PANGERAN. 14
HANYA SEBUAH NAMA
Ibu Ratija tidak mengurungku, dia
cuma bilang aku harus ekstra hati-hati bila aku ingin ke luar gedung. Ibu
Ratija percaya padaku bahwa –orang- sepertiku mempunyai kemampuan jelajah dan
pengenalan daerah yang luar biasa.
Tapi
bila di rumah aku harus selalu sembunyi dari tamu. Yang penting, katanya, tidak boleh ada yang tahu jika aku
ada di sini. Karena jika ada orang tahu, aku akan dikembalikan di tempat
asalku, yang jelas aku tidak mau, karena di hutan Buatan tempat asalku sudah
tak nyaman lagi untuk ditinggali sejak para ilmuwan itu menambahkan para penghuni baru, para
pemakan daging itu.
Dan
aku sudah berubah menjadi ‘orang’. Bukan lagi sekedar manusia buatan.
Jika
aku sampai ketahuan tinggal di rumah ini, bukan aku saja yang akan terkena
akibatnya, tapi juga ibu Ratija. Ibu Ratija akan dikenai pasal menyembunyikan
pelarian –penting-. Jika ibu Ratija
sampai dihukum berat, karena tidak bisa memberi uang denda, maka penjaralah
tempatnya. Lalu bagaimana dengan anak-anak ini? Adik-adikku?
“Kenapa
kak Qonita tidak kembali saja, ibu? Jadi jika semua ini terjadi, masih ada kak
Qonita yang menjaga kita.”tanya Karin.
“Selama
preman-preman itu masih berkeliaran, dia tak kan aman untuk kembali.”
“Iya
bu, kemarin mereka memangkas jalanku. Mereka tanya tentang kakak Qonita.”
“Oh,
di mana itu?”
“Dibawah
gedung ini.”
“Astaga!
Padahal sudah dua minggu sejak kepergian kakak qonita.”
“Memangnya kakak Qonita salah apa, bu?”
“ibu
juga tidak tahu.”
“Tenanglah
ade-ade, kita sekarang punya seorang pelindung. Dia lebih perkasa dari kak
Qonita.”
“Tapi
Dinda tetap rindu dengan kak Qonita...”
“Ya,
kak Qon senang melucu.”
“Ya,
sedang kak Yusuf bisanya cuma tanya ‘kenapa, kenapa, bagaimanakah caranya...
dan seterusnya’, pokoknya pertanyaan yang sulit-sulit.”
Ibu
Ratija tersenyum bijak, dia menatapku yang salah tingkah.
“Tapi
kak Qonita tidak bisa memperbaiki jendela, pintu yang rusak. Tempat tidur
kalian. Mesin cuci kita. Selain itu kak Yusuf lebih sabar menghadapi kalian
bukan? Dan dia belum pernah marah.”
“Ibuu…
saya kan gen
sama marah-marahnya kak Qonita…”
“Walau
kakak Qon tukang marah dan cerewet tapi dia suka melucu, Ilalang juga kangen,
ibu.”
“Tooooot!”
Bunyi bel!
Protokol keamanan langsung dilakukan. Aku menyisih dari ruang
utama. Seperti biasa aku sembunyi di lantai atas, kamar anak-anak. Dari atas
ini aku bisa mengintip dan melihat bahkan mendengar apa yang dilakukan para
tamu.
“Hallo,
ibu Ratija? Kami dari kantornya Qonita.”
“Oh
pak Jan, selamat datang! Ini kejutan luar biasa.”
Aku
bisa mengintip seorang pria 30 tahunan, mungkin sebenarnya umurnya lebih tua
lagi. Karena pria semacam ini, kaya-perlente-berkelas, selalu tahu cara
mengakali umur. Bisa jadi usianya 40 tahun atau 50 tahun. Menurut keterangan
yang aku baca, ‘mengusahakan tetap nampak muda’ telah menjadi gaya hidup orang-orang kaya.
Jadi
dia yang namanya pak Jan, atasannya Qonita itu.
“Silahkan
duduk.”
Aku
dapat melihat selain Pak Jan ada seorang wanita kaku diantara mereka, lalu
seorang wanita gendut dan seorang kameramen. Kameramennya terus mengambil
gambar.
“Ini
Prasetya, Humas PT Sahabat Andro.”
“Hallo.”
“Kami
ke sini untuk menyampaikan bantuan dalam bentuk kerja sama. Begini...”
Telingaku
mulai menangkap pembicaraan mereka. Kalau tak salah menyimpulkan Qonitalah yang
memiliki ide ‘uji coba android refill
ASI’ di rumah ini. Wah, apa itu? Aku begitu asing dengan ide Qonita. Jelas
dia gadis yang hebat karena bisa
mendatangan dua orang penting dari perusahaan besar ke rumah ini.
Lalu kenapa pak Jan tak ikut pulang setelah
Prasetya dan kameraman pergi. Pak Jan malah nampak santai bahkan makan bersama
semua orang di rumah ini.
Wah, dia benar-benar kaya karena membawa
makanan sebanyak itu. Bahagianya jadi orang kaya, bisa membuat orang di rumah
ini bahagia.
Oh, oh... dia juga pandai memikat
adik-adikku. Baru saja bertemu, Dinda dan Ilalang sudah balapan kuda di paha
kiri dan paha kanannya.
Keluarga ini sedang berbahagia
tapi kenapa perasaanku tak enak? Apa ini yang namanya cemburu? Andai aku
setampan dan sekaya dia.
Tapi kenapa yang namanya Qonita
itu tidak sekalian ikut?
****
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar