Minggu, 24 November 2013

Guru, Untukmu Tak Cuma Setangkai Mawar



Begitu riuh suara gadisku beberapa hari lalu. Dia tanya beli bunga mawar yang  sebatang itu dimana. Katanya OSIS memberi pengumuman untuk menyiapkan sebatang mawar yang akan dipersembahkan pada guru hari ini.
            Waktu kudengar proposalnya, aku langsung menyahuti, “Hanya setangkai mawarkah yang kau akan kau berikan pada gurumu?” maka kujelaskan keberatanku tentang setangkai mawar ini.
            Bila setangkai mawar ini seharga Rp. 15000, tidakkah sebaikanya uang sebesar itu dikumpulkan sekelas, bisa terkumpul uang sebesar RP. 600000, yang bisa dibelikan barang yang lebih manfaat buat gurunya? Tas, sepatu? Atau sebentuk cincin mas?  Saya kira gurupun lebih senang menerimanya, dibanding setangkai Mawar yang akan melayu dan berakhir di keranjang sampah.
            Sebenarnya setangkai Mawar, atau sebuah bingkisan hanya sebagai penanda hari saja. Tapi selebihnya, kita tak pernah mampu membayar jasa seorang guru pada kita, ataupun anak-anak kita. Kalkulasi matematikanya benar-benar rahasia Tuhan.
            Karena menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Selain dituntut menguasai ilmu yang ia sampaikan pada muridnya, dia pun harus menjadi pendidik yang sabar. Tekun mengajari siswa yang kurang. Menyediakan ruang toleransi yang lebar saat siswanya nyeleneh, atau bikin jengkel.
            Guru itu mengajarkan dari tidak tahu menjadi tahu. Mendidik karakter siswa dari latar belakang keluarga dan lingkungan yang sangat beragam. Tapi yang paling diharapkan semua orang tua murid adalah guru yang mampu menginspirasi muridnya.
            Berpuluh tahun lalu, saat seorang guru SDku menceritakan tentang sebutir kacang, lingkungan yang melingkupi, aneka hewan yang memburunya, bagaimana sebutir kacang ini menjadi sambel, menjadi sumber tanaman baru, menjadi biji yang dapat di awetkan yang bahkan untuk digunakan di masa depan (belakangan dalam majalah NatGeo, ternyata memang ada bank biji, yang ditujukan untuk masa depan yang paceklik!). Jika Tuhan memberi hidayah, aku analogikan saat itu aku-pun menerima ‘inspirasi’.  Aku ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kehidupan yang ajaib!
            Maka menjadi wajar bila  di Finlandia seorang guru menempati status sosial yang dihormati. Tidak kaya, tapi pemuliaan masyarakat terhadap profesi ini kurang lebih membayar jerih payah Guru. Bagaimana dengan di negeri ini?
            Bukan hanya ada di cerita  ‘Laskar Pelangi’ cerita tentang compang-camping dunia pendidikan. Tapi, saat ini, di NKRI masih banyak, guru di pedalaman terseok berjalan menuju sekolahnya. Bahkan sekolah sambil disaksikan beruang (sekolah Rimba, Butet Manurung). Di Garut, temanku, Yoni Haryadi lulusan TL ITB  mengajar di samping kandang Kambing. Mengajari murid-murid dari pelosok, menggugah semangat menggapai masa depan bagi anak-anak pegunungan.  Kata Yoni, Kambing selalu lebih cepat menjawab saat ada pertanyaan yang dilontarkan guru. Lucu, sekaligus ngilu.
            Lantas apa yang di dapat guru-guru pedalaman seperti ini? Saya yakin, langkah murid-muridnya yang menyusuri sungai, gunung, berbekal semangat, bercita-cita setinggi langit nilainya melebihi dari setangkai mawar.
            Murid-murid dari masa lalu yang bertandang kepadanya, berkabar telah menjadi ini dan itu, berbakti di sana sini, tanpa lupa dari mana semua ilmu itu berasal, sungguh menjadi kado terindah sepanjang hidup setiap guru.
            Maka putriku, jadilah kamu seperti itu. Orang yang membanggakan gurumu. Hingga kaulah kado terindah itu.

            

Guru, Untukmu Tak Cuma Setangkai Mawar



Begitu riuh suara gadisku beberapa hari lalu. Dia tanya beli bunga mawar yang  sebatang itu dimana. Katanya OSIS memberi pengumuman untuk menyiapkan sebatang mawar yang akan dipersembahkan pada guru hari ini.
            Waktu kudengar proposalnya, aku langsung menyahuti, “Hanya setangkai mawarkah yang kau akan kau berikan pada gurumu?” maka kujelaskan keberatanku tentang setangkai mawar ini.
            Bila setangkai mawar ini seharga Rp. 15000, tidakkah sebaikanya uang sebesar itu dikumpulkan sekelas, bisa terkumpul uang sebesar RP. 600000, yang bisa dibelikan barang yang lebih manfaat buat gurunya? Tas, sepatu? Atau sebentuk cincin mas?  Saya kira gurupun lebih senang menerimanya, dibanding setangkai Mawar yang akan melayu dan berakhir di keranjang sampah.
            Sebenarnya setangkai Mawar, atau sebuah bingkisan hanya sebagai penanda hari saja. Tapi selebihnya, kita tak pernah mampu membayar jasa seorang guru pada kita, ataupun anak-anak kita. Kalkulasi matematikanya benar-benar rahasia Tuhan.
            Karena menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Selain dituntut menguasai ilmu yang ia sampaikan pada muridnya, dia pun harus menjadi pendidik yang sabar. Tekun mengajari siswa yang kurang. Menyediakan ruang toleransi yang lebar saat siswanya nyeleneh, atau bikin jengkel.
            Guru itu mengajarkan dari tidak tahu menjadi tahu. Mendidik karakter siswa dari latar belakang keluarga dan lingkungan yang sangat beragam. Tapi yang paling diharapkan semua orang tua murid adalah guru yang mampu menginspirasi muridnya.
            Berpuluh tahun lalu, saat seorang guru SDku menceritakan tentang sebutir kacang, lingkungan yang melingkupi, aneka hewan yang memburunya, bagaimana sebutir kacang ini menjadi sambel, menjadi sumber tanaman baru, menjadi biji yang dapat di awetkan yang bahkan untuk digunakan di masa depan (belakangan dalam majalah NatGeo, ternyata memang ada bank biji, yang ditujukan untuk masa depan yang paceklik!). Jika Tuhan memberi hidayah, aku analogikan saat itu aku-pun menerima ‘inspirasi’.  Aku ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kehidupan yang ajaib!
            Maka menjadi wajar bila  di Finlandia seorang guru menempati status sosial yang dihormati. Tidak kaya, tapi pemuliaan masyarakat terhadap profesi ini kurang lebih membayar jerih payah Guru. Bagaimana dengan di negeri ini?
            Bukan hanya ada di cerita  ‘Laskar Pelangi’ cerita tentang compang-camping dunia pendidikan. Tapi, saat ini, di NKRI masih banyak, guru di pedalaman terseok berjalan menuju sekolahnya. Bahkan sekolah sambil disaksikan beruang (sekolah Rimba, Butet Manurung). Di Garut, temanku, Yoni Haryadi lulusan TL ITB  mengajar di samping kandang Kambing. Mengajari murid-murid dari pelosok, menggugah semangat menggapai masa depan bagi anak-anak pegunungan.  Kata Yoni, Kambing selalu lebih cepat menjawab saat ada pertanyaan yang dilontarkan guru. Lucu, sekaligus ngilu.
            Lantas apa yang di dapat guru-guru pedalaman seperti ini? Saya yakin, langkah murid-muridnya yang menyusuri sungai, gunung, berbekal semangat, bercita-cita setinggi langit nilainya melebihi dari setangkai mawar.
            Murid-murid dari masa lalu yang bertandang kepadanya, berkabar telah menjadi ini dan itu, berbakti di sana sini, tanpa lupa dari mana semua ilmu itu berasal, sungguh menjadi kado terindah sepanjang hidup setiap guru.
            Maka putriku, jadilah kamu seperti itu. Orang yang membanggakan gurumu. Hingga kaulah kado terindah itu.

            

Jumat, 03 Mei 2013

MASIHKAH APARTHEID?





BERWARNA

Ketika lahir, aku hitam
ketika tumbuh besar, aku hitam
ketika berjemur, aku hitam
ketika ketakutan, aku hitam
ketika sakit, aku hitam
ketika mati, aku hitam.

Dan kamu kulit putih

Ketika lahir, kamu merah muda
ketika tumbuh besar, kamu putih
ketika berjemur, kamu merah
ketika meriang, kamu biru
ketika ketakutan, kamu kuning
ketika sakit, kamu hijau
ketika mati, kamu kelabu

Dan kamu bilang bahwa aku kulit berwarna?

(Puisi nominasi terbaik 2005, anak afrika.)

Puisi  dengan kata-kata sederhana mampu  menyentuh siapa saja yang membacanya,  ditulis seorang anak afrika ini. Waktu membacanya agak tercenung juga mengingat tahun puisi ini dipublikasikan. 2005! Inikan masih ‘kemarin’ dibanding isu rasis yang menusuk yang diangkat puisi ini.

Olala, rupanya aku begitu dilenakan kedamaian rumah.

Aku kira cerita Missisipi Burning, Isaura, Abraham Lincoln, Paman Sam, Cuma ada di masa lalu. Nyatanya cerita itu masih berlangsung, hingga kini. Jadi aku buka-buka lagi sejarah. Yah, tentu saja, Obama jadi Presiden itu bisa jadi Cuma simbul, karena sesungguhnya bagian dunia ini secara jelas masih memelihara rasa sentiment rasis.

Yup, semua orang tahu (mungkin kecuali aku, yang tak ingin percaya) bahwa seorang negro yang bergerak biasa, menjadi Nampak mencurigakan di mata seorang polisi rasis, di sebuah perkampungan kumuh yang sesak dengan kriminalitas.

Kalau kau mau cek, lihat saja catatan kriminalitas, atau isi penjara di AS, Negara yang dikenal liberal ini. Ada berapa negro ? asia ? hispanik ? putih ? 

Cek saja ! karena aku tak berhasrat membaca angka statistiknya.

Jumat, 19 April 2013

BAHASA KITA DIRUSAK BUDAYA LISAN?



Yaaaa… gitu deh…
Ngono yo ngono ning ojo ngono…
Pokoknya sesuatu bangeut…
Kampseupay…
Demikianlah puisi kita hari ini.

Tapi jika kau ingin lebih kreatif dengan merangkaikan kata-kata hingga semua kata yang tak jelas artinya ini sedikit memiliki makna, mari kita coba:

Bahasa itu sesuatu bangeut keberadaannya saat ini. Karena kehadirannya, seseorang yang di cap Kamseupay, akan lebih mengerti situasinya mengapa ia disebut kamseupay.  Namun demikian Bahasa kita sering kali berbunyi  tiada  arti, seperti Ngono yo ngono ning ojo ngono (gitu ya gitu tapi jangan gitu). Apa ada diantara kalian yang mengerti maksudnya ? anehnya, kebanyakan orang mengerti maksudnya tanpa bisa mengungkapkan dengan penjelasan jelas, dan kata-kata yang ‘normal’. Kalau ditanya apa sih maksudnya  Ngono yo ngono ning ojo ngono… jawabnya ga kalah absurd : Yaaa… gitu deh. !.

Inilah gambaran bahasa kita. Komunikasi yang dibangun dengan budaya lisan dalam masyarakat  seolah melupakan kemampuan masyarakat dalam menyerap  budaya literasi.  Bahkan sangking hebatnya budaya lisan kita, kita cukup membunyikan sebuah kata tanpa arti, dan hebatnya lawan bicara kita mengerti maksudnya. Seperti dialog di bawah ini.

Bapak : Bu, tahu ga anunya bapak di tarok di mana (sambil mengelus jenggot yang tumbuh tanpa     dikehendaki. Maksudnya pasti  cukuran jenggot)
Ibu : Anunya pasti di simpen di anulah.
Bapak : Ga ada bu, pasti si Ade dah nemuin trus mainan, sampe lupa anunya di mana.
Ibu : Oh, ya ! ibu liat kemarin buat nyukur si Meong. Ade…. ! Huuh, coba kalo bapak ga anu sembarangan pasti  ga susah nyarinya !

*_* :’(

Bahasa jujurnya, inilah gambaran masyarakat yang kurang menyerap budaya literasi. Hal ini tergambar dalam kemampuan industri penerbitan menerbitkan naskah atau buku. Di Inggris konon sebulan  bisa terbit 500 judul buku. Sedang di sini cukup 50 judul saja. NAH.

Jadi salah siapa jika hari ini bahasa kita berkembang seperti ini ?
Salah Anu !


BISA BAHASA ASING, MEMANG PENTING



Di era glabalisasi ini menguasai bahasa asing menjadi hal penting guna mensahkan diri menjadi warga dunia. Jika dulu bahasa Indonesia harus dikuasai sebagai bahasa pemersatu, kini menguasai bahasa asing terasapenting sebagaimana kita menguasai bahsa Indonesia di era Sumpah Pemuda di ikrarkan.

Karena itu pak Rahmat sangatlah mengharapkan Indra, putra semata wayang, untuk menguasai bahasa asing. Maka dibuatlah program stay home di Negara Inggris agar terlatih menulis, membaca, mendengar sekaligus bicara fasih bahasa asing. Mengingat Inggris adalah bahasa yang paling banyak digunakan di Negara-di dunia. Indra hanya bisa bahasa Anjing.

Setelah bertahun-tahun Indra pun kembali. Tapi Indra tak mampu berucap bahasa Inggris. Ayahnya mencoba lagi, dengan mengirimkan Indra untuk mempelajari bahasa asing lagi. Kali ini ia mengirim Indra ke Jepang. Tiga tahun kemudian Indra pulang dengan kemampuan bahasa yang nihil. Indra hanya bisa bahasa Anjing.

Ayahnya tanpa putus asa mengirim Indra ke China, Spanyol, Perancis, negara-negara Arab, mengingat negara-negara itu adalah negara yang bahasanya dipakai banyak komunitas seluruh dunia. Tapi hasilnya nihil. Indra hanya bisa bahasa Anjing.

Dengan kesal, kecewa, jengkel, dan malu, karena si Ayah telah mengeluarkan banyak biaya untuk Indra, Si Ayah pun membuang Indra ke suatu kampung di pelosok yang telah sepi oleh penduduknya.
Ternyata kampung itu sepi ditinggalkan oleh penduduknya. Penduduknya pergi ketakutan  karena di kampung itu berkembang biak Anjing buas. Yang menteror kampong yang semula damai.

Beruntunglah Indra yang mengerti dan fasih bahasa Anjing. Dengan kepiawaiannya bergaul dengan anjing, dia dapat bertahan hidup di kampung itu tanpa kekurangan apapun. Bahkan karena kedekatannya dengan para anjing, Indra mendapat informasi penting dari para anjing itu bahwa di kampong itu terdapat harta karun peninggalan jaman penjajahan. Harta karun berupa perhiasan mahal dari Eropa, India, dan China  yang dibawa oleh  para penjajah jaman dahulu kala.

Jadi, sekalipun ayah Indra merasa sia-sia mengirim Indra ke berbagai Negara untuk mempelajari bahasa, ternyata energy yang keluar itu pasti ada tukerannya, sebagaiamana hukum kekekalan energy Einstein.

Energi tak pernah hilang, dia hanya mampu berubah.

Senin, 15 April 2013

UJIAN NASIONAL ON-LINE, KENAPA TIDAK?



UN, Hari ini, dengan Sedikit Kekacauan Dari Sabang sampai Merouke

1,1 juta siswa batal UN hari ini.

Hari pertama UN, senin, ini, dilalui dengan aneka peristiwa. Ada  keterlambatan pendistribusian hingga 11 propinsi (Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Timur, Gorontalo, dll) di NKRI ini tak dapat mengikuti UN bersama hari ini. Di Denpasar, Bali, nampak SMAnya lenggang karena keterlambatan soal UN ini langsung di sampaikan pada peserta UN via SMS, sehingga tak ada kelas tiga yang datang ke sekolah hari ini. Sedangkan di Sulawesi, nampak para siswa terpaksa gigit jari karena soal UN-pun belum sampai di sana.

Sedangkan di Papua, terjadi satu kelas menunda mengerjakan soal UN, karena didapati 1 amplop soal untuk 40 anak didapati kosong.

Sementara ribuan anak SMA kelas 3 tak dapat melaksanakan UN, pihak Diknas menuding perusahaan percetakan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap keterlambatan ini. Sedangkan pihak percetakan juga menuding bahwa ini keterlamabatan karena keterlambatan pihak diknas mengirimkan soal untuk dicetak.

Melihat kendala diatas yang membawa banyak permasalahan dan bisa jadi menyeret ke ranah politisasi, untuk ke depannya, kenapa tidak diusahakan dengan cara Ujian On line. Saya kira, suatu hari kelak, ujian on line bisa menjadi hal yang masuk akal.

Dengan ujian online,  masalah distribusi dan percetakan tidak akan menjadi kendala lagi. Begitu juga keamanan atau kemungkinan kebocorannya. Efesiensi energi terjadi di jalan raya dan pengamanan.

Masalahnya,  adalah fasilitas untuk melakukan ujian online ini. Apakah di pelosok NKRI ini fasilitas komputer dan jaringan internet sudah mumpuni?

Semoga suatu hari kelak, Indonesia bisa lebih maju dan efesien segalanya.


Sabtu, 13 April 2013

MASIH ADAKAH GURU ANGKER? (bagian 2)




Kenangan pahit yang lalu itu kini terasa manis, bagaimana tidak terasa pahit? Guru J, tanpa dia berlaku galak saja sebenarnya sudah mengerikan penampilannya. Setidaknya di mataku, anak kurang gizi, yang gagal tumbuh, dia nampak besar, berambut dan berwajah barong. Memang nampaknya aku seperti murid kurang ajar ya? Sementara aku ngos-ngosan mengatur nafas, karena berlari cepat guna menyampaikan titipan jajanannya berupa es, aku sudah harus mengerjakan  soal-soal latihan yang tertinggal.

Kulirik gelas es campur yang berdiri menantangku. Bulir-bulir embunnya engundang air liurku. Kuikuti gerakan gelas itu, tentu saja menuju mulut Guru J yang duduk tepat di depanku itu. Guru J menyeruputnya, lalu dengan menyeringai dan sengaja dia enggodaku: “ kenapa? Mau Ci?”
Waktu itu tentu saja aku malu. Beribu kata sumpah serapah kalut di kepalaku. Jelas aku terganggu konsentrasinya.

Di Kelas 6, wali kelasku terkenal angker juga. Namanya pak Bambang. Hampir sepuluh sebelas dengan guru J. pak Bambang ini tak perlu bicarapun, kami sudah merasakan keangkerannya. Kulitnya gelap, wajahnya sangar, dan bibirnya melengkung ke bawah. Jarang sekali kita melihat bibirnya melengkung ke atas.

Tapi padanya kami benar-benar hormat, setulusnya. Bukan karena takut. Dengan caranya yang tegas, dia berhasil menegakan disiplin kelas kami. Dengan ketekunannya dan ketelatenannya, (aku tidak bilang dia cukup sabar ya) dia berhasil mengasah otak kami yang buntu di atematika. Di tahun 80-an, dia cukup aneh dengan metodenya meanggil anak untuk mencongak/menghitung di luar kepala dengan berdiri di depan kelas. Ampun deh. Maka inilah yang disebut Angker jilid 2 setelah berteu dengan guru J di kelas sebelumnya.

ASTAGA!  Baru setelah lepas SD, aku merasa begitu lega tak menemukan guru semacam guru  J  lagi. 

Sebenarnya sebagai guru ada banyak cara untuk mengantarkan anak-anak didiknya ke jenjang lanjut, selain dengan cara kengerian?

Aku selalu salut dengan guru yang berhasil membuat seisi kelas mengerti pelajarannya. Karena dia mampu menemukan cara pada 40an siswa yang daya serap dan moodnya sangat beragam.

Rabu, 10 April 2013

Masih adakah Guru Angker?


Memang tak ada yang tetap dunia ini. yang tetap dan konsisten adapah Bumi selalu berputar pada porosnya. entah apa yang terjadi bila bumi tiba-tiba berhenti.

Dalam sejarahnya hubungan siswa dan murid pun mengalami banyak pergeseran. Jaman Penjajahan hingga era kemerdekaan sosok guru adalah sosok yang mulia, dihormati, dikagumi. Seseorang yang berstatus Guru, akan menyandang tempat terhormat di manapun ia berarada.

Di tahun 76an, saya masih ingat , kami menunduk hormat sambil mengucap salam: "Pagii bu/pak."saat melihat seorang guru memasuki halaman sekolah. Budaya cium tangan sama sekali belum saya kenal. Tak sekali dua kali saya merasakan rambut saya dielus sayang sang bu Guru. Tanpa bicara dia mengambil payung yang tergulung kacau dari tanganku, dengan senyum hangat, dia mengajariku melipat payung. Pengalaman yang manis sekali.

Berbeda sekali Di tahun-tahun sebelumnya, saat mbakku bersekolah di SD yang sama. yang aku ingat hanya cerita sadis sosok guru J. Mbakku yang penakut saat kecil itu, cukup takut dan stress saat guru J ini memnjadi guru kelasnya. Gaya mengajarnya yang tak sabaran membuat anak-anak begitu takut. Tak sekali saja guru J menoyor kepala murid bila muridnya tak mampu berhitung. Tak aneh Mbakku yang manis tak bisa menahan pipis saat seorang murid lelaki jahil menyembunyikan jangkerik di kolong tempat tas mejanya. Jangkerik itu bernyanyi nyaring di kelas horor, di tengah guru J berdiri, di kesenyapan situasi angker.

"Siapa yang bawa Jakerik?! siapa!..." si guru J berlalu lalang perlahan. langkahnya melecut detak jantung. Dan mbakku tak mampu menahan dirinya untuk mengompol.

Di lain waktu, guru J bisa memanggil murid, dan memerintahnya untuk membelikannya minuman dingin, es campur, atau roti bakar, untuk di makannnya di dalam kelas. Oh... merdekanya!


Hari  ini, masih adakah guru macam ini?

...... bersambung ya....

Jumat, 05 April 2013

Mak Recok: TEMPAT RAHASIA



Dalam cerita-cerita kartun, sering digambarkan seekor Anjing menyimpan makananya berupa tulang dengan cara menggali tanah. Tapi di dunia nyata, saya belum pernah menyaksikannya.

Seekor kucing yang baru melahirkan memiliki kebiasaan memindahkan anak-anaknya yang masih bayi beberapa kali guna menghindari ancaman dari pejantan dewasa yang sering melakukan praktek kanibalisme. Perilaku alami guna mempertahankan gen terbaik, juga pengendalian jumlah   populasinya.

Di era lalu, orang biasa menyimpan uang logam dalam celengan bambu. Seiiring perkembangan jaman, hanya anak-anak kecillah yang melakukan hal ini, sementara masyarakat dewasa menyimpan harta bendanya di Bank. 

Kini segalanya berlangsung hanya sekejap mata saja, kita bisa melakukan aneka transaksi secara on line.

Sekalipun teknologi kunci pintu berupa pasword sudah banyak digunakan orang, Ternyata  kebanyakan orang masih menyembunyikanya secara tradisional. Pasti diantara kalian sering menyembunyikannya dibalik keset, di lubang angin, dibawah pot.

Masalahnya bila  si mbak pulang sekolah lebih cepat, di tengah hari, di hari nan panas, dengan tingkat lelah yang tinggi, dan keinginan yang luar biasa untuk mengeluarkan sisa sarapannya tadi pagi, ditambah semangkuk baso ekstra pedas, tapi si Mbak mendapati rumah kosong, dan dia tak tahu dimana ibunya menyembunyikan kuncinya. Hal  tercepat yang ia lakukan tentu saja ber-sms- pada ibunya yang mungkin adalah orang terakhir yang ke luar dari rumah:

Mbak: Bu, kunci di mana?
Ibu     : Kunci ada di besek temu2an mb (langsung ga nyambung )
Mbak : Kunci rumah buw! (sakit perut akut menuntut)
Ibu     : Oh, kalo ga salah di bawah keset.
Mbak : (Langsung memeriksa) ga ada!
Ibu      : Di bawah Pot?
Mbak  : (melihat Pot yang berjumlah 34 itu langsung frustasi.) Pot yg mana?
Ibu      : Pot yang deket pintu lah yaw.. :D
Mbak  : Pintu yg mana? (di situ kan ada pintu samping, pintu kamar tamu, pintu garasipintu dapur )
Ibu       : Belum menjawab juga.
Mbak   : yg mana?!
Ibu        : Belum jawab.
Mbak    : Hallo...!
Ibu         : (diseberang sana ingin sekali si ibu mengetikan: Yang, pulsa ibu habis....)

Berhubung perut si mbak sudah menuntut akut. Ibarat situasi telur di ujung tanduk, si mbak pun lari ke tetangga.

Mbak : De! Ikut ke belakang ya?
Ade    : Oh silahkan, mandi dua ribu, pipis lima ratus, kalo BAB empat ribu.
Mbak  : Ah gila lu (punya tetangga tega-tega amat)
Ade     : Mau nggak?
Mbak   : Kok paling mahal BAB?
Ade      : Ya iya lah mbak... treatmentnya sangat berbeda dengan limbah yang lain.
Mbak   : Ah gila lu!
Ade      : terserah, mau yang mana?
Mbak   : Ada pilihan lain?
Ade      : Maksudnya, mau di keluarkan, atau diserap lagi? Hehehe.

Hhhhgggrrrggg.... *bunyi geram amarah, dan bunyi desakan perut saling berebut*









Kamis, 28 Maret 2013

Mak Recok, Kapan Anak Dikenalkan Dengan Uang?



Aku masih mengingatnya, sangat,  tentang doktrin ibuku: ‘tugasmu-Cuma-belajar!’ maka sebagai anak yang berbakti, setidaknya aku ingin –nampak- berbakti, kuturutilah perkataannya. Walau pada kenyataannya, tentu saja sebagai anak yang ‘manis’ aktivitasku bukan Cuma belajar.
               
 Entah bagaimana mulanya, aku merasa bertetangga dengan tetangga yang berhalaman luas, memiliki aneka pohon buah menjadi sebuah anugrah. Di saat jambu,  belimbing, ceremai, berbuah, tanpa sunkan (tak tahu malu) aku yang saat itu kelas 2-5 SD itu memintanya. Lalu dengan gairah dan kegembiraan kanak-kanak, kupanjati poho,-pohonya. Kupetiki buah-buahnya yang matang. Keesokan harinya, aku bawa ‘panen kecilku ini’ ke SD, dan menjualnya di kelas. Tanpa malu.
             
   Bukan Cuma itu, saat lebaran usai, aku menjual kue sagon, kakaren ibuku kepada teman-teman
(sekali lagi) SDku. Kukatakan pada ibuku setiap kali mengambil kue dalam jumlah banyak: Teman-temanku suka bu! Redaksi  ‘aku akan menjualnya’  hanya aku batin saja. Karena aku tahu, ibu tidak akan senang dengan semua kegiatan –menjual-  ini.  Aku punya anggapan, dia akan malu kalau tahu anaknya jualan, apalagi pake cara ‘minta buah tetangga’.
                Aku sudah menyiapkan dalil kesetaraan gender, kenapa masku boleh jual Koran bekas ke pasar, sedang aku tidak. Syukurlah, semua itu tak terjadi, dia bahkan tertawa-tawa saat mengetahuinya.
                Bak Mangga jatuh tak jauh dari pohonnya, setidaknya  begitulah yang aku inginkan pada anak-anakku. Aku mencoba mengenalkan jiwa wirausaha sedini  mungkin, apalagi aku, si wanita ‘mudah terpengaruh’ ini sangat setuju saat Rhenal Kasali, menghembus-hembuskan pendidikan wira usaha di usia muda.  Acara Young On The Top, Kick Andi pun seolah mengesahkan anggapan itu semua.
                Saat gaira pendidikan wirausaha dihembuskan, anakku sudah menjalaninya beberapa tahun laun, saat SD. Putri pertamakumenjualkan kue tetangga kami, karena anak si tukang kue itu ‘malu’ untuk menjajakannya, begitu juga dengan putri ke 2, menjual kue, ATK,  hinggal Wall paper. Dan anak ketigaku menjual asesoris gadis, walau gagal pada akhirnya.
               
 Yang menggembirakan adalah anak bungsu kami, yang meniru kakak-kakaknya, dia membawa pinsil ke sekolahnya, menjualnya, dan mentraktir temannya dari hasil jualannya.  Karena kami mentertawakan, dia kapok untuk melakukannya lagi. Jualan bagi dia cukup sekali saja.
            
    Walau secara financial anak-anakku, dan aku saat SD dulu, tidak banyak mendapat keuntungan, tapi dari sanalah, kami belajar bagaimana menaklukan rasa malu, dan gengsi dalam berdagang. Maklum, untuk sebagian orang, terlebih untuk masyarakat priyayi, angkatan yang merasa, bahwa berdagang itu menempati kelas ‘biasa’.
              
  Tapi itukan jaman ibuku dan masyarakat dijamannya. Pandangan itupun mulai bergeser.
              
  Sangat bergeser, hingga kutemui  fenomena mahasiswa cari duit lupa sekolah. Tertawa gelilah aku saat membaca ada mahasiswa FSRD ITB di era 90an yang lebih sibuk mencari uang dibanding hadir di ruang kuliah, hingga usahanya diberi nama *Absenin*.
                 
Maka jadilah dilema pada bagan : Kuliah atau cari uang. Atau  Kuliah sambil cari uang dengan nilai paspasan keuntungan paspasan.
                 
Semuanya, menurutku, sah-sah saja bukan, karena bagaimanapun semuanya memiliki nilai untuk sebuah pelajaran-pengalaman. Yang merugi itu tentu saja orang yang tidak kuliah, dan tidak melakukan usaha apa-apa.

Translator: