PUTRI 23.
PREMATUR
PREMATUR
Maka di sinilah kami. Di dalam
mobil yang melaju dengan kecepatan 110 km diatas jalan bebas hambatan, yang
penuh hambatan. Pak Jan berhasil memaksaku untuk menemui seorang dokter ahli
untuk memeriksakan kehamilanku. Alasannya, karena sejak dinyatakan hamil, belum
pernah sekalipun aku memeriksakan diri.
“Pikirkan
Qon, kau mungkin bisa menutupi kehamilanmu di depan ibu Ratija. Tapi di depan
Wanda? Semakin hari perutmu akan semakin besar, dan Wanda dapat melihatnya.”
“Yah,
Wanda memang harus berpisah denganku.”
“Bagus,
kau kini tahu alasannya kenapa aku menginginkan dia ke luar dari apartemen
kita.”
“Ya,
tentu saja, karena bapak telah melihat kelakuannya lewat si Boy.” Gumamku. Jadi
kini terjawab keanehannya waktu itu, waktu pak Jan bilang bahwa dia mengetahui
segalanya tentang Wanda. Tentu saja!
Kulirik
pak Jan, dia sedang tersenyum sendiri. Sarafnya pasti terganggu. Tadi dia
begitu patah, saat aku menolak lamarannya, kenapa dia kini nampak ‘tenang dan
tersenyum’ seperti ini?
“Kau
tidak memikirkan, bagaimana menjaga peru t buncitmu jika Wanda terus
menumpang di apartemen kita?” pak Jan
menengok ke arahku. Aku jelas sekali menangkap ‘kata apartemen kita’. Aku bingung, tak sempat lagi tersipu.
“Memangnya
rumah dokter itu di mana? Kenapa kita belum sampai juga?” Kualihkan ‘tentang kita’. Selain itu aku mulai tak sabar dengan perjalan di mana
aku tidak tahu tujuannya. Aku mulai berdebar cemas, saat pak Jan memilih
jalan-jalan by pass menuju luar kota .
“Tenanglah,
kau tidurlah dulu!”
“Oh?
Kenapa kita tak mengajak si Boy. Agar bapak bisa beristirahat.” Kataku setengah
menyesal.
“Lalu
Wanda?” tanyanya dengan senyum prihatin.
Aku
hanya bisa menghela nafas. Aku tak ingin membela Wanda, karena dengan
adanya si Boy, pak Jan dapat mengetahui
semua kegiatan ‘tercela’ Wanda. Seperti bagaimana Wanda mengambil alat-alat
makan yang dari perak asli itu. Dia pikir, pasti pak Jan tidak akan kehilangan,
bila ia hanya mengambil satu atau dua saja. Karena pak Jan memiliki alat-alat
makan perak yang banyak, antik, dan sangat berkelas.
Tangan kiri pak Jan mengambil
termos minum dari darlam tasnya, “ Minumlah, aku mengisinya dengan minuman
suplemen, bagus untuk kesehatanmu.” Melihat aku menolaknya, dia membuka
botolnya, dan memberikannya kepadaku, dia memaksa.
Baiklah,
aku terima minuman ini. Rasanya memang menyegarkan.
“Kau
bisa mengatur posisi kursinya bukan? Tidurlah!”
“Oh,
terima kasih.”
Tidak,
aku tak boleh tidur, aku harus tahu aku dibawa ke mana. Tapi sebentar saja niat
itu terpatri, menit berikutnya, aku menghianati keinginanku untuk terus
mengamati jalan-jalan. Semuanya gelap, lalu aku berada dalam sebuah lokasi
shooting pembuatan film layar lebar. Aku pasti sudah bermimpi!
***
“Sudah sampai, bangunlah! Qon...!
Qon!” seseorang menepuk-nepuk pipiku berulang kali. Rasanya berat sekali aku
bangun. Aku bahkan masih terus merasakan melayang. Sepertinya ototku begitu
lemah.
Aku
dapat merasakan pak Jan ‘terpaksa’ menggotongku. Aku bisa merasakan nafasnya
memburu udara, pasti karena jalan yang menanjak ini. Tapi itu tak lama. Karena
kemudian aku rasakan ruangan yang terang benderang, dan harum karbol yang
menyeruak. Rupanya pak Jan membawakau ke rumah sakit.
“Oh,
akhirnya datang juga, tidak ada hambatan apapun bukan?” aku bisa mendengar
suara seorang pria. Mataku membuka tapi segalanya kabur. Aku merasakan tubuhku
dipindahkan ke atas tempat tidur.
“Dia
mengalami kontraksi beberapa kali. Aku takut..” suara pak Jan.
“
Oh? Kaubisa juga khawatir? Aneh.” Suara
Pria tua itu.
“Selamatkan
keduanya untukku, dok.”
“Kita
harus melihatnya dulu bukan?”
Aku
bisa merasakan tangan dokter itu mengolesi pelumas diperutku, lalu menempelkan
alat periksa diatasnya. Pasti USG. Ingin sekali aku bangun, tapi kenapa begitu
berat? Tuhan, aku ingin sekali melihat anakku, bangunkan aku!
Aku
dapat mendengar bunyi jantung bayiku. Keras, kuat, tegas, tapi kenapa ritmennya
begitu cepat?
“Bagaimana?”
suara pak Jan nampak penasaran.
“Bayinya
kembar!”
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar