PUTRI.
15
FILM
Hujan deras berseling petir,
disertai angin rebut, berhasil
memerangkap kami dalam apartmen. Berita TV isinya hanya tentang banjir,
longsor, putting beliung, di sana sini Alam memaksa warga kota mencari
pengungsian. Ingatanku melayang ke
rumah. Bagaimana di sana? Biasanya bila hujan deras seperti ini, aku sibuk
mengalihkan perhatian adik-adik yang takut akan amarah alam atau Ibu Ratija biasanya mengajak anak-anak
berdoa.
“Mungkin film documenter bisa
mengundang inspirasi Qon.” Pak Jan mematikan berita TV yang sedang aku tonton.
Lalu menggantinya dengan saluran National Geographi.
Film itu menggambarkan proses
tumbuh kembang seorang anak manusia. Pak Jan mengerti dengan kebutuhan
pekerjaan anak buahnya. Ini pasti karena
aku sedang mengerjakan proyek iklan bayi, dari susu, android, pampers.
“Ah, kebetulan sekali. Terima
kasih, pak.” Kuacungkan jempolku.
Mata kami terpaku dengan proses
tumbuh kembang seorang anak. mulut kami terkunci dengan kekaguman betapa Tuhan
telah merancang segalanya sejak sperma bertemu dengan sel telur.
Melihat pak Jan duduk serius,
tanpa bersandar, serta tengokannya kearahku, dan tentu saja pandangannya itu,
membuat aku menjadi salah tingkah. Tuhan! Jangan kau buat scenario hujan deras,
dan terkurungnya kami di apartemen ini, menjadi adegan tak senonoh.
Ah! Pikiranku. Otak pasirku,
gemuruh.
“Qon, apa kau merasakan sesuatu?”
pak Jan tetap menatapku. Membuatku salah tingkah. Aku harus jawab apa? ‘ya, aku merasakan getaran rasa’. hohoho
amboy.
Istigfar Qon!
“Film itu.” Pak Jan menunjuk ke
arah TV.
Ah! Kukira apa. Otak dan
perasaanku bereaksi berlebihan rupanya. “Kenapa filmnya, pak?”
“Filmnya, kok seperti apa yang kau alami akhir akhir ini.”
Apa? Pak Jan memperhatikan aku?
Pasir di otakku bergerak amburadul. Maksud dia apa sih?
“Kebiasaanmu akhir-akhir ini
seperti wanita hamil muda.” Suara pak Jan jelas. Petir pun diam, agar suara itu
masuk ke dalam pikiranku. Tapi aku tetap sulit mencernanya.
‘kebiasaanku
seperti wanita hamil muda?’
“Serangan mual, dan pusingmu
mungkin bukan maag, karena pada saat yang bersamaan kau menyukai buah-buahan
masam.” Suaranya pelan, patah-patah. Pak Jan sangat serius. Aku berani
menyahutinya dengan gurau. Aku tidak mampu untuk bergurau ketika pasir
diotakkku berbaris rapi lalu bertanya padaku: ‘aku hamil?’
“Ba… bagaimana mungkin? Bapak
tahu sendiri saya tak punya pacar, dan bagaimana pergaulanku di kantor? Dan
jilbab ini sungguh bukan hiasan belaka.”
“tapi kau pernah hilang di
culik.”
“Dokter bahkan memastikan saya
masih perawan.”
“Tapi itu mungkin saja terjadi,
ingat kau beberapa kali mengalami percobaan penculikan.”
“Mustahil, penculikan itu terjadi
pasti karena alasan lain.”
Pak Jan bangkit meninggalkan
kekacauan pikiranku. Tak berapa lama kemudian dia ke luar dari kamarnya.
“Entahlah;
Tapi ini... Cobalah!” Baru kali ini aku melihat pak Jan gugup, menggigit
bibirnya. Dia bahkan menelan ludahnya. Dia memberikan test pack padaku. Kedua
tangannya kembali dia sembunyi di saku celananya.
Kutatap
benda kecil di tanganku. Apa ini? Ini test pack, bodoh! Bagaimana dia memiliki
benda semacam ini?
“Ini
milik Maya yang tak pernah ia pakai.” Pak Jan seolah bisa membaca pikiranku.
Oh,
tentu saja hubungan mereka telah sangat jauh, sehingga memiliki test pack
adalah hal yang wajar.
“Kapan
terakhir kau menstruasi?” Tanya pak Jan, gayanya seperti seorang dokter.
Lama
aku mencerna pertanyaannya. Bingung tak karuan. Otakku begitu lamban mengingat
tanggal mestruasi terakhirku. Ya. Rasanya sudah lama sekali.
“Oh,
Qonitaaaa... cepatlah! aku harus segera tahu.” Desak pak Jan.
“Kenapa
aku?” dan kenapa dia yang gugup? Otakku
benar-benar gaduh.
“Sudah
kukatakan tadi, karena
kamu-dua-minggu-ini-seperti-orang-hamil-trismester-pertama-. Doktermu bilang
tidak ada yang salah dengan kesehatanmu.”
“Astagfirulloh...
bapak...”
“Maaf.”
“Bagaimana...?”
bagaimana bapak tahu cirri-ciri orang hamil? Hanya karena melihat film ini?
Aku
tak melanjutkan pertanyaanku. Pasir di otakku segera membuka file-file dua
minggu. Malas di pagi hari, mual, muntah, kembung, emosi tidak stabil, senang
buah-buahan berasa asam. Sepertinya semua yang dikatakannya itu benar!
Bagaimana
semua itu aku tak menyadarinya? Bagaimana
pak Jan memperhatikan semua itu? Kami saling tatap. Aku tak kuat lagi
untuk terus menatap matanya.
“Saya
bahkan masih perawan pak.” Kataku tersenyum.
“Aku
tahu, aku percaya. Tapi lakukan saja, agar kita segera bisa bernafas lega.”
Perintahnya, aku menangkap nada gemetar dari bibirnya. Dia pasti sulit
mengucapkannya.
“Kenapa…”
Aku tak melanjutkan kata-kataku. Lama kami saling diam. Matanya memerintahku
dengan sungguh-sungguh. Aku rasa apa salahnya memelakukan apa yang ia
perintahkan? Bukan hal yang memberatkan. Walau sangat tak masuk akal.
Aku bangkit dan masuk kamar. Melakukan
semua prosedur yang tertulis di test Pack. Lalu membaca hasilnya.
Dua
garis. Positif. Aku tak percaya. Kupejamkan mataku. Lalu kulihat lagi.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar