan Rahim nyaman dalam gendongannya. Nampak hangat dalam pelukannya, dan kenyang karena ‘air susu’nya. Kami menjadi ‘seperti’  keluarga yang normal.
            Karena normalnya, ide anehpun mulai  meluncur. Waktu itu aku sedang bermain dengan maianan ajaibku, memuaskan rasa ingin tahuku tentang dunia via internet saat aku dengar percakapan di atas tempat tidur.
“Ya Allah yang Rahim, Yang Rahman Yang menjaga kami, kami ucapkan rasa syukur ini karena kami  masih kau persatukan dalam ikatan kasih sayang di keluarga ini.” Suara Karin yang dewasa mulai aku dengar.
“Terima kasih ya Allah, Yang maha berkehendak, karena setelah kak Qonita pergi, kau kirimkan kak Yusuf yang kini seperti ayah kami.”
“Dan bibi Yasmin yang seperti ibu kami.” Dinda si Kurcaci kecil mulai ngelantur.
“Maka ijinkanlah kami menikahkan mereka, bi Yasmin dan kak Yusuf ya Allah.” Ilalang menambahkan.
“Hush!” Karin melempar kepalanya dengan boneka dari tempat tidurnya.
Oh? Mendengar doa mereka, aku harus bagaimana? Gembira? Terharu karena dianggap ayah? Atau konyol karena dijodohkan dengan seorang wanita android berdada palsu lengkap dengan refill ASI?
Dokter Rut, seandaikanya kau tahu keadaanku. Kau pasti terbahak.


***


bersambung

Selasa, 12 Juli 2016

TELELOVE 39

PANGERAN. 14

HANYA SEBUAH NAMA







Ibu Ratija tidak mengurungku, dia cuma bilang aku harus ekstra hati-hati bila aku ingin ke luar gedung. Ibu Ratija percaya padaku bahwa –orang- sepertiku mempunyai kemampuan jelajah dan pengenalan daerah yang luar biasa.
            Tapi bila di rumah aku harus selalu sembunyi dari tamu. Yang penting,  katanya, tidak boleh ada yang tahu jika aku ada di sini. Karena jika ada orang tahu, aku akan dikembalikan di tempat asalku, yang jelas aku tidak mau, karena di hutan Buatan tempat asalku sudah tak nyaman lagi untuk ditinggali sejak para ilmuwan  itu menambahkan para penghuni baru, para pemakan daging itu.
            Dan aku sudah berubah menjadi ‘orang’. Bukan lagi sekedar manusia buatan.
            Jika aku sampai ketahuan tinggal di rumah ini, bukan aku saja yang akan terkena akibatnya, tapi juga ibu Ratija. Ibu Ratija akan dikenai pasal menyembunyikan pelarian –penting-.  Jika ibu Ratija sampai dihukum berat, karena tidak bisa memberi uang denda, maka penjaralah tempatnya. Lalu bagaimana dengan anak-anak ini? Adik-adikku?
            “Kenapa kak Qonita tidak kembali saja, ibu? Jadi jika semua ini terjadi, masih ada kak Qonita yang menjaga kita.”tanya Karin.
            “Selama preman-preman itu masih berkeliaran, dia tak kan aman untuk kembali.”
            “Iya bu, kemarin mereka memangkas jalanku. Mereka tanya tentang kakak Qonita.”
            “Oh, di mana itu?”
            “Dibawah gedung ini.”
            “Astaga! Padahal sudah dua minggu sejak kepergian kakak qonita.”
            “Memangnya  kakak Qonita salah apa, bu?”
            “ibu juga tidak tahu.”                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
            “Tenanglah ade-ade, kita sekarang punya seorang pelindung. Dia lebih perkasa dari kak Qonita.”
            “Tapi Dinda tetap rindu dengan kak Qonita...”
            “Ya, kak Qon senang melucu.”
            “Ya, sedang kak Yusuf bisanya cuma tanya ‘kenapa, kenapa, bagaimanakah caranya... dan seterusnya’, pokoknya pertanyaan yang sulit-sulit.”
            Ibu Ratija tersenyum bijak, dia menatapku yang salah tingkah.
            “Tapi kak Qonita tidak bisa memperbaiki jendela, pintu yang rusak. Tempat tidur kalian. Mesin cuci kita. Selain itu kak Yusuf lebih sabar menghadapi kalian bukan? Dan dia belum pernah marah.”
            “Ibuu… saya kangen sama marah-marahnya kak Qonita…”
            “Walau kakak Qon tukang marah dan cerewet tapi dia suka melucu, Ilalang juga kangen, ibu.”
            “Tooooot!” Bunyi bel!
Protokol keamanan  langsung dilakukan. Aku menyisih dari ruang utama. Seperti biasa aku sembunyi di lantai atas, kamar anak-anak. Dari atas ini aku bisa mengintip dan melihat bahkan mendengar apa yang dilakukan para tamu.
            “Hallo, ibu Ratija? Kami dari kantornya Qonita.”
            “Oh pak Jan, selamat datang! Ini kejutan luar biasa.”
            Aku bisa mengintip seorang pria 30 tahunan, mungkin sebenarnya umurnya lebih tua lagi. Karena pria semacam ini, kaya-perlente-berkelas, selalu tahu cara mengakali umur. Bisa jadi usianya 40 tahun atau 50 tahun. Menurut keterangan yang aku baca, ‘mengusahakan tetap nampak muda’ telah menjadi gaya hidup orang-orang kaya.
            Jadi dia yang namanya pak Jan, atasannya Qonita itu.
            “Silahkan duduk.”
            Aku dapat melihat selain Pak Jan ada seorang wanita kaku diantara mereka, lalu seorang wanita gendut dan seorang kameramen. Kameramennya terus mengambil gambar.
            “Ini Prasetya, Humas PT Sahabat Andro.”
            “Hallo.”
            “Kami ke sini untuk menyampaikan bantuan dalam bentuk kerja sama. Begini...”
            Telingaku mulai menangkap pembicaraan mereka. Kalau tak salah menyimpulkan Qonitalah yang memiliki ide ‘uji coba android refill ASI’ di rumah ini. Wah, apa itu? Aku begitu asing dengan ide Qonita. Jelas dia gadis yang hebat karena  bisa mendatangan dua orang penting dari perusahaan besar ke rumah ini.
            Lalu  kenapa pak Jan tak ikut pulang setelah Prasetya dan kameraman pergi. Pak Jan malah nampak santai bahkan makan bersama semua orang di rumah ini.
 Wah, dia benar-benar kaya karena membawa makanan sebanyak itu. Bahagianya jadi orang kaya, bisa membuat orang di rumah ini bahagia.
Oh, oh... dia juga pandai memikat adik-adikku. Baru saja bertemu, Dinda dan Ilalang sudah balapan kuda di paha kiri dan paha kanannya.
Keluarga ini sedang berbahagia tapi kenapa perasaanku tak enak? Apa ini yang namanya cemburu? Andai aku setampan dan sekaya dia.
Tapi kenapa yang namanya Qonita itu tidak sekalian ikut?

****




BERSAMBUNG

Minggu, 10 Juli 2016

TELELOVE38

PANGERAN. 14
HANYA SEBUAH NAMA



Nama adalah doa dan harapan,
Bukan ironi
Apalagi kutukan


Kata Ibu Ratija, aku memerlukan sebuah nama. Dia dan 9 kurcaci di rumah ini akhirnya memanggilku dengan panggilan kakak  Yusuf.
            Namaku kini adalah  Yusuf.
            Andai dokter Rut tahu perasaanku! Rasaku membucah hingga aku mengelupas seketika dan membuat bingung ibu Ratija dan 9 kurcaci kurang gizi itu. Kubisikan pada mereka di sela sakitku:
            “Akuuu.. sangat gembiraaa...”
            “Tentu saja! nama itu adalah nama nabi orang soleh idola semua orang di rumah ini.”
***

Tapi kemudian  kegembiraan itu hanya berlangsung beberapa jam saja. Saat mereka tidur, diam diam aku telusur  di internet apa saja yang sekali. Aku begitu semangat hingga sampai di kisah nabi Yusuf.
            Kisah tentang seorang nabi yang tampan. TAMPAN.
            Akupun bercermin. Berminggu-minggu hidup bersama orang ‘yang sesungguhnya’ telah melatih dan mengasah indera perasaku sebagai mahluk sosial.
            Aku merasa ada hal yang menyakitkan tentang ketampanan nabi Yusuf itu. Aku merasa orang-orang di rumah ini sedang memperolokku, melalui namaku.
            Siapapun yang melihatku akan sependapat bahwa aku adalah monster bersisik. Mansis, si manusia cacat. Buruk rupa.
            Coba bandingkan dengan Rahman dan Rahim, si bayi kembar yang umurnya belum genap setahun itu. Rahman dan Rahim adalah sifat Allah yang utama. Karena istimewanya, ‘Rahman’ dan ‘Rahim’ bahkan dicantumkan Allah pada kata ‘Bismillahirahman nirahim’. Bayangkan! nama Rahman dan Rahim ada di setiap surat Al-Quran. Dan semua muslim, muslimah di dunia menyebutnya, minimal 17x sehari! Dan pasti lebih banyak lagi Rahman dan Rahim disebutkan. Di 24 jam bumi berputar! Ah irinya aku, mereka yang lahir belakangan, tapi memiliki nama yang istimewa.
            Tuhan, apa salahku, aku tidak pernah meminta wajah dan sisik seperti ini.
            Malam itu aku mengelupas kedua kalinya dengan alasan yang berbeda.
Aku begitu nelangsa.
***

“Aku tahu kau semalam mengelupas lagi.” Ibu Ratija menggeserku di depan cermin, mulutnya berbusa pasta gigi. Kami sering melakukan sikat gigi bersama di pagi dan malam hari.
            Aku diam.  “Aku tahu alasannya.” Katanya menghentikan gosokan giginya lagi.
            Aku diam saja. Aku mulai cemas, apakah namaku akan diganti dengan yang lebih sesuai? Dengan nama apa? Rahwana? Cakil? Siluman X?
            “Nama itu dipilih oleh anak-anak bukan karena kau tampan, tapi karena kisah hidup pilumu seperti nabi Yusuf.”
            Ah, mereka mengada-ngada. Bagian mana dari hidupku yang sama dengan nabi Yusuf? Sepotong saudara pun aku tak punya. Sedang nabi Yusuf itu adalah kakak bungsu dari sembilan saudara.
            “Karena dibalik sisikmu, kau telah membuat anak-anak terpesona. Kau cepat belajar, mudah menolong, dan pandai merespon kasih sayang ‘adik-adikmu’.”
            “Dalam hidupnya, Nabi Yusuf adalah pembelajar yang hebat, dari seorang budak menjadi seorang pemimpin intelek, bijak, cerdas dan dicintai rakyatnya.” Bu Ratija, menghentikan gerakan gosokan giginya, bicara dengan mulut yang penuh busa sambil menatapku dalam.
            Barulah aku melonjak. Rasa lega menggelora. Karena yang kurasakan itu semua benar. Dan ibu Ratija menyebut para kurcaci itu apa? Adik-adikKU!
            Dokter Rut, aku punya Saudara, sampai 9 adik, seperti nabi Yusuf, hanya bedanya nabi Yusuf itu memiliki 8 orang kakak.
            “Tenangkan dirimu, aku tak mau kau mengelupas lagi!”
            “Akuuu... gembiraaa...”
            “Sssssttt... tenanglah!  jangan mengelupas lagi!”
            Aku terkekeh-kekeh karena berhasil menggoda ibu Ratija.


****


BERSAMBUNG

Sabtu, 09 Juli 2016

TELELOVE 37


PUTRI. 13

SANG BINTANG JATUH







Haripun terus berlalu. Si Boy dengan setia mengawalku ke manapun aku pergi. Entah sudah berapa ratus kali kuucapkan terima kasihku pada pak Jan. Kukira bila setiap kali ucapan terima kasihku bisa dijadikan kupon air, maka –mungkin- beberapa bulan kami akan tenang akan pasokan air di rumah ibu Ratija.
Selain itu Pak Jan sangat membantu dalam berbagai hal. Klien kami  telah mengirimkankan androidnya ke rumah ibu Ratija, sebagai uji coba, pemanasan, atau apapun istilahnya.  Ini semua karena pak Jan turun tangan untuk mempercepat proses produksinya. Aku tahu, pak Jan bertujuan agar Android itu untuk menggantikan keberadaanku di rumah bu Ratija. Jadi, keadaan ibu Ratija tidak seberat biasanya, terutama dalam urusan mengurus bayi Rahman dan Rohim.
Untuk membayar semua  kebaikannya, aku berusaha    segala laporan kerjaku  tepat jadwal. Aku juga bekerja keras melakukan pekerjaan untuk mewujudkan impianku. Tepatnya iklan bernada ‘welas kasih’.
Karena merasa terlalu merepotkan,   suatu ketika aku memberanikan diri pergi sendiri, dan ternyata, kejadian serupa hampir saja terjadi.
Tepat saat di depan statsiun monorel, Seseorang menodongkan senjata ke belakang punggungku, menggiringku menjauhi statsiun. Dengan gugup, kunyalakan sistem petaku, mengirimkan lokasinya pada pak Jan. Aku cuma berharap  semoga dia mengerti dengan kiriman pesanku ini.
            Dengan mata tertutup aku di pindahkan mobil  beberapa kali. Sepanjang jalan, aku terus berdoa semoga mereka tidak memergoki pertanda lokasi yang aku nyalakan dari penyerentaku.
Tepat di depan gudang aku melihat Lamborghini pak Jan. Lalu si Boy turun dengan senjata di kanan kiri. Senjata muktahir, yang belum aku kenal. Dia hanya menembakan satu kali ke arah drum. Tepat sasaran, drum itu meledak. Sungguh peluru yang hebat!
            Itu adalah tembakan peringatan, untungnya para penculik itu mengerti. Mereka  melesat lari, tanpa membawaku. Syukurlah.
            Pak Jan memelukku tanpa sungkan. Rupanya dia benar-benar khawatir tentang keselamatanku.  Aku masih ingat bagaimana rasanya. Bukan! Bukan deg-degan yang ‘itu’. aku menangis, karena tiba-tiba saja pelukan itu seperti perpanjangan tangan ibu Ratija.
            Setelah peristiwa itu Pak Jan menjadi  lebih melindungiku. Bahkan dia nampak dilanda paranoid dibanding aku.  Sejak itu aku tak pernah dibiarkan lagi pulang pergi sendiri keluar apartemen.
            Tapi jangan kau kira ini membuat aku tersanjung. Aku cukup tahu diri. Apalagi  Maya pacarnya pak Jan semakin  sering mampir dan menginap di rumah tanpa mempedulikan keberadaanku. Maya juga tidak  mempedulikan apakah pak Jan mau menerimanya atau tidak.
 Kuterima saja bila dia menganggapku sebagai pembantu pak Jan. Karena aku sudah cukup lelah seharian  berdebat, dan menjaga diri di hadapan Kamila yang selalu menyulitkanku.
Jadi bila Maya menganggap aku pembantu, itu sama sekali bukan apa-apa. Dibanding dengan lidah tajam Kamila, dan kekacauan yang sengaja dibuat oleh Kamila.
Anehnya bila ada pak Jan diantara kami, Maya berlaku biasa saja. Haaa.. aku jadi ingat komentar Wanda tentang drama Asia atau Opera sabun atau telenovela latin. Seorang gadis miskin (tapi tidak jelek) dicemburui gadis berstatus sosial tinggi. Digilai atau dicintai para pangeran. Kukira itu cuma ada di TV.
Yah, memang beda bukan. Pak Jan dan aku itu menjalin hubungan ‘dekat’ tapi bukan hubungan kekasih. Juga karena  perasaan sukaku pada pak Jan sepertinya benar-benar menguap seiring dengan waktu, dan karena  seringnya Maya menindas diriku.
***


 Bersambung...

Jumat, 08 Juli 2016

TELELOVE 36

PUTRI. 13

SANG BINTANG JATUH






“Qon…? Qon…?”
            Samar-samar aku mendengar Anita memanggilku. Wewangian di udara membuatku mual. Aku juga merasakan tepukan halus di pipiku. Tapi kemudian tepukan itu berganti dengan tepukan keras. Nyaris seperti tamparan. Bahkan suara yang terdengar seperti suara kucing terinjak ekornya. “Qon! Qon!” panggilan yang sangat aku kenal. Berenergi, penuh tekanan, dominan, sedikit berkekuatan iblis. Suara Kamila.
            “Yayayaya… aku baik, aku baik-baik saja…”
            “Nah! Kan?” Kamila mengalihkan pandangan pada teman-teman yang mengerubungiku.
            Smartphoneku berbunyi deras. Semakin lama temponya semakin cepat. Itu adalah setelan bunyi khusus untuk orang-orang yang menurutku penting. Sepenting bu Ratija, dan  pak Jan.
            “Maaf… maaf…” aku segera berdiri, dan menghindari semuanya. Ya! Aku harus mengabarkan berita gembira ini pada bu Ratija. Tapi yang kudapati tanda SMS yang menyala di sana.
            Sms Pak Jan : Kamu tidak apa-apa?
Aku jawab: aku baik2 saja.
Dari sofaku, aku bisa melihat Pak Jan mengetikan SMS ini, dia  menarik nafas lega dan ‘mengerling’  serta tersenyum ke arahku. Sekalipun dia dikelilingi para tetua perusahaan ini aku tahu senyumnya untukku.
            Aku selalu berusaha untuk  kuat dengan godaan ini. Aku tak boleh mudah jatuh cinta lagi, terutama dengan pelaku zinah.
            Menurut teman-teman kantorku, ini adalah pesta sederhana. Biasanya untuk momen seperti ini mereka akan merayakannya di hotel berbintang, klub malam atau discotik. Cuma karena aku yang diberi penghargaan, adalah anak berjilbab, bukan tukang klubing, anak bawang pula, lebih baik mereka pesta disesuaikan dengan kepribadianku yang ‘hemat’ ini.
            “Hah... aku heran bagaimana mungkin orang sekecil kamu, kurus, kurang gizi, dan jelek bisa menghasilkan proposal gila sampai lima buah. Dan gol semua...”
            Terdengar  suara Kamila menggema di telingaku, mengganggu kestabilan pasir di otakku. Membuatku bingung, dia ini sedang memujiku atau menghinaku?  Hati-hati!
“Hidup Qonita si pesek.” Seseorang mulai mabuk dan mengacung gelas tingginya ke arahku.
            “Aku curiga, sebenarnya kau bisa menggolkan 5 proposal ini karena kedekatanmu dengan pak Jan.” Kamila mendesis tepat didepan wajahku. Mulutnya mulai menguar bau alkohol. Aku benar-benar ingin muntah.
            Oh, inilah yang aku takutkan. Aku juga curiga, jangan-jangan memang pak Jan yang melakukannya. Mana mungkin aku melakukannya. Karena yang namanya proposal ‘provokasi’ saja aku belum pernah berhasil membuatnya.
            Yah, bisa jadi benar pak Jan yang membuatnya. Bukankah kami sering mendiskusikan tentang mimpi-mimpi perubahan di dunia periklanan? Tapi bukan lima proyek impian ini.
            “Qonita...?”
            Aku cukup tersenyum saja . Perutku rasanya kembung.
            Para tetua keluar ruangan. Para senior bersorak. Aku baru tahu kenapa. Karena setelah para tetua itu keluar, musik hingar bingar memecah riuh rendah suara orang.
            “Qonita...?” Seseorang menawarkan roti gulung salmon saos nanas.
            “Terima kasih.” Tapi belum sampai roti itu di mulutku, aku sudah ingin muntah. Apa karena musiknya yang membuat pasir di otakku  bingung?
            Beberapa orang mulai menari mengikuti degup music dengan volume yang perlahan mengeras. Pak Jan dan para tetua nampak melangkah ke luar ruang, ini pasti kode bagi mereka, bahwa ruangan ini hanya untuk anak muda, Kelas kroco. Balon-balon sabun melayang keluar dari sebuah lubang yang tersembunyi dibalik balon warna warni. Sorak sorai membahana menyambut jatuhnya balon-balon sabun. Orang-orang meloncat-loncat menggapai balon. Mereka berebut memecah balon. Tus! Balon-balon pecah, bukan cuma pecah, balon-balon itu melepas asap warna-warni.
Harum aroma asing yang dibawa asap-asap itu merasuki jiwaku. Aku pening seketika. Sementara arena pesta semakin diliputi kabut warna warni dan balon. Tawa tanpa alasan bersahutan, beradu dengan irama music yang menghentak jiwa. Aroma asap warna-warni mulai mendominasi harum parfum orang-orang berkelas, bersaing dengan asap rokok. Kupejamkan mata. Tuhan aku pening! Aku mual! Wangi syurga pasti tak seperti ini!
            Penyerentaku berbunyi lagi.
Pak Jan: Pulang sekarang!
Syukurlah! Dia pasti tahu, pesta semacam ini bukan gayaku.
Aku : Baik Bos
Pak Jan. Pulanglah segera, aku masih ada acara lain. 15 langkah di jalan belakang kantor timur. Boy sudah menunggu di sana pakai Silica orange.
Ya, Pak Jan tentu masih dengan para tetua itu, membicarakan hal yang serius, mereka pasti sudah kenyang dengan pesta semacam ini. Mereka pasti diskusi hal penting lain, hal yang dapat membesarkan perusahaan ini. Atau rencana mengubah dunia.
Aku : trims pak...
Lama aku diam, sebenarnya ada berapakah mobil yang dimiliki pak Jan? Silica orange? Silica itu jenis sport atau semacam SUV mewah? Ah tapi ada keterangan ‘Orange’, jadi pasti aku tak kan salah.
Sebenarnya malas aku berjalan, menjauh sedikit dari kantor, bahkan tadi disepakati kami harus selalu berganti-ganti tempat untuk menaik-turunkan aku, ini semua demi keamanan.  Kemanan dari penculik dan kemanan dari gosip kantor.
            “Qonita slamat ya...” beberapa orang menghampiriku. Di tengah pusing, kupaksakan aku berdiri, untuk menghormati para seniorku yang mengucapkan selamat padaku. Aku terhuyung, dan muntah tepat di depan Kamila.
            “Yaik...”
            Tuhan, terima kasih kau beri aku mual, dan membuat muntah tepat di baju Kamila yang konon keluaran Prada. Prada Asli! Bukan palsu!

                                                                             ****





Bersambung


Translator: