PENGERAN.14
HANYA SEBUAH NAMA
Oh, aku baru tahu, wanita kaku
yang ditinggalkan pak Jan ini ternyata android,
manusia robot, temuan baru. Dia dirancang menjadi baby sitter atau pengasuh
bayi, lengkap dengan buah dada bohongan
dan isinya yang bisa diisi ulang bila habis. Dengan prosedur pengisian yang
higienis. ASI palsu itu bahkan keluar dengan suhu yang sama persis dengan ASI
asli.
Dia
diprogram juga untuk bernyanyi dengan nada-nada yang dipercaya dapat
meningkatkan kepandaian si bayi yang dalam pengasuhan. Bukan main! Menakjubkan.
Kehadirannya tentu saja membantu bu Ratija dalam pengasuhan Rahman Rahim.
“Ibu,
bagaimana bila bibi ini kita kasih nama juga.” Usul Mufti terlontar begitu saja
saat kami sarapan pagi.
“Ya
kita kasih nama dia... hmmm... hmmm..” Karin mengendus-endus si Android.
“Yasmin.”
Kata Ilalang spontan.
“Apa?”
Tanya Dinda menoleh.
“Karena
tubuhnya selalu harum bayi.” Ilalang menjelaskan sambil mempermainkan bibir kaku itu dengan sendok.
“Yasmin
itu artinya melati bodoh!” Karin menoyor kepala Ilalang. Bu Ratija langsung
melotot melihat tingkah Karin. Biasanya itu berarti ‘tak sopan’ atau tak baik.
Aku selalu mencatat sopan santun di kepalaku.
“Yah,
pokoknya harum kan ?”
Ilalang mengelus kepalanya.
“Setuju.”
Icha bertepuk tangan, disambut tepuk tangan yang lain.
Begitu
saja proses pemberian namanya. Sederhana. Melihat prosesnya, aku bersorak,
setidaknya aku merasa namaku lebih hebat. Namaku diambil dari nama seorang nabi
yang tampan. Bukan karena ‘bau’ sesuatu.
***
Jadi rumah sempit ini kian terasa
sesak saja. Sekalipun Yasmin tidak memerlukan tempat tidur. Dia cukup berdiri
diam mematung sambil di isi listrik.
Mulanya kami kaku menerima seorang robot android dalam kehidupan kami.
Tapi begitu Rahman dan Rahim nyaman dalam gendongannya. Nampak hangat dalam
pelukannya, dan kenyang karena ‘air susu’nya.
Kami menjadi ‘seperti’ keluarga yang normal.
Karena
normalnya, ide anehpun mulai meluncur.
Waktu itu aku sedang bermain dengan maianan ajaibku, memuaskan rasa ingin
tahuku tentang dunia via internet saat aku dengar percakapan di atas tempat
tidur.
“Ya Allah yang Rahim, Yang Rahman
Yang menjaga kami, kami ucapkan rasa syukur ini karena kami masih kau persatukan dalam ikatan kasih
sayang di keluarga ini.” Suara Karin yang dewasa mulai aku dengar.
“Terima kasih ya Allah, Yang maha
berkehendak, karena setelah kak Qonita pergi, kau kirimkan kak Yusuf yang kini
seperti ayah kami.”
“Dan bibi Yasmin yang seperti ibu
kami.” Dinda si Kurcaci kecil mulai ngelantur.
“Maka ijinkanlah kami menikahkan
mereka, bi Yasmin dan kak Yusuf ya Allah.” Ilalang menambahkan.
“Hush!” Karin melempar kepalanya
dengan boneka dari tempat tidurnya.
Oh? Mendengar doa mereka, aku
harus bagaimana? Gembira? Terharu karena dianggap ayah? Atau konyol karena
dijodohkan dengan seorang wanita android berdada palsu lengkap dengan refill
ASI?
Dokter Rut, seandaikanya kau tahu
keadaanku. Kau pasti terbahak.
***
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar