PUTRI. 15
FILM
Dua garis. Positif. Kali ini aku
menatap hasilnya lama. Berharap satu garisnya hilang. Hanya dengan kekuatan
pandangan mata. Hilanglah! Hilanglah!
Tapi
tidak. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Tetap 2 garis.
Lemaslah
segala ototku. Riuhlah badai pasir di otakku. Pasir di otakku membadai
seketika. Apa yang aku alami ini? Benarkah? Aku tak dapat percaya. Ini Cuma
selembar alat kecil pula! Kubisikan dari hatiku Innalillahi wainnalillahi
rojiun. Badai pasir otakku mereda.
“Qon...?” suara pak Jan dari luar
terdengar. Di tambah ketukan pintu kamar.
“Qon..? Qon..? Qon!” bonus
panggilan cemas.
Kubuka pintu kamarku. Kutatap
dia.
“Bagaimana?” aku melihat
kecemasannya.
Kuberikan hasil test packku.
Kukira dia akan kaget atau terkejut, walau dia sudah bisa menduga hasilnya.
Ternyata aku salah. Aku melihatnya biasa saja. Alisnya sedikit naik. Seperti
jika dia memeriksa analisa pasarku yang salah atau benar. Ya Tuhan! Dia biasa
saja! Padahal tadi dia yang nampak penasaran. Tentu saja, dia biasa saja. Dia
tak ambil bagian apapun dalam penciptaan dua garis di test pack itu.
Yang seharusnya mengalami kiamat
itu aku!
Aku jatuh terduduk lemas.
Menangislah aku sejadi-jadinya. Pasir di otakku teraduk-aduk karena guncangan
tubuhku. Tak kuat dengan segala kebingungan ini. Siapa yang menyangka? Aku
belum melakukan apa-apa. Apapun. Tak seorang lelakipun yang dekat denganku. Pak
Jan itu bukan apa-apaku. Dia sahabatku, bukan pacarku, apalagi pernah
mengintimi ku. Bersentuhan saja nyaris tak pernah.
“Menangislah
sepuasmu, Qon.” Dia jongkok di depanku sambil membawa sekotak tisue. Bila aku
seorang Maya, tentu dia telah menarikku dalam pelukannya, untuk menumpahkan
semua air mataku di dadanya. Tapi aku seorang Qonita, gadis yang selalu menjaga
hijab. Hanya kepada Tuhankulah aku mencari tempat tumpahan air mataku.
“Qon,
Kau ingin aku mencarikan bapaknya? Atau orang tuanya?” tanya pak Jan berhati-hati. Setelah suara tangisku mereda. Dia
pasti telah memikirkan segala ucapannya.
Badai
pasir kepalaku bangun dalam bingung, lagi.
“Bapaknya?
Orang tuanya?” aku berusaha menhentikan tangisku.
“Untukmu
ini memang diluar kebiasaan. Sangat aneh.
Memang biasanya para orang tua menyewa rahim wanita untuk menjaga janin mereka.
Lalu selama sembilan bulan ke depan, para orang tua penyewa rahim ini menjamin kehidupan wanita pemilik rahim sampai bayi itu
lahir.”
Aku
hanya diam. Orang tua sialan itu! Di manakah mereka?
“Qon,
terjawab sudah, kenapa sehabis penculikan itu, kau belum bisa pulang ke
rumahmu. Serta beberapa kali kau masih
mengalami penguntitan, hingga kau terpaksa harus tetap sembunyi di sini.
Rupanya kau membawa janin mereka.”
“Tapi
kenapa orang tuanya tidak menemuiku secara langsung. Bicara baik-baik. Minimal
mohon maaf, dan menerangkan melalui media massa
sebagai usaha rehabilitasi namaku? “
Pak
Jan diam.
“Atau
orang tuanya sudah tahu jika aku hidup aman dan terjamin di sini?”
Pak
Jan diam.
“Apa orang tuanya tidak khawatir aku menggugurkan
anak ini? Karena secara hukum, aku bisa melakukannya secara legal setelah
melalui test pembuktian bahwa ini bukan anakku!? Dan aku tak pernah melakukan
kontrak apapun secara resmi dengan mereka.”
Pak
Jan diam menatapku prihatin.
“Aku
bisa menggugurkan anak ini! Kenapa mereka seenaknya saja melakukannya padaku?”
“Kau
tak kan
mungkin melakukkannya Qon, dan itu telah mereka perhitungkan.”
“Kenapa?
Aku bisa saja melakukannya!”
“Aku
tidak percaya.”
Menangislah
aku. Tuhan, bagaimana mungkin aku menggugurkannya sementara aku begitu takut
atas dosanya.
Bila
kubiarkan janin ini tumbuh pun hanya menimbulkan kebingungan tanpa akhir. Dia
tak memiliki silsilah yang jelas, salah satunya, karena darah kami tercampur,
sekalipun itu di luar kehendak kami.
“Memang
aneh. Kenapa mereka melakukan ‘dengan
paksa’? sementara proses seperti ini sudah bisa dilakukan secara legal?”
pak Jan bicara pelan. Dia bersila di depanku.
“Ya
Allah... kenapa aku harus hamil anak ‘orang’... bukan anakku...” Aku tahu,
sebagai muslim, harus menerima cobaan dengan ikhlas, bukan dengan kata tanya : ‘Kenapa saya Tuhan?’
Kini
Kusadari, aku ini seorang muslimah yang masih jauh dari rel agamaku. Aku masih
susah payah menerapkan semua sunah dalam kehidupan dan menerima takdir ini.
Kenapa
Tuhan memilihku cobaan ‘gila’ padaku, muslimah yang keimannanya masih jauh –
jauh... dari surga...
“Kenapa
saya pak Jan?”
“Karena
kau kuat, Qon.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar