PUTRI. 13
SANG BINTANG JATUH
Para tetua keluar ruangan. Para
senior bersorak. Aku baru tahu kenapa. Karena setelah para tetua itu keluar,
musik hingar bingar memecah riuh rendah suara orang.
SANG BINTANG JATUH
“Qon…? Qon…?”
Samar-samar
aku mendengar Anita memanggilku. Wewangian di udara membuatku mual. Aku juga
merasakan tepukan halus di pipiku. Tapi kemudian tepukan itu berganti dengan
tepukan keras. Nyaris seperti tamparan. Bahkan suara yang terdengar seperti
suara kucing terinjak ekornya. “Qon! Qon!” panggilan yang sangat aku kenal.
Berenergi, penuh tekanan, dominan, sedikit berkekuatan iblis. Suara Kamila.
“Yayayaya…
aku baik, aku baik-baik saja…”
“Nah!
Kan ?” Kamila
mengalihkan pandangan pada teman-teman yang mengerubungiku.
Smartphoneku
berbunyi deras. Semakin lama temponya semakin cepat. Itu adalah setelan bunyi
khusus untuk orang-orang yang menurutku penting. Sepenting bu Ratija, dan pak Jan.
“Maaf…
maaf…” aku segera berdiri, dan menghindari semuanya. Ya! Aku harus mengabarkan
berita gembira ini pada bu Ratija. Tapi yang kudapati tanda SMS yang menyala di
sana .
Sms Pak Jan : Kamu tidak apa-apa?
Aku jawab: aku baik2 saja.
Dari sofaku, aku bisa melihat Pak
Jan mengetikan SMS ini, dia menarik
nafas lega dan ‘mengerling’ serta tersenyum ke arahku. Sekalipun dia
dikelilingi para tetua perusahaan ini aku tahu senyumnya untukku.
Aku
selalu berusaha untuk kuat dengan godaan
ini. Aku tak boleh mudah jatuh cinta lagi, terutama dengan pelaku zinah.
Menurut
teman-teman kantorku, ini adalah pesta sederhana. Biasanya untuk momen seperti
ini mereka akan merayakannya di hotel berbintang, klub malam atau discotik.
Cuma karena aku yang diberi penghargaan, adalah anak berjilbab, bukan tukang
klubing, anak bawang pula, lebih baik mereka pesta disesuaikan dengan
kepribadianku yang ‘hemat’ ini.
“Hah...
aku heran bagaimana mungkin orang sekecil kamu, kurus, kurang gizi, dan jelek
bisa menghasilkan proposal gila sampai lima
buah. Dan gol semua...”
Terdengar suara Kamila menggema di telingaku,
mengganggu kestabilan pasir di otakku. Membuatku bingung, dia ini sedang
memujiku atau menghinaku? Hati-hati!
“Hidup Qonita si pesek.”
Seseorang mulai mabuk dan mengacung gelas tingginya ke arahku.
“Aku
curiga, sebenarnya kau bisa menggolkan 5 proposal ini karena kedekatanmu dengan
pak Jan.” Kamila mendesis tepat didepan wajahku. Mulutnya mulai menguar bau
alkohol. Aku benar-benar ingin muntah.
Oh,
inilah yang aku takutkan. Aku juga curiga, jangan-jangan memang pak Jan yang
melakukannya. Mana mungkin aku melakukannya. Karena yang namanya proposal
‘provokasi’ saja aku belum pernah berhasil membuatnya.
Yah,
bisa jadi benar pak Jan yang membuatnya. Bukankah kami sering mendiskusikan
tentang mimpi-mimpi perubahan di dunia periklanan? Tapi bukan lima proyek impian ini.
“Qonita...?”
Aku
cukup tersenyum saja . Perutku rasanya kembung.
“Qonita...?”
Seseorang menawarkan roti gulung salmon saos nanas.
“Terima
kasih.” Tapi belum sampai roti itu di mulutku, aku sudah ingin muntah. Apa
karena musiknya yang membuat pasir di otakku
bingung?
Beberapa
orang mulai menari mengikuti degup music dengan volume yang perlahan mengeras.
Pak Jan dan para tetua nampak melangkah ke luar ruang, ini pasti kode bagi
mereka, bahwa ruangan ini hanya untuk anak muda, Kelas kroco. Balon-balon sabun
melayang keluar dari sebuah lubang yang tersembunyi dibalik balon warna warni.
Sorak sorai membahana menyambut jatuhnya balon-balon sabun. Orang-orang
meloncat-loncat menggapai balon. Mereka berebut memecah balon. Tus! Balon-balon pecah, bukan cuma
pecah, balon-balon itu melepas asap warna-warni.
Harum aroma asing yang dibawa
asap-asap itu merasuki jiwaku. Aku pening seketika. Sementara arena pesta
semakin diliputi kabut warna warni dan balon. Tawa tanpa alasan bersahutan,
beradu dengan irama music yang menghentak jiwa. Aroma asap warna-warni mulai
mendominasi harum parfum orang-orang berkelas, bersaing dengan asap rokok.
Kupejamkan mata. Tuhan aku pening! Aku mual! Wangi syurga pasti tak seperti
ini!
Penyerentaku
berbunyi lagi.
Pak
Jan: Pulang sekarang!
Syukurlah! Dia pasti tahu, pesta
semacam ini bukan gayaku.
Aku : Baik Bos
Pak
Jan. Pulanglah segera, aku masih ada acara lain. 15 langkah di jalan belakang kantor timur. Boy sudah menunggu di sana pakai Silica orange.
Ya, Pak Jan tentu masih dengan
para tetua itu, membicarakan hal yang serius, mereka pasti sudah kenyang dengan
pesta semacam ini. Mereka pasti diskusi hal penting lain, hal yang dapat
membesarkan perusahaan ini. Atau rencana mengubah dunia.
Aku : trims pak...
Lama aku diam, sebenarnya ada
berapakah mobil yang dimiliki pak Jan? Silica orange? Silica itu jenis sport
atau semacam SUV mewah? Ah tapi ada keterangan ‘Orange ’,
jadi pasti aku tak kan
salah.
Sebenarnya malas aku berjalan,
menjauh sedikit dari kantor, bahkan tadi disepakati kami harus selalu
berganti-ganti tempat untuk menaik-turunkan aku, ini semua demi keamanan. Kemanan dari penculik dan kemanan dari gosip
kantor.
“Qonita
slamat ya...” beberapa orang menghampiriku. Di tengah pusing, kupaksakan aku
berdiri, untuk menghormati para seniorku yang mengucapkan selamat padaku. Aku
terhuyung, dan muntah tepat di depan Kamila.
“Yaik...”
Tuhan,
terima kasih kau beri aku mual, dan membuat muntah tepat di baju Kamila yang
konon keluaran Prada. Prada Asli! Bukan palsu!
****
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar