PUTRI 28
PANGERAN
PANGERAN
“Aku tak percaya! Dia yang
membuatmu seperti ini.”
“Dia
yang membuat ‘otakku’ berbeda dengan
manusia buatan lainnya. Tuhanlah yang menemukan cara revolusi berpikirnya
melalui ibu Ratija dan sembilan adik-adikmu.”
“Aku
tak mengerti. Lalu pak Jan? apa hubungannya?” maksudku: aku sangat menyesal telah menyuruhnya meminum urineku!
“Dia
meyakini, bahwa kepandaianku terletak pada DNA yang bisa aku wariskan. Dia tak
percaya, bahwa dokter Rut dan teman-temannya hanya mengotak-ngatik bagian
protein otak saja.”
“Aku
tak mengerti.” Anehnya, pasir di otakku tak membadai bingung seperti biasanya
bila mendapatkan materi yang sulit dicerna oleh otak.
“Kau
tahu, otak terdiri dari ribuan sel otak
yang dihubungkan oleh sel-sel saraf. Kecepatan kita berpikir ditentukan oleh
cara bagaimana sel-sel saraf ini merespon. Jika diibaratkan informasi yang
masuk ke otak adalah mobil-mobil, maka terlalu banyak informasi yang masuk,
bisa saja terjadi kemacetan. Akhirnya informasi yang masuk, yang seharusnya
direspon dengan cepat, akan menjadi sia-sia.”
Sebentar
dia menunjukan gambar skemanya di layar penyerentan. Jari-jarinya menari-
menggambarkan skema sel syaraf yang saling terhubung. Aku sedikit mengerti. Aku
hanya mengangguk.
“Dokter
Rut memberikan ide, membuat jalan layangnya! Hingga semua informasi yang
diterima bisa direspon dengan baik.”
“Hah...?
ba-bagaimana caranya? Dia melakukannya padamu?” oh aku sungguh sangat menyesal
telah menuduhnya penjahat, dan menghukumnya dengan jus apel bohongan itu.
“Tapi
selain itu saat peta genetisku diidentifikasi, ternyata, hal yang sama terjadi
pada kromosomku.”
“A-apa?”
“kita
selalu tak tahu cara kerja Tuhan, bukan?”
“Jadi pak Jan menginginkan anakmu?”
“Cara
judi yang bodoh, mengingat pemilihan ibu yang tak jelas.”
“Kau?”
aku menggigit bibir. Rasa tak enakku cepat menjadi tawar saat melihat
seringainya. Yusuf menggodaku!
“Qonita,
kau dan aku bukankah sama tak jelasnya? Tak ada teori yang bisa membuktikan
dari ibu A dan bapak B akan menjadi anak yang AB.”
Aku
diam. Rasanya sulit dipercaya bahwa aku sedang berdiskusi dengan mantan manusia buatan penghuni hutan buatan yang
dulu bisu, primitif, dan mungkin super tolol.
“Maksudmu?”
“Anak
kita bisa jadi apa saja. Itu semua tergantung dari bagaimana kita
membesarkannya, mendidiknya, dan memberinya banyak kasih sayang.”
“Ki-ta?”
telunjukku menujuk padaku lalu padanya.
“Hahahaha...
kita! Setelah kau melahirkan, kita baru akan menikah secara resmi.”
“Apa?”
“Aku
tahu syariatnya. Apa kau punya pilihan lain? Seseorang setampan Jan?”
“Tidak!”
cepat sekali aku menjawabnya.
“Oh!
Kau tak perlu berteriak, kita sedang sembunyi... ssssttt..”
“Sampai
kapan kita sembunyi?”
“Setengah
jam saja. Sampai polisi negara mengamankan tempat itu. dan siapkan dirimu untuk
melakukan jumpa pers.”
“Haaaah?”
“Aku
telah mengirimkan semua file rahasia riset unggulan B-Go ke LPKEI, Lembaga
Pertimbangan Kode Etik Intelektual. Lembaga yang menjaga riset-riset yang
sensitif terhadap permasalahan social,
kemanusiaan dan agama. Seperti yng dilakukan oleh B-Go.”
“Ba-bagaimana
caranya?” aku masih tak percaya semua berlangsung sangat cepat.
“Dengan
ini.” Yusuf menunjukan telpon
genggamnya. “Seperti kau melakukan pengiriman konsepmu, sampai gambar, data
hasil survei ke komputer perusahaanmu.”
“Semudah
itu? bukankah kau harus mengetahui kata sandinya.”
“Karena
dokter Rutlah, aku bisa memecahkan kata sandinya.” Dia mengetuk kepalanya.
Oh!
Astagfiruloh, ampun Tuhan, aku sangat jahat pada seorang lelaki tua yang ‘merancang’ ayah anakku.
“Haloooo?
Ada orang di dalam?” tiba-tiba seseorang memanggil kami di mulut gua tempat
kami bersembunyi.
“Oh,
Qonita, mereka memanggil kita.” Yusuf bangkit dan menarikku berdiri. Dia terus
menggenggam tanganku. Ada perasaan aman, dan tenang digenggam tangan bersisik
seperti ini.
“Bagaimana
kau yakin mereka adalah penolong kita.” Bisikku.
“Mereka
menemukan kita karena aku memberi peta rahasia lewat satelit rahasia mereka.”
“Pak
Yusuf? Syukurlah, kepala Keamanan Negara
langsung menjemput anda di sini.” seseorang memanggil namanya dengan
nada ‘hormat’. Bukan nada meleceh seperti biasanya yang kaum manusia buatan
dapatkan.
“Qonita,
kita harus bersiap diri untuk jumpa pers, hanya siaran inilah yang akan membuat
ibu Ratija, dan adik-adik kita tidak cemas lagi, tapi ini menjadi gembira, dan
bahagia.” Bisiknya penuh keyakinan.
“Oh?”
Kurasakan
genggaman tangan Yusuf bertambah erat dan hangat.
***
BERSAMBUNG