PANGERAN.
14
HANYA SEBUAH NAMA
Nama adalah doa dan harapan,
Bukan ironi
Apalagi kutukan
Kata Ibu Ratija, aku memerlukan
sebuah nama. Dia dan 9 kurcaci di
rumah ini akhirnya memanggilku dengan panggilan kakak Yusuf.
Namaku
kini adalah Yusuf.
Andai
dokter Rut tahu perasaanku! Rasaku membucah hingga aku mengelupas seketika dan
membuat bingung ibu Ratija dan 9 kurcaci kurang gizi itu. Kubisikan pada mereka
di sela sakitku:
“Akuuu..
sangat gembiraaa...”
“Tentu
saja! nama itu adalah nama nabi orang soleh idola semua orang di rumah ini.”
***
Tapi kemudian kegembiraan itu hanya berlangsung beberapa
jam saja. Saat mereka tidur, diam diam aku telusur di internet apa saja yang sekali. Aku begitu
semangat hingga sampai di kisah nabi Yusuf.
Kisah
tentang seorang nabi yang tampan. TAMPAN.
Akupun
bercermin. Berminggu-minggu hidup bersama orang ‘yang sesungguhnya’ telah
melatih dan mengasah indera perasaku sebagai mahluk sosial.
Aku
merasa ada hal yang menyakitkan tentang ketampanan
nabi Yusuf itu. Aku merasa orang-orang di rumah ini sedang memperolokku,
melalui namaku.
Siapapun
yang melihatku akan sependapat bahwa aku adalah monster bersisik. Mansis, si
manusia cacat. Buruk rupa.
Coba
bandingkan dengan Rahman dan Rahim, si bayi kembar yang umurnya belum genap
setahun itu. Rahman dan Rahim adalah sifat Allah yang utama. Karena
istimewanya, ‘Rahman’ dan ‘Rahim’ bahkan dicantumkan Allah pada kata
‘Bismillahirahman nirahim’. Bayangkan! nama Rahman dan Rahim ada di setiap surat Al-Quran. Dan semua
muslim, muslimah di dunia menyebutnya, minimal 17x sehari! Dan pasti lebih
banyak lagi Rahman dan Rahim disebutkan. Di 24 jam bumi berputar! Ah irinya
aku, mereka yang lahir belakangan, tapi memiliki nama yang istimewa.
Tuhan,
apa salahku, aku tidak pernah meminta wajah dan sisik seperti ini.
Malam
itu aku mengelupas kedua kalinya dengan alasan yang berbeda.
Aku begitu nelangsa.
***
“Aku tahu kau semalam mengelupas
lagi.” Ibu Ratija menggeserku di depan cermin, mulutnya berbusa pasta gigi.
Kami sering melakukan sikat gigi bersama di pagi dan malam hari.
Aku
diam. “Aku tahu alasannya.” Katanya menghentikan
gosokan giginya lagi.
Aku
diam saja. Aku mulai cemas, apakah namaku akan diganti dengan yang lebih
sesuai? Dengan nama apa? Rahwana? Cakil? Siluman X?
“Nama
itu dipilih oleh anak-anak bukan karena kau tampan, tapi karena kisah hidup
pilumu seperti nabi Yusuf.”
Ah,
mereka mengada-ngada. Bagian mana dari hidupku yang sama dengan nabi Yusuf?
Sepotong saudara pun aku tak punya. Sedang nabi Yusuf itu adalah kakak bungsu
dari sembilan saudara.
“Karena
dibalik sisikmu, kau telah membuat anak-anak terpesona. Kau cepat belajar,
mudah menolong, dan pandai merespon kasih sayang ‘adik-adikmu’.”
“Dalam
hidupnya, Nabi Yusuf adalah pembelajar yang hebat, dari seorang budak menjadi
seorang pemimpin intelek, bijak, cerdas dan dicintai rakyatnya.” Bu Ratija,
menghentikan gerakan gosokan giginya, bicara dengan mulut yang penuh busa
sambil menatapku dalam.
Barulah
aku melonjak. Rasa lega menggelora. Karena yang kurasakan itu semua benar. Dan
ibu Ratija menyebut para kurcaci itu apa? Adik-adikKU!
Dokter
Rut, aku punya Saudara, sampai 9 adik, seperti nabi Yusuf, hanya bedanya nabi
Yusuf itu memiliki 8 orang kakak.
“Tenangkan
dirimu, aku tak mau kau mengelupas lagi!”
“Akuuu...
gembiraaa...”
“Sssssttt...
tenanglah! jangan mengelupas lagi!”
Aku
terkekeh-kekeh karena berhasil menggoda ibu Ratija.
****
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar