PUTRI.
28
PANGERANKU!
.”Qonita!” terdengar seseorang
memanggilku dari bawah. Aku bisa melihatnya, sekalipun dia mengenakan baju over
all seragam karyawan di sini, tapi aku dapat mengenalinya.
“Yusuf?
Kaukah itu? Yusuf!” kataku. Syukurlah, aku sangat gembira melihatnya. Sejenak
aku lupa kami dalam situasi kekacauan.
“Qonita!
Turunlah!” teriak Yusuf. Gesit sekali
Yusuf mengejar kami. Menggapai batang
demi batang.
“Pak
Jan, tunggulah! Yusuf datang untuk menolongku.” Kataku di telinga pak Jan.
“Jangan
bodoh Qon, dia itu salah satu kaki tangan dokter Rut, dia sedang ‘mengejarmu’.” Pak Jan bicara disela
tarikan nafasnya yang payah.
Pak Jan kini mempercepat geraknya.
“Bagaimana mungkin? Kalau dia mau
dia bisa menculikku kapan saja, karena dia tahu tempat sembunyiku selama ini.”
Aku tentu saja tidak percaya, setelah semua file kebaikan dan kemalangan
Yusuf terpatri di otakku.
“Jangan bodoh Qon, tentu saja dia
tak akan menculikmu! Karena selama ini kau selalu bersama si Boy.”
“Pak Jan, Apakah manusia
buatan semacam Yusuf tak dapat
mengalahkan si Boy?”
“Tentu saja. Qon”
“Jadi dimana si Boy sekarang?
Bukankah ini semua tugas si Boy, pak Jan?”
“Dia ada dibalik kemudi helikopter
itu, Qon. Kita pasti selamat.”
Kutengok Yusuf yang terpaut jarak
beberapa batang pohon di bawah kami. Begitu gigihnya Yusuf bergerak mendekati
kami. Kutengok lantai panggung diatasku.
“Qonita... turunlah, jauhilah Jan, dia akan
mengambil anakmu, DEMI NAPSUNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN!” teriak Yusuf sambil tetap bergerak.
“Yusuf...
kau tahu aku hamil?” Oh Tuhan! Jadi benar dia anak buah dokter Rut yang
mengincar janinku.
“Ya,
dan banyak orang yang berkepentingan dengan janinmu, Qonita.” Jawab Yusuf,
sepertinya dia tahu apa yang baru aku alami dengan dokter Rut.
” Pak Jan? Benarkah?”
“Dia
telah membunuh dokter Rut!” Yusuf menunjuk pak Jan dengan geram.
“Pak
Jan menyelamatkan aku dari dokter Rut, Yusuf. Pak Jan membunuhnya karena dokter
Rut tak mau melepaskan aku! Dia akan mengambil bayiku!” kucoba menjernihkan
dialog yang mulai membuatku bingung
“Tidak, kau salah! Dokter Rut
akan menyelamatkanmu dari Jan!” Yusuf
bicara dengan urat leher menegang.
“Jangan
percaya, Qonita! Mahluk jadi-jadian selain fisiknya gagal, pasti mentalnya juga
mengalami kerusakan.” Pak Jan memotong pembicaraan kami.
“Yusuf
menderita kelainan mental?” suaraku terdengar ragu. Bagaimana mungkin mahluk
yang selalu dipenuhi kebaikan, kehangatan, ramah ini mengalami kelainan? Dan
kini dekat dengan Tuhannya mengalami gegar jiwa?
“Yah
tentu saja. Penderitaannya sebagai bahan percobaan para inohedonist yang
menyebabkannya.” Tapi pak Jan menerangan alasan yang sangat masuk akal.
“A-aku
tak percaya...” kataku patah.
“kenapa
tidak? Jika dia berniat menolongmu, kenapa dia harus berlama-lama di rumah
yatim piatu itu?” pak Jan memberikan pertanyaan sebagai jawaban. Ya untuk apa
Yusuf tinggal di rumah Ratija tanpa muncul sekalipun di hadapanku, jika memang
dia ingin menyelamatkan aku. Tak peduli, betapa canggihnya pertahanan sebuah android bernama Boy,
“Qonita
jangan percaya... aku percaya, hatimu begitu dipenuhi kebaikan, dan Allah telah menunjukannya.” Yusuf bicara dengan gaya rayuan ibu
Ratija.
“Untuk
apa dia di rumah kami?” pertanyaan ini membuat aku masgul.
“Haaa...
kau pikir buat apa? Bayangkan seumur hidup dia ada di hutan buatan tanpa
pasangan! Kau tahu artinya? Libidonya, naluri dasarnya mencari pembenaran.” Pak
Jan bicara datar. Seolah kasus seperti ini sudah sangat biasa terjadi.
“Maksud
pak Jan?” apakah Yusuf di rumah ibu Ratija untuk memenuhi semua desakan
biologisnya? Nafsu binatangnya? Karena separuh dirinya bukan manusia. Ya dia
itu bukan manusia!
“Dia
itu semacam pedofilia yang menemukan syurga di rumah Yatim itu.” jawaban pak
Jan tetap saja membuat aku tercekat, sekalipun kepalaku menduga hal yang sama.
“Ti-tidak!” aku tak ingin mempercayainya.
“Bohong.” Suara Yusuf menimpahi dialog kami disela hingar bingar
suara gemuruh dan sirine, dan alarm keamanan.”
“Yusuf...”
hal bodoh yang batal aku lakukan: meminta klarifikasi padanya.
“Cepat
lepaskan tanganmu! Loncatlah kemari!” perintah Yusuf segera dengan gaya siap menerima jatuh tubuhku.
“Hahaha...
kau masih percaya dia?”pak Jan tertawa mengejek. Seolah kami sedang melawak.
“Jadi
kenapa aku harus percaya padamu?”tanyaku penuh ragu. Aku harus berusaha
objektif bukan? Harus mengumpulkan semua bukti dan pernyataan, untuk dapat
mengambil keputusan yang tepat.
Oh-oh! Haloooo otak bodoh! Ini sedang
situasi darurat! Kupaksa pasir diotakku diam sejenak.
“Apa?
Apa kau meragukan aku? Setelah lamaranku? Harapanku atasmu? Perlindunganku
selama ini? Bantuanku terhadap rumah Yatim Ratija? Penolakanku terhadap Maya.
Apa kau belum mengerti juga? Semua itu tak akan aku lakukan jika aku tak punya
perasaan apapun padamu.” Suara pa Jan mengiringi geraknya yang lincah merayapi
tangkai, dan suluran pohon Liana.
“Ma-maafkan
saya pak.” Apa yang pak Jan katakan begitu ‘bulat’
di benakku. Aku butuh bukti apa lagi? Bahwa aku bersandar pada punggung yang
tepat.
Maksudku:
bahwa aku bersama dengan orang yang
tepat.
“Tanyakan
pada Jan, Kenapa dia membawamu ke sini? memaksakan kelahiran prematur bayi
kembarmu, Qonita!” teriak Yusuf dari
bawah.
“Karena
hanya klinik inilah yang paling canggih! Dan tentu saja karena aku mengutamakan
keslamatanmu.” Pak Jan menjawab tanpa diminta.
“Karena
Janlah otak segalanya. Hanya di pusat riset B-Go disinilah, catatan biologismu
tersimpan rapih! Jan juga tahu semua
tentang hutan buatan ini. Dia sudah tahu
pintu menuju atapnya. Bagaimana mungkin dia tahu jalan-jalan di sini bila bukan
karena dia telah terbiasa di tempat ini? Bahkan mungkin dia salah satu
perancangnya! Dialah yang bertanggungung jawab atas kehamilanmu! Bayimu adalah
anakku, Qonita! Kita hanyalah kelinci percobaannya.”suara Yusuf terdengar
begitu jelas.
“Qonita,
dengar! Tahukah kau Seekor manusia buatan
begitu pandai berimajinasi ditengah kerusakan otak dan kecacatan
mentalnya!” Jan bicara sambil menggapai pintu bagian atas . Tangannya dibantu seseorang dari atap sana .
Tapi Yusuf menghalanginya dengan
cara memegangi kaki pak Jan dan dia mulai bergantung di kaki pak Jan.
“Qonita
turunlah! demi anak yang kau kandung, dan kebenaran yang nyata...” perintah
Yusuf . Tangannya mencoba menggapaiku.
“Tembak
dia!” peritah pak Jan pada seseorang diatas sana .
Tidak!
Jangan ada lagi pembunuhan. aku segera merayap turun. Aku menyisih di dahan
yang lain. Aku lihat Yusuf bergoyang-goyang membuat gerak ayunan. Hingga
beberapa peluru berdesing meleset disamping tubuhnya.
“Lepaskan
kakiku, Binatang!” teriak Jan kalap.
“Qon!
Turunlah!” pinta Yusuf lagi.
“Selamatkan
gadis ini!” perintah Jan pada orang yang
diatas sana .
“Akulah
ayah anak itu Qonita! Aku kabur dari sini dan mencarinya selama pelarianku.”
Deg!
Situasi bertempo cepat ini seolah mengalami pouse untuk beberapa saat.
“Apa?!”
tanyaku. Spontan kulepaskan tangan penolongku yang di atas. Kuputuskan menjauhkan diri dari pak Jan.
“Hahaha!
Dasar gila! Bagaimana mungkin seekor manusia buatan yang steril mempunyai anak?
Oh, Qonita apa yang kau lakukan?” Kini pak Jan bergerak berusaha menggapaiku.
Tentu saja aku harus berhati-hati dalam situasi membingungkan ini.
Dengan
Sigap Yusuf mencuri kesempatan ini untuk memukul Jan. Maka pertarungan di
lantai kayu ini pun mulai berlangsung.
“Qonita!
Turunlah terus, dari pohon ini, di sebelah kanan kau akan menemukan
gorong-gorong pembuangan air sungai buatan, ikuti saja arusnya, kau akan
selamat! Ceritakan pada dunia apa yang
terjadi di sini!” perintah Yusuf cukup jelas, padahal dia sambil meloncat ke sana ke mari menghindari
tendangan dan tinju pak Jan.
Yusuf
adalah ayah anakku! Oh Tuhan! Aku percaya begitu saja. Mungkin ini yang disebut
‘kimia’ itu. Aku si radikal bebas,
dan Yusuflah atom yang mengikatku.
Jadi
aku pun turun sesuai denganm perintah Yusuf.
“Kejar
anak itu!” kudengar Jan memberi perintah
pada orang-orang di atas. Para begundalnya. Oh
Tuhan! Selamatkan aku… selamatkan…
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar