Rabu, 31 Agustus 2016

TELELOVE 60

PANGERAN. 20

TAMU


Ibu Ratija terdengar jengkel, melihat tayangan penculikan yang jelas di kamera pengamat yang terpasang entah di mana.
            “Huh, itu karena kami bukan orang penting, bukan siapapun, bukan  orang kaya yang bisa menghancurkan indeks saham, atau seorang komandan di depan pasukan monitoring  hulu ledak, jika dia hilang, tak akan ada bedanya.
            “Kami cuma statistik.” Suara bu Ratija terdengar nelangsa.
            Aku terdiam, pilu. Sebulan tinggal di rumah ibu Ratija, dengan keluarga ini,  membuat kecerdasan dan kebingunganku melompat-lompat silih berganti. Aku tahu, apa yang dimaksudkan ibu Ratija. Tentang statistik kaum miskin, statistik  penculikan, statistik kriminal. Statistik itu cuma angka, selebihnya adalah cerita nyata tentang  pilu, perih, derita, sengsara rakyat negeri ini. Statistik itu cuma halusinasi angka.
            “Coba perbesar!” pinta bu Ratija tak sabar.
            Kuturuti keinginan ibu Ratija, tangan keriputnya menunjuk langsung ke monitor.
“Lihat tangannya!” bicaranya terburu dan gemetar, demi dilihatnya ikon angker yang menempel di tangan orang dalam rekaman itu. Tatto yang sama. Kupu-kupu emas.
            Kubanting tubuhku ke sandaran kursi. Kepalaku berkecamuk di kebuntuan. Kulirik ibu Ratija lebih tenang.
            “Ibu, ada tamu.” Terdengar suara  standard Yasmin si Android dari bawah loteng.
            Ku ganti gambar layar monitor dengan layanan sensor tamu, kamera yang dapat menangkap tamu atau siapapun yang ada di depan pintu. Kami bisa melihat jelas pak Jan datang dengan teman bisnisnya, dan seorang kameramen.
“Oh, si tampan itu. Kenapa datang berjamaah begini?” ibu Ratija menepuk pundakku.
“Hati hati, aku merasa ada yang salah dengan apartemen ini.” Aku memberi peringatan, tapi sepertinya hanya dianggap angin lalu, jelas saja, karena ibu Ratija lebih mengenal lingkungan ini dibanding aku.
            Ibu Ratija turun dengan hati-hati, sementara aku menutup pintu yang menyerupai atap dengan perlahan.
            “Hallo apa kabar? Semua terkendali bukan?” kudengar sapaan hangat pak Jan  dibawah sana.
            Aku mengendap ke luar membawa penyerentaku. Lalu aku, seperti biasa, melompat-merayap, hingga sampai di sisi gedung lain lalu duduk di balkon apartemen yang sedang kosong. Lalu  mengamati semua yang terjadi di ruang tamu apartemen kami melalui penyerentaku yang terhubung dengan CCTV yang aku pasang di sana beberapa hari lalu. Dokter Rut pasti kagum dengan hasil kerjaku ini.
            “Oke dok, kau bisa memulai mengevaluasi para bayi.” Seseorang, entah siapa,  memulai interuksinya. Entah dimana ibu Ratija dan pak Jan, mereka pasti ‘menghilang’ sementara pembuatan iklan Android  ASI Refill sedang berjalan. Langsung.
            “Kamera siap? Ya? Untuk androidnya?”
            “Ok, kamera terus jalan!”
            “Mana android itu?”
            “Oke dok, mulai!”
            “Bayinya...!”
            “Oh... lucu sekali...”
            Lewat penyerentaku, aku tak bisa melihatnya sebagai tayangan iklan yang rapih, kurasa mereka harus mengeditnya sebelum tayang. Tapi Qonita bilang, iklan ini bentuknya  semacam siaran langsung atau reality show yang spontan.
            Sang dokter nampak melakukan semua test dan  pengukuran, sambil bermain dengan Rahman dan Rahim.Mulutnya tak berhenti bicara, dengan membandingkan hasil pengukuran beberapa waktu yang lalu. Memang fantastik, kedua bayi itu mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang signifikan.
            Tapi ke mana ibu Ratija dan pak Jan, yah tentu saja mereka harus menyisih, karena mereka bukan bagian dari iklan ini. Dan tujuh kurcaci ‘adik-adikku’ itu menonton dan makan semua oleh-oleh yang kru bawa.
            Benar kata Qonita dan ibu Ratija, pak Jan adalah perpanjangan tangan Tuhan.
            Pak Jan telah menyelamatkan rumah tangga ibu Ratija dari kesengsaraan dan kerepotan dengan kemakmuran dan pembantu yang sangat efesien, Yasmin si Android.
            Kulirik jam di penyerentaku. Sudah sejam lewat. Dan mereka belum selesai juga?
            “Oke! Ibu Ratija! Ibu Ratija...! siapkan dialog penutup...!”
            Oh, akhirnya! Rasanya jika lebih lama lagi aku harus mendekam di balkon ini, aku tak kan kuat, karena bau polusi di sini begitu menyengat, dan memedihkan mata. Aku juga mulai merasakan akan ada badai.
            “Bos, bagaimana matanya?”
            Mata? Mata apa?
            “Oh ya ibu Ratija, maaf kami menayangkan beberapa kali iklan langsung dari sini. Saya kira ibu tak kan keberatan karena semua sudah kita setujui dalam surat kontraknya.”
            “Maksud bapak, apa?”
            “Tayangan iklan langsung bu! ASLI!”
            Seseorang mendekati si Yasmin, dan mengambil Rahman yang sedang menyusu nyaman di buah dadanya yang palsu itu.
            Sementara yang lain membawa kotak alat. ‘Mematikan’ si Yasmin android, dan mencongkel matanya.
            “Sayang beberapa hari lalu Dinda mengacaukannya, dia bermain-main dengan mata ini.” Si teknisi menunjukan bola mata Yasmin dalam gengamannya.
            Deg! Jantungku tiba-tiba berdenyut tak menentu. Aku tahu, ini karena keterkejutanku, pikiranku bergerak cepat.
            Jadi selama ini seantero dunia ini menyaksikan kehidupan kami lewat mata Yasmin si Android? Jadi semua orang ‘sudah’ tahu akan keberadaanku?
            Semua? Termasuk orang-orang dari hutan Buatan? Orang-orang bertatto kupu-kupu emas, JUGA!
            Tanpa dapat kuhindari tubuhku menggelinjang kejang. Aku akan mengelupas karena aku shock. Padahal selama di rumah ibu Ratija aku tidak pernah mengelupas.
            OH, jangan sekarang! Aku harus segera bergerak!
            Tentu saja aku tak mampu menahannya, karena takdir mengikatku dengan keperihan yang  luar biasa. Setelah sekian lama aku tak mengalaminya, kulitku meluruh.
***





BERSAMBUNG

Selasa, 30 Agustus 2016

TELELOVE 59

PANGERAN. 20
TAMU



Jika seorang penting mati, bisa menjadi sebuah  tragedi
Tapi Jika kami hilang atau mati, kami cuma akan menjadi angka dalam statistik.
 Ratija si ‘bukan siapapun’..


Ibu Ratija kedatangan tamu lagi! Bisa kupastikan mereka itu preman, walaupun penampilannya rapi, tetap saja kepremanan mereka dapat dikenali. Karena mereka memiliki penanda yang sama. Tatto di punggung tangan mereka. Sebagai ciri kelompok mafia tertentu.
            Biasanya mereka memberi tanda tatto, sebagai pengganti kartu anggota seumur hidup. Untuk mendapatkan tatto itu bukan cuma cukup kau mampu berbuat kriminal, membunuh berdarah dingin, cerdik, culas. Tapi juga kau juga harus mampu untuk setia.
Sekali saja orang  menghianati organisasi, itu artinya si  penghianat  dikeluarkan dengan paksa. Sebuah ritual gila akan mereka lakukan sebagai symbol ‘pencopotan’ keanggotaan. Si Penghianat harus mengalami  pemotongan  pergelangan tangan  mereka. Untuk menghilangkan simbol setia yang ada pada tatto itu.
            Itu adalah hukuman yang lebih sengsara, dibandingkan harakiri secara paksa dalam organisasi. Karena dengan lengan tanpa tangan seperti itu, sama saja kau membawa catatan masa lalu yang hitam pekat, kemana pun kau pergi.
            Tanpa lengan itu akan sama dengan memberi tahu polisi bahwa ada penjahat yang ‘mudah ditangkap’ untuk menanggung semua kejahatan gilanya di masa lalu. Dan untuk menjaga keamanan organiasasi, si Penghianat akan dipotong lidahnya, hingga dia tak dapat bicara. Karena bila dia tertangkap, dia dijamin tak akan mampu bicara membocorkan rahasia organisasi pada polisi.
            Tanpa lengan, tak bisa bicara, maka tidak ada orang yang berani menanggung resiko dengan menerimanya bekerja.
            Ekonominya terancam, rumah tangganya hancur, anak-anaknya menderita secara mental lebih berat, lebih dari saat mereka tahu ayahnya anggota mafia.
            Tanpa lengan  adalah bencana dengan efek domino. Maka memilih mati bunuh diri setelah ‘pencopotan’ tatto secara tidak terhormat, nampak menjadi masuk akal.
           
Kekagumanku pada ibu Ratija semakin menggunung. Wanita rapuh itu bisa duduk tenang sambil menggendong Rahman, menghadapi lima orang preman yang mengaduk-ngaduk rumahnya. Sementara  Yasmin si Android –dengan wajah datarnya- menyusui  Rohim.
            Dinda, Mufti, Ilalang ikut  duduk mengelilingi ibu Ratija. Mereka nampak tegang. Sedangkan Karin, Nisa, Ica, Muti berdesak-desakan bersamaku mengintip mereka.
            Seorang preman nampak duduk diam, angkuh, dia pasti kepala regunya. Sementara yang lain bergerak bingung, si kepala regu hanya  berpangku kaki, dan tangannya diatas paha. Hingga aku dapat melihat tattonya.
            Mataku tak salah melihat tattonya. Tatto kupu-kupu. Gambarnya terasa akrab di ingatanku. Oh! Mereka orang-orang yang berhubungan dengan Hutan Buatan!
            Aku ingat beberapa waktu lalu, di hutan buatan,  saat aku diperkenalkan dengan seseorang. Aku menarik tangannya saat bersalaman, karena buatku, tattonya sangat menarik. Seperti kupu-kupu. Deg!
            Tapi di sini mereka mencari Wanda, bukan aku. Yah, mungkin saja, banyak pekerjaan yang harus dilakukan mereka dalam suatu oraganisasi semacam ini. Pekerjaan semacam pesanan rahasia, untuk pekerjaan rahasia, dengan objek rahasia, untuk tujuan rahasia. Semua serba rahasia.
            “Menurut tetangga, kaulah yang paling mungkin menyembunyikannya.”  Terdengar si pemimpin duduk angkuh. Dia bicara tegas, dan tak sopan, karena menyebut bu Ratija dengan panggilan ‘kau’.
            “Jika tuan-tuan tidak percaya, silahkan tuan cari sendiri.” Bu Ratija berdiri membuka pintu kamar yang lain.
            Nisa cepat membuka jendela dan menarik tanganku, memberi kode agar aku segera ke luar. Tanpa kata, aku ikuti saja perintahnya. Ke luar melalui jendela di lantai 8 gedung ini. Merayapi jendela demi jendela. Merayapi balkon demi balkon, menyeberangi atap gedung ke atap gedung yang lain. Hingga berbelok ke sisi gedung  yang lain.
            Lalu diam mematung di sisi balkon sebuah rumah kosong. Nafasku perlahan teratur. Almatsurat terlantun rendah membisiki jiwa.
            Terima kasih Tuhan, telah kau pertemukan aku dengan ibu Ratija, dan menjadikan dia ‘jibril’ bagiku, mewahyukan  almatsurat ini.
            Karenanya, aku bisa menenangkan jiwa, dan aku tidak lagi mengelupas sembarangan! Rupanya di dunia ini ada juga yang  hebat selain dokter Rut.
            Lama aku menunggu, hingga Nisa mengirimkan pesan pada penyerentaku:
Aman. Kembalilah!

***


BERSAMBUNG

Sabtu, 27 Agustus 2016

TELELOVE 58

PUTRI. 19


WANDA




Karena Tuhan selalu bersama prasangkamu

Seperti biasa, aku keluar kantor, berjalan ke arah yang ditunjukan Boy si android. Lalu aku akan melihat mobil penjemputku, sekaligus Boy di dalamnya. Benar-benar kejutan, pak Jan ada di dalam mobil, ‘menungguku’? Oh... oh... 
            Tapi melihat wajah dinginnya, dan senyum gamangnya, aku mengerti, dia sedang banyak pikiran. Seperti biasa, aku duduk di depan bersama si Boy, maksudku, tentu saja menjaga jarak dengan pak Jan,dan  agar kejadian tertidur di pundaknya tidak terulang lagi.
            Sepulang kantor, dengan kejutan seperti ini, kukira kami akan terlibat dalam pembicaraan hangat. Apalagi kami sudah tiga hari tak bertemu. Tapi melihat situasi dinginnya aku menahan kata-kataku. Berulang kali aku curi pandang lewat spion wajahnya. Dia sedang menatapku. Tanpa senyum.
            Oh... apa ada yang salah?
            Kejutan kedua adalah kami makan malam di sebuah resto. Jadi bisa kau bayangkan keadaanku ini. Kaget. Tapi juga cemas. Pak Jan  cuma bilang, ingin makan di sini. Titik.
            Aku pun menurut saja, sekalipun perutku tak berselera menyantap makanan itu. Tentu saja seleraku terganggu karena aku sedang  hamil, trismester pertama. Fase muntah, kentut, sendawa, diare datang tak menentu. Galau secara jiwa. Kacau secara biologis. Astagfirulloh... bukan maksudku ‘mengkritik’ desainNya...  itu karena aku seorang gadis, yang sulit menerima perubahan hormon di tubuhku, walau DIA sudah menciptakan segalanya sedetil-detilnya.
            Sepanjang acara makanpun pak Jan hanya diam. Makan, menatapku. Makan, menatapku, hingga aku benar-benar salah tingkah, lalu mati gaya.
 Kukira, dia akan melanjutkan ‘lamaran’nya itu. Mungkin Tuhan mendengar doaku, hingga topik yang belum aku siapkan ini terhindar.
            Sepanjang perjalanan pulangpun begitu.
            Lalu saat aku menemukan Wanda di kamarku, aku baru tahu jawabannya.
***
           
Muka Wanda penuh lebam, bahkan ada bekas jahitan darurat di pelipisnya.  Wanda meringis sakit, hingga aku bisa melihat, gigi palsunya bergoyang. Dia pasti baru bertarung habis-habisan. Kuhampiri dia dengan tergopoh, sementara pak Jan memilih untuk berdiri di ambang pintu kamar. Dia bersidekap santai, seolah ini bukan kejadian luar biasa.
            “Oh... apakah... apakah mereka menemukanmu... para mafia itu?” pasir di otakku memutar , berdesir gelisah. Para mafia baru saja berhasil masuk ke dalam apartemen bersistem keaman canggih?
            Dia menggeleng. “Kenapa kau tak cerita...”
            “Apa?” tanyaku cepat.
            “Maya. Bahwa dia pacarnya pak Jan bosmu itu.” Jawab Wanda di sela sesegukannya.
            “Haaaaaaa... sekarang senegeri ini semua  sudah tahu bahwa mereka sudah putus.” Glek! Kenapa ini menyangkut  topik infotainment?
            “Oh, dia tadi datang.”
            “Hah?maksudmu kak Maya?”
            “Kukira dia maling, aku memukulnya langsung, tapi malah dia meneriakku maling. Dia mengoyak baju yang kupakai sambil teriak histeris.”
            “Baju?” aku baru menyadari kalau Wanda mengenakan baju Maya yang disimpan di apartemen ini. Walau kini penampakannya seperti gaun compang camping karena sobek.
            “Aku... aku menemukan baju-baju indah. Aku ingin memakainya untuk menemui bosmu. Aku ingin memberi kesan....” Wanda melirik pak Jan.
            “Menemukannya?” jelas sekali aku tak percaya, aku hapal dengan tabiatnya. Karena beberapa kali aku menitipkan cucian ke loundry, dia bilang bajuku hilang di loundry, nyatanya beberapa kali aku pergoki dia memakai  baju-bajuku yang hilang!
            Jadi benar kekhawatiranku terjadi. Dasar maling.
            “Tentu saja dia kaget waktu aku pukul. Dan aku lebih kaget lagi karena ternyata yang kupukul seorang pesohor. Lalu dia mengeluarkan semua kata-kata yang tak kumengerti. Katanya ternyata dia salah menuduhmu, ternyata akulah selingkuhan bosmu.” Wanda melirik pak Jan lagi. Wajah lebamnya nyaris  menyamarkan kecantikannya.
            Yah! Pasti lebih pantas begitu, Wanda pasti tadi dalam riasan lengkap, riasan yang menyembunyikan fisik penanda ‘kere’nya. Aku masih bisa melihat sisa-sisa riasannya.
            Aku bisa membayangkan cantiknya Wanda,  dan bagaimana Maya terbakar api cemburu. Yup, Wanda lebih ‘masuk akal’ sebagai selingkuhan pak Jan dibanding aku.
            Astaga. Apa yang aku pikirkan?
            “Lalu, setelah aku mengerti, aku pasrah saja menjadi sasaran amarahnya. Saat itulah Boy datang dan mengamankanku. Boy memberi keterangan yang aku tak mengerti.”
            “Apa maksudmu?”
            “Lalu Maya mengambil semua baju-baju mahal itu. Dia  pergi dengan marah. Dia bilang akan menghancurkan hidup kami.”
            “Dia mengancam?”
            “Mungkinkah sehabis ini, akan ada tuntutan darinya? Apa aku akan tersangkut masalah hukum? Aku hanya memukulnya sekali, sedang dia membuat dahiku sobek, dan gigi palsuku hancur.”
            “Oh?” aku sama sekali tak memikirkannya ke arah sana.
            “Kalau aku sampai muncul di media gara-gara ini, itu artinya Ayah, dan preman-preman dari klinik itu akan  tahu tempatku...”
            Wanda tertunduk. Darah disudut bibirnya yang belum mengering menetes.
            Oh, Wanda yang malang! Aku tak tahan untuk tak memeluknya.  Dari pantulan cermin di kamar aku melihat pak Jan berdiri di pintu bersidekap menghela nafas. Pak Jan berbalik meninggalkan kami.
            “Bosmu orang yang baik. Apa benar dugaanku, bahwa kau dan dia memiliki hubungan istimewa? Seperti yang dituduhkan Maya?” bisik Wanda.
            “Oh? Bagaimana mungkin?” glek! Tuhan ini bukan teka-teki yang harus aku tanyakan pada si Boy bukan?
            “Yah, tentu saja tidak mungkin.”
            Aku menyesali jawabanku. Karena sensor dikepalaku terlambat memberi tanda bahaya: Awas Bahaya Wanda!
            “BAGUS! Kalau begitu, aku akan berusaha mendekati bosmu.”
            Ah! Wandaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...!

***


bersambung

TELELOVE 57








PUTRI. 19

WANDA







 Dengan terburu aku buka  komputerku. Benar, kutemui pesan segar disana.
Pak Jan: Bisakah tak kau pedulikan berita tentang Maya, tadi?
Aku :  tentu saja  TIDAK
Pak Jan: Kalau begitu bisakah kita menikah?
Oh, Tuhan  apa pertumbuhan janin ini menciutkan kemampuan otakku? Aku sungguh tak mengerti jalan pikiran Pak Jan.
Pak Jan hanya mengirim pesan via internet, dia pasti tahu, aku keberatan menerima telephonenya di tengah jam kerja seperti ini, apalagi mejaku dikelilingi oleh meja-meja para seniorku. Sekalipun kami dipisahkan oleh papan partisi  setinggi dada.
            Pak Jan: Hallo...
            Aku : maaf...? bagaimana tentang Wanda?
            Pak Jan: Oh, ya Boy sudah menceritakan semuanya.
            Aku : Boy?
            Pak Jan : Dia tidak bisa tinggal dengan kita.
            Aku membaca  kata *KITA* dengan istimewa. Pasir diotakku menyuarakannya dengan intonasi tekanan bertenaga.
            Aku : Aku ingin segera bertemu, pak.
 aku harus bicara langsung padanya mencari cara melindungi Wanda, sekalipun, mungkin lewat wawancara singkatnya, atau pembisiknya si Boy itu, pak Jan menyimpulkan bahwa Wanda tidak patut ditolong.
            Pak Jan : oh ya! Tentu saja aku juga rindu kamu.
            Aku tertegun membacanya. O-ooo, dia salah paham!
            “kakak Qonita ada kiriman bingkisan!” seorang office boy mengacungkan bingkisan berpita merah.
            “Wah, dari penggemar nih?” tanya sebelah kiri.
            Sekotak coklat aneka rasa. Kubaca pesan dari pengirimnya:
           
Aku membayangkanmu makan bersamaku, tapi kita berjauhan bukan?
                                                                                                           *_*

Waktu aku lirik lagi, Pak Jan telah menghilang dari sana (monitor komputerku).
            Kuketikan pesan terakhirku: ‘Baik, aku akan simpan coklatnya. nanti kita makan coklat ini sama-sama.’
            Pasir di otakku  berdesir  riuh kalang kabut.
 Si Boy android itu telah melakukan wawancara pada Wanda untuk  pak Jan? Kapan? Seingatku si Boy selalu ada dalam keadaan diam, tanpa kata.  Yah, kecuali bila aku memerlukan jawaban cepat semacam:
‘Boy berapakah akar seratus tiga belas kali tigapuluhlima lalu dibagi tujuh puluh?’
‘Apa nama ibu kota pecahan negara X yang telah berpindah tempat itu?’
‘Jika menstruasi terakhirku tanggal 5 bulan februari, lalu aku hamil, kapan kira-kira/tepatnya aku akan melahirkan?’
Nyaris semua jawabannya memuaskanku. Kecuali bila aku tanya.
‘Boy, siapa Tuhanmu?’ dia akan mendadak bodoh.
Tapi bila kau tanya ini. ‘Boy, siapa yang tercantik di rumah ini?’
Dia selalu memberi tambahan kata ‘sial’: ‘SIAL! Nona Qonitalah  yang tercantik!’ satu-satunya jawaban yang paling manusiawi menurutku.
Aku tahu pertanyaannya bodoh, tentu saja aku yang tercantik, karena di apartemen hanya akulah yang wanita, awalnya.
Kamu juga tahu jawabannya di apartemen kami, pak Janlah yang paling tampan, tak diragukan lagi. Tapi coba tanyakan ini pada Boy:
‘Boy, kau ini lelaki atau perempuan?’
‘Saya android.’ Yah, susah memang memaksakan status gender padanya.
Jadi bagaimana bisa Boy bertanya pada Wanda? Dia itu diprogram untuk menjawab dan menuruti perintah, melindungi, bukan semacam android investigator.
Lalu bagaimana informasi itu sampai pada pak Jan? apa si Boy juga main internet sepertiku? mungkin saja, walaupun aku belum pernah melihatnya.
Lalu seperti apakah hasil wawancara atau investigasi si Boy dengan Wanda? Lalu disampaikan kepada pak Jan

‘Dari penampilannya, dia itu –jelas- lebih cantik dari pada Qonita. Bila ukurannya ketinggian hidung dan jidat. Kulit yang putih, mata yang indah, bentuk bibi, leher yang jenjang.’
‘Tapi kesehatannya:...Hati-hati pak, dia ada panunya. Jamurnya bisa saja mengkotaminasi alat-alat di rumah kita’ (ini terlalu berlebihan)
‘Melihat dari rambutnya yang dicat biru, tapi aslinya merah dan pecah-pecah,  bibir pucat pecah-pecah, tumit pecah-pecah, kulit kering pecah-pecah, Gigi palsu murahan,  wajah pucat, berat tubuh yang kurang, bisa dipastikan dia penderita gizi buruk .’
            ‘Dia seorang piatu sejak umur tiga tahun, ibunya meninggal karena AIDS’, ayahnya seorang penjudi. Kehidupannya sengsara. Secara teknis, Wandalah yang jadi tulang punggung keluarga’
            ‘Dalam suatu program pencatatan sipil, saat dilakukan test DNA, DNA Wanda berbeda dengan DNA kedua orang tuanya. Banyak yang tak percaya dia bukan anak haram. Gara-gara *program sialan* itu  Hidupnya benar-benar sengsara. Dia tak memiliki  hak waris, atau kebingungan saat pendaftaran sekolah, pengisian formulir jaminan sosial.
“Ayahnya begitu frustasi, dan mulai menyalahkan almarhum istrinya. Kasihan sekali Wanda. Padahal kasus seperti ini, bisa diselidiki lebih jauh lagi, bila ayahnya berniat. Membuktikan bahwa –MUNGKIN SAJA Wanda seorang Chimera.[1]
“Hm, tapi kita tahu bukan, jenis ayah yang bodoh, kurang wawasan, egois, tidak memikirkan masa depan anak, dan miskin, tentu tak pernah berniat melakukannya.’
‘Sungguh malang memang nasib Wanda.’
‘Karena ketakjelasan statusnya ini, dunianya seperti gelap. Sebagai ‘tulang punggun’ keluarga, dia mengusahakan apapun demi kupon air, listrik.
‘Kenapa dia tidak bergabung di rumah ibu Ratija?’
‘Karena jika dia bergabung di rumah ibu Ratija, maka ayahnya akan ‘makan’ apa?’
            ‘....kisah terakhirnya...’
            ‘....Pendidikannya sebagaimana Qonita, dia melalui tahap pembelajaran di rumah. Tapi dia tak memiliki sertifikat apapun...’
            ‘...Tingkat kepandaian, karena hidup susahnya memaksa dia memutar kepala setiap harinya,  dia menjadi nampak lebih cerdas dari Qonita...’
            ‘...kesehatan jiwa? Yah tentu saja dia nampak lebih normal dari Qonita, sekali lagi karena hidupnya ditempa di dunia ‘nyata. Sedang Qonita? Sekalipun terlilit kesusahan, kurang gizi juga, tapi dia diselimuti rasa aman dan kasih sayang di rumah ibu Ratija.’
           
“Trims ya, Nong!” terlonjak aku dari kursiku. Ternyata aku-melamun- lagi. Lagi-lagi aku melamun. Melamunkan wawancara si Boy.
Kulihat Kaleng coklat kosong terpampang di depanku. Hah? Memangnya aku baru bagi-bagi coklat ini?
Oh Tuhan! Aku nggak relaaaaaaaaaaaaa...!
***



BERSAMBUNG



[1] Satu organisme yang memiliki  dua set profil genetik yang berbeda., misalnya profil DNA mulut berbeda dengan profil DNA rambut dan darah.

Dalam jurnal kerdokteran, sepanjang sejarah, hanya ditemukan 30 kasus manusia Chimera. Kebanyakan mati saat lahir, atau mati usia muda.

Selasa, 23 Agustus 2016

TELELOVE 56

PUTRI. 19

WANDA




Kehadiran Wanda di apartemen pak Jan benar-benar menghilangkan konsentrasiku di kantor. Aku tidak tenang meninggalkan dia seorang diri di sana, sekalipun ada si Boy. Apalagi si Boy itu mobilitasnya tinggi. Sebentar mengantarku, lalu dia belanja, pulang, lalu mungkin melakukan hal-hal yang diperintahkan pak Jan, lalu, menjemputku. Lalu mengantarku ke tempat syuting atau ke mana saja.
Nah, banyak sekali waktu di mana Wanda berada sendiri di apartemen.  Aku takut jika Wanda  ‘menggeledah’ apartemen pak Jan seperti yang sering dilakukkannya setiap kali menemukan kesempatan.
            Seharusnya dia –kali ini- dapat menahan otak kriminalnya. Semoga dia sadar bahwa apartemen pak Jan adalah persembunyian yang tepat. Karena itu Wanda harus bisa beradaptasi. Setidaknya berpura-puralah menjadi gadis yang santun.
“Qonita! Iklannya dah mulai tayang!” 
Aku benar-benar loncat mendengar teriakan dari meja sebelah kanan.
            “Selamat ya!’ tepukan dari sebelah kiri yang kerasnya seperti dia sedang menggebug tikus.
            “Apa benar serentak di jam yang sama di 10 saluran TV?”
            “Yoi!”
            Lalu berita gembira mendadak berubah menjadi petir dalam botol. Membuat pecah berkeping. Mengagetkan semua orang.
            Maya tampil di sana dalam salah satu monitor yang terpampang diantara 50 monitor TV. Dalam seluah acara infotainment. dengan sebuah informasi yang mengejutkan . Mulanya hanya beberapa orang yang memperhatikan, lalu semua yang ada diruang monitor itu memperhatikan.
Lalu pasir diotakku mulai berhitung: tentunya 1/50 kali jumlah penduduk indonesia yang saat ini sedang menonton TV. Mendengarkan apa yang diberitakan di Infotainment, program kacangan, tak berguna, penuh fitnah, hasut, membuat cacat sikap berpikir positif. Tapi ajaibnya, program ini tetep abadi dan mendapat banyak iklan, karena mempertahankan ratingnya.
            Monitor bergambar Maya itu dilengkapi dengan kata kunci dalam  dialog Hostnya:
“... wah ini kejutan! ternyata Jan Rabiko, pengusaha sukses, pemilik perusahaan jasa Citra Indah, sebagai kekasih gelap Maya selama ini.
            “wah, terlambat ya beritanya? tahu-tahu Maya sudah putus, akibat Jan Rabiko,  kekasihnya itu menghamili selingkuhannya...”
            “Alamak... apa skandal ini mempengaruhi indeks di bursa saham?”
            “Doooooooo... jangan dramatis begitu, Jan Rabiko dan usahanya tak kan mudah terguncang dengan isu kacangan seperti ini.”
            “Sebagaimana isu sultan negeri tetangga memilki banyak perusahaan multinasional juga memiliki banyak selingkuhan?”
            “Bandingan yang tepat! hehehe, Apa Maya hanya akan  gigit jari saja ?”
            “Karena tiada harta gono gini?”
            “Sepertinya begitu. Tiada guna informasi ini diteruskan kepada pemirsa.”
            “Berguna pastinya, ini sebagai pengumuman, kepada para pengantri di depan pintu hati Maya... kamu dapat nomor berapa?”
            “Aku baru mau daftar.”
            “Ngomong-ngomong ada calo nggak?”
            “Hallah... ini ngantri cinta apa ngantri kupon air ya?”
            “oke kita lihat yang ngantri di acara kita dulu...”
            Lalu iklan yang dibuat oleh  perusahaan kami.

            “Qon, apa kita tak salah dengar?” tanya Kamila. Sepertinya informasi itu dia serap dengan hati-hati.
            Aku hanya mengangkat alis. Tuhan bagaimana jika Maya, dan 1/5 x jumlah penonton Indonesia tahu bahwa wanita hamil  yang dimaksudnya adalah aku. Tapi aku hamil bukan karena pak Jan! Tapi dari mana TV ini  tahu aku hamil? Apa TV ini mengarang? Dan kebetulan karangannya itu persis dengan keadaanku?
            “Yah, Kamila, info seperti itu aja dibahas.”
            “Tapi ini kan bapak pimpinan kita. Setidaknya dia itu punya beban moral, sebagai ikon atau citra perusahaan.” Kamila bersidekap. Mulutnya kerucut.
            “Oh, Iklannya lebih semenit!” untungnya Anita lewat sambil menepuk punggungku dan punggung Kamila, berlalu dengan cepat,  memotong info kaget ini dengan pas.
            “Wah, mereka tak memotongnya!” kata Anita tepat di depan kumpulan monitor TV.
            “Horeee!” Sorak sorai seisi ruangan tayang. Kurasakan sekejab kegembiraan meluap.
            “Alhamdulillah.” Kuraba perutku. Tapi  berita iklanku tak mengurangi kecemasanku.

***


BERSAMBUNG

Minggu, 21 Agustus 2016

TELELOVE 55

PUTRI. 19


WANDA




Wanda nampak terkejut karena aku begitu ‘berani’ dengan si Boy.
            “Ah, kau bisa ‘bebas’ seperti itu dengan dia?”
            “Hahaha... ini kan ‘cuma’ android, Wanda... ya kan Boy?”
            “Betul, nona.” Suara datar, wajah lurus.
            “Ya ampun... kamu tahu tidak ada  android ilegal yang dirancang sebagai ‘pasangan’?”
            “Tentu saja aku tahu!”
            “Maka aturlah kelakuanmu, agar orang tak menyangka si Boy ini ‘pasangan android’mu.”
            “Hah...?”
            “Karena kau ‘susah laku’ secara normal, maka makin wajar bukan kalau kau bekerja keras, menabung gajihmu, untuk membeli seorang android agar jadi pasanganmu...”
            “Saya tidak keberatan.” Tiba-tiba si boy nyeletuk, dengan wajah leumpeung, dan  suara standardnya.
            “Hahahahaha...dengar dia bisa merespon dengan baik!” Wanda tertawa hingga dia tersedak dan terbatuk. Itu pasti karena Tuhan pasti tidak rela aku dihina gadis malang ini.
            Aku mendengus sebal. Tapi aku lalu tersenyum, syukurlah badai kepanikan semalam telah reda pagi ini. Wanda sudah mampu bercanda lagi, walau candanya itu membuat aku sebal.
            “Jadi bagaimana dengan bosmu? Apa dia mengijinkan aku bersembunyi di sini?”
            “Dia akan memutuskan setelah bertemu denganmu.”
            “Kau tidak bisa membantu membujuknya?”
            “Oh Wanda, kamu lupa statusku saja sebagai pelarian. Hingga dia mau menyediakan si Boy sebagai penjagaku!”
            Ups! Apa aku berlebihan? Kulihat  mata Wanda membulat.
            “Bagus, jadi sekarang dia bisa berlaku lebih ekonomis, dan efesien, seorang boy menjaga dua gadis pelarian. Bagaimana Boy?”
            “Terserah tuan Jan saja.” Si Boy, wajah leumpeung, suara standard, jawaban standard.
            Tiba-tiba aku jadi berharap agar pak Jan segera pulang dari acara Kamar Dagang  Internationalnya di Berlin. Yah, dia baru berangkat dua hari yang lalu. Tapi aku sudah merasa rumah ini sepi tanpa kehadirannya.
            “Ngomong-ngomong, aku punya pertanyaan besar. Kenapa Tuhan sepertinya selalu menolong untuk keluarga ibu Ratija yang asal usulnya tidak jelas, dan melakukan hal ilegal karena menampung seorang mansis buron. Sedang keluargaku yang jelas-jelas susah, dan hidup di dunia hitam Tuhan tidak mau menolong?” tanya Wanda tiba-tiba mengehentikan canda urakannya.
            “Karena kau tidak pernah berdoa.” Kataku meniru gaya bu Ratija.
            “Aku sudah sering berdoa. Tapi hidupku tetap susah. Karena itu aku hentikan segala doa omong kosong itu.”
            “PertolonganNya yang akan turun, mungkin berhenti, begitu kau menghentikan keyakiananmu.” Kataku masih dengan gaya bu Ratija.
            “Hahahaha.... kenapa kecepatan pertolongannya tidak ‘tepat waktu’?” Tanya Wanda melecehkan.
            “Kata siapa Tuhan tidak tepat waktu? Tuhan selalu tepat waktu, tapi kau tidak di sana. Kalaupun kau ada di sana, kau tidak pernah menyadari kehadiranNya.”
            “Haaa.. kau pandai sekali bicara! Aku lupa, kau anak sekolahan, dan aku anak jalanan.” Wanda mengacungkan garpunya ke arahku.
            “Dan Wanda, jika semua doamu dikabulkan olehnya, apakah kau akan siap menerima segala konsekuensinya?” aku tak mengacuhkan komentarnya tentang pendidikanku yang sekedarnya. Seebenarnya kami sama-sama tak pernah mengenal sekolah. Pendidikanku aku capai dari rumah saja. Dengan sebongkah computer, internet, dan seseorang yang kaya akan pengalaman hidup, ibu Ratija. Tapi seorang Wanda tak pernah melalui pendidikan apapun. Pendidikannya ada di jalan, di mana dia keluyuran cari sesuap nasi.
            Agak lama Wanda terdiam. “Fiuh.... tak kusangka kau seperti seorang filsuf!”
            “Aku bukan filsuf, aku cuma gadis yang selalu berdoa...” kataku ajeg.
            “Cuih!”
            Wanda meludah. Aku tersentak. Hah, dia ‘berani’ meludah di tempat yang sebersih dan semewah ini? Apa dia tak bisa melihat perbedaan jalan  dan rumah? Benar-benar tak sopan. Kutarik nafasku untuk menahan marah. Kucoba resep ibu Ratija menahan amarah dan kekurangmaklumanku...
            ‘Aku adalah kamu’,  aku ingat nasihat ibu Ratija, agar kita selalu peka dengan orang ain. kucoba aku selami Wanda.
            “Kau yang malang, yang gelisah, seolah dunia ini air comberan. Kau yang tenggelam menggapai tanggan mencari pertolongan. Berdoalah bahwa tangan yang menolongmu dapat mengangkatmu, bukan tertarik olehmu, oleh air comberan yang busuk dan hitam pekat...” bisikku. Pasir di otakku riuh.
            “Qon...?” Tring! Wanda menjatuhkan sendoknya. Aku tak peduli dia bengong dan bingung.
            “Tolong bersihkan, Boy!”
            “Oke, nona.” Wajah Boy yang datar dan beku lebih menenangkanku dibanding wajah Wanda yang kusut.
            “Kau sudah mandi?” tanyaku, kulirik jam dinding. Jangan sampai penampilan Wanda yang kumuh memberi kesan buruk pada pak Jan.
            “Sebentar lagi bosku datang, berilah kesan bahwa kau gadis yang baik!” pintaku.
            “Apa aku harus berjilbab?” tanyanya selalu dengan nada melecehkan.
            “Jilbab itu bukan cuma untuk menutupi rambut tak terawatmu.” Kataku mulai jengkel.
            “Yah, aku mengerti. Bisakah kau pinjami aku baju yang sedikit seksi?” Tanya Wanda. Ya ampun, dia ini memang ndablek. Dia itu benar-benar sebongkah batu yang diberi nafas!
            “Hah?” gemas sekali aku melihat ketakpeduliannya.
            “Oh ya, tentu saja kau tak punya.” Katanya menyimpulkan sendiri.
            Tuhan, berapa kali lagi aku harus menarik nafas panjangku?  Ibu Ratija, seputih apakah hatimu, hingga kau mau menolong ‘sebongkah batu berwujud cecunguk malang’ ini dengan mengganggu hidupku?
“Aku akan ke kantor, kau akan di sini sendiri, jadikanlah  dirimu berguna.”
“Lho kan ada si Boy?” dia piker Boy itu semacam pembantu untuk di rumah saja?
“Dia ‘bekerja’ bersamaku.” Jawabku dengan nada sombong.
“Hah?”
“Dan ingat ini: rumah ini memiliki sistem keamanan yang hebat. Kau akan aman. Tapi juga kau tidak bisa melakukan kejahatan apapun.”
Mata Wanda membulat, tanda takjub.
“Ayo boy!” aku segera bangun dan bergegas pergi.
“Yes bos.” Jawaban datar si boy, kupastikan membuat mata Wanda semakin melotot takjub. Bu Ratija, bolehkan aku merasa senang bergaya keren di depan Wanda?

***


BERSAMBUNG

Translator: