PANGERAN. 24
MENYUSUN KEPINGAN PUZZLE
“Oh! Kau belajar filsafat juga?”
“Itu
cuma sepenggal kebaikan dari seorang Dalai Lama.”
“Apa
kau sama sekali tak merasa sakit saat mengelupas?”
“Hanya
jiwa pasrahlah yang dapat terbebas dari penderitaan.”
“Ah…hmmm…”
“Mahatma
Gandhi.”
“FANTASTIK!”
mata dokter Rut membelalak takjub. Dia pasti hapal dengan falsafah-falsafah
kuno yang aku petik.
“Dokter
tidak ingin mengujiku dengan beberapa test?” tanyaku menyindir.
“Oh,
ya, sekedar memastikan saja.” Dokter Rut mengeluarkan tabletnya, lalu menset
sebuah game. Catur. “Mainkanlah!”
Hah!
Dasar ilmuwan! Segalanya dibuat efesien dan mengandung kalkulasi. Dia tak
menangkap nada sinisku terhadap kesetiannya pada profesinya. Dia tak
memperhatikan betapa aku ingin menikmati makanan dan minuman, dan obrolan
ringan, setelah segala kegilaan mengejar hidupku.
“Kau
tahu permainan ini bukan?” tanyanya menjadi ragu melihat aku diam saja.
“Tentu
saja.” Aku mengambil alih tabletnya, dan memulai permainannya.
Dia
diam, aku tahu dia terpesona dengan kelincahanku berpikir.
“Mengobrolah,
aku ingin tahu cerita yang aku tinggalkan di hutan buatan ini.” Kataku sambil mempermainkan bidai-bidai catur
dalam tablet.
“Tidak
aku tak mau mengganggu konsentrasimu.” Dokter Rut mengibaskan tangannya
memerintahkan aku agar aku terus bermain.
“Aku
bisa melakukannya sambil mengerjakan hal lain.”
“Apa?!”
“Ceritakan
saja segalanya, terutama tentang –ibu anak biologisku-.”
“Apa?!”
“Dokter,
aku sedang mencari ibu anakku. Itulah alasanku mencarimu.”
“Apa?!”
Sejenak
kutatap matanya. Dia benar-benar terkejut.
“Kau
tahu semuanya?”
“Jika
aku tahu semuanya, aku tak kan
mencarimu.”
Ding-dong! Jinggel kemenangan menyeru-nyeru
dari tablet. Aku tersenyum sombong.
Dokter Rut tambah
melotot, saat melihat kemungkinan angka IQ yang aku capai karena memenangkan
beberapa level kesulitan dalam permainan catur.
“Fantastik!” dia berdecak-decak kagum.
“Jadi ceritakanlah segalanya. Dengan
sejarah perkembangan mental dan karakterku, dokter pasti tahu, kini aku ada di
tahap manusia dewasa seperti apa.”
Dokter Rut masih menatapku takjub.
“ Kecuali jika dokter ada dalam
konspirasi untuk menjebakku lagi.”
“Oh? Ti... ti... tidak! Aku percaya!”
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar