PUTRI. 13
SANG BINTANG JATUH
Haripun terus berlalu. Si Boy
dengan setia mengawalku ke manapun aku pergi. Entah sudah berapa ratus kali
kuucapkan terima kasihku pada pak Jan. Kukira bila setiap kali ucapan terima
kasihku bisa dijadikan kupon air, maka –mungkin- beberapa bulan kami akan
tenang akan pasokan air di rumah ibu Ratija.
Selain itu Pak Jan sangat
membantu dalam berbagai hal. Klien kami
telah mengirimkankan androidnya ke rumah ibu Ratija, sebagai uji coba,
pemanasan, atau apapun istilahnya. Ini semua
karena pak Jan turun tangan untuk mempercepat proses produksinya. Aku tahu, pak
Jan bertujuan agar Android itu untuk menggantikan keberadaanku di rumah bu
Ratija. Jadi, keadaan ibu Ratija tidak seberat biasanya, terutama dalam urusan
mengurus bayi Rahman dan Rohim.
Untuk membayar semua kebaikannya, aku berusaha segala laporan kerjaku tepat jadwal. Aku juga bekerja keras
melakukan pekerjaan untuk mewujudkan impianku. Tepatnya iklan bernada ‘welas kasih’.
Karena merasa terlalu
merepotkan, suatu ketika aku
memberanikan diri pergi sendiri, dan ternyata, kejadian serupa hampir saja
terjadi.
Tepat saat di depan statsiun
monorel, Seseorang menodongkan senjata ke belakang punggungku, menggiringku
menjauhi statsiun. Dengan gugup, kunyalakan sistem petaku, mengirimkan
lokasinya pada pak Jan. Aku cuma berharap
semoga dia mengerti dengan kiriman pesanku ini.
Dengan
mata tertutup aku di pindahkan mobil
beberapa kali. Sepanjang jalan, aku terus berdoa semoga mereka tidak
memergoki pertanda lokasi yang aku nyalakan dari penyerentaku.
Tepat di depan gudang aku melihat
Lamborghini pak Jan. Lalu si Boy turun dengan senjata di kanan kiri. Senjata
muktahir, yang belum aku kenal. Dia hanya menembakan satu kali ke arah drum.
Tepat sasaran, drum itu meledak. Sungguh peluru yang hebat!
Itu
adalah tembakan peringatan, untungnya para penculik itu mengerti. Mereka melesat lari, tanpa membawaku. Syukurlah.
Pak
Jan memelukku tanpa sungkan. Rupanya dia benar-benar khawatir tentang
keselamatanku. Aku masih ingat bagaimana
rasanya. Bukan! Bukan deg-degan yang ‘itu’.
aku menangis, karena tiba-tiba saja pelukan itu seperti perpanjangan tangan ibu
Ratija.
Setelah
peristiwa itu Pak Jan menjadi lebih
melindungiku. Bahkan dia nampak dilanda paranoid dibanding aku. Sejak itu aku tak pernah dibiarkan lagi pulang
pergi sendiri keluar apartemen.
Tapi
jangan kau kira ini membuat aku tersanjung. Aku cukup tahu diri. Apalagi Maya pacarnya pak Jan semakin sering mampir dan menginap di rumah tanpa
mempedulikan keberadaanku. Maya juga tidak
mempedulikan apakah pak Jan mau menerimanya atau tidak.
Kuterima saja bila dia menganggapku sebagai
pembantu pak Jan. Karena aku sudah cukup lelah seharian berdebat, dan menjaga diri di hadapan Kamila
yang selalu menyulitkanku.
Jadi bila Maya menganggap aku
pembantu, itu sama sekali bukan apa-apa. Dibanding dengan lidah tajam Kamila,
dan kekacauan yang sengaja dibuat oleh Kamila.
Anehnya bila ada pak Jan diantara
kami, Maya berlaku biasa saja. Haaa.. aku jadi ingat komentar Wanda tentang
drama Asia atau Opera sabun atau telenovela
latin. Seorang gadis miskin (tapi tidak jelek) dicemburui gadis berstatus
sosial tinggi. Digilai atau dicintai para pangeran. Kukira itu cuma ada di TV.
Yah, memang beda bukan. Pak Jan
dan aku itu menjalin hubungan ‘dekat’
tapi bukan hubungan kekasih. Juga karena
perasaan sukaku pada pak Jan sepertinya benar-benar menguap seiring
dengan waktu, dan karena seringnya Maya
menindas diriku.
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar