Aku masih mengingatnya, sangat, tentang doktrin ibuku:
‘tugasmu-Cuma-belajar!’ maka sebagai anak yang berbakti, setidaknya aku ingin
–nampak- berbakti, kuturutilah perkataannya. Walau pada kenyataannya, tentu
saja sebagai anak yang ‘manis’ aktivitasku bukan Cuma belajar.
Entah
bagaimana mulanya, aku merasa bertetangga dengan tetangga yang berhalaman luas,
memiliki aneka pohon buah menjadi sebuah anugrah. Di saat jambu, belimbing, ceremai, berbuah, tanpa sunkan
(tak tahu malu) aku yang saat itu kelas 2-5 SD itu memintanya. Lalu dengan
gairah dan kegembiraan kanak-kanak, kupanjati poho,-pohonya. Kupetiki
buah-buahnya yang matang. Keesokan harinya, aku bawa ‘panen kecilku ini’ ke SD,
dan menjualnya di kelas. Tanpa malu.
Bukan
Cuma itu, saat lebaran usai, aku menjual kue sagon, kakaren ibuku kepada
teman-teman
(sekali lagi) SDku. Kukatakan pada ibuku setiap kali
mengambil kue dalam jumlah banyak: Teman-temanku suka bu! Redaksi ‘aku akan menjualnya’ hanya aku batin saja. Karena aku tahu, ibu
tidak akan senang dengan semua kegiatan –menjual- ini.
Aku punya anggapan, dia akan malu kalau tahu anaknya jualan, apalagi
pake cara ‘minta buah tetangga’.
Aku
sudah menyiapkan dalil kesetaraan gender, kenapa masku boleh jual Koran bekas
ke pasar, sedang aku tidak. Syukurlah, semua itu tak terjadi, dia bahkan
tertawa-tawa saat mengetahuinya.
Bak
Mangga jatuh tak jauh dari pohonnya, setidaknya
begitulah yang aku inginkan pada anak-anakku. Aku mencoba mengenalkan
jiwa wirausaha sedini mungkin, apalagi
aku, si wanita ‘mudah terpengaruh’ ini sangat setuju saat Rhenal Kasali,
menghembus-hembuskan pendidikan wira usaha di usia muda. Acara Young On The Top, Kick Andi pun seolah
mengesahkan anggapan itu semua.
Saat
gaira pendidikan wirausaha dihembuskan, anakku sudah menjalaninya beberapa
tahun laun, saat SD. Putri pertamakumenjualkan kue tetangga kami, karena anak
si tukang kue itu ‘malu’ untuk menjajakannya, begitu juga dengan putri ke 2,
menjual kue, ATK, hinggal Wall paper.
Dan anak ketigaku menjual asesoris gadis, walau gagal pada akhirnya.
Yang
menggembirakan adalah anak bungsu kami, yang meniru kakak-kakaknya, dia membawa
pinsil ke sekolahnya, menjualnya, dan mentraktir temannya dari hasil
jualannya. Karena kami mentertawakan,
dia kapok untuk melakukannya lagi. Jualan bagi dia cukup sekali saja.
Walau
secara financial anak-anakku, dan aku saat SD dulu, tidak banyak mendapat
keuntungan, tapi dari sanalah, kami belajar bagaimana menaklukan rasa malu, dan
gengsi dalam berdagang. Maklum, untuk sebagian orang, terlebih untuk masyarakat
priyayi, angkatan yang merasa, bahwa berdagang itu menempati kelas ‘biasa’.
Tapi itukan jaman ibuku dan masyarakat dijamannya.
Pandangan itupun mulai bergeser.
Sangat bergeser, hingga kutemui fenomena mahasiswa cari duit lupa sekolah.
Tertawa gelilah aku saat membaca ada mahasiswa FSRD ITB di era 90an yang lebih
sibuk mencari uang dibanding hadir di ruang kuliah, hingga usahanya diberi nama
*Absenin*.
Maka jadilah dilema pada bagan : Kuliah atau cari uang. Atau
Kuliah sambil cari uang dengan nilai paspasan keuntungan paspasan.
Semuanya, menurutku, sah-sah
saja bukan, karena bagaimanapun semuanya memiliki nilai untuk sebuah
pelajaran-pengalaman. Yang merugi itu tentu saja orang yang tidak kuliah, dan
tidak melakukan usaha apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar