PANGERAN.
27
KERIBUTAN DI HUTAN BUATAN
Apa saja yang dilakukan dokter
tua itu? kenapa begitu lama? kenapa
dokter Rut tak kembali juga? Usianya
yang tua pasti membuatnya bergerak lamban. Aku harus lebih bersabar lagi. Kusibukan diriku dengan melakukan banyak hal.
Tidur, mengamati cctv, lalu sholat tahajud.
Dalam sujudku kubisikan pada
Tuhanku, agar ia memampukan aku untuk membawa Qonita dan anakku, pergi dari
sini, dan mengayomi mereka. Karena aku seorang suami, dan seorang ayah bagi anak-anakku. Kuulangi sujudku.Tuhan
lindungi aku!
Aku
tak bisa menunggu lebih lama lagi. Segera kumulai langkah lariku. Malam begitu
senyap. Gelap. Angin berhembus perlahan, mengantarkan aroma tak sedap dari
kejauhan. Kuhirup dalam-dalam udara
malam ini. Benar. Aku bisa mencium kimia bahan ledakan. Mungkin dari Hutan Buatan. Aku juga mencium bau panggangan
daging. Pasti ada penghuninya yang terpanggang. Apakah mereka, para
biadab, itu melakukannya lagi? Di waktu
seperti ini, tengah malam ?
Mengingat
kemungkinan apa yang sedang terjadi di sana ,
kurasakan jantungku berdenyut lebih keras, seolah jantung ini ingin lepas dari
selubungnya.
Aku
berlari lebih cepat lagi, kukibas ilalang-ilang tinggi yang aku lalui. Aku tak
boleh melewati jalan umum, sekalipun
kawasan ini sangat sepi, aku tak ingin mengambil resiko berpapasan
dengan orang, dan memancing kecurigaan.
Pagar
yang mengelilingi kawasan ‘buangan’
ini sudah nampak dari kejauhan, aku harus hati-hati. Mengingat secara cepat
letak kamera-kamera pengintai. Jangan sampai aku tertangkap oleh kamera. Aku
harus mengalihkan arahnya dengan cara memasuki sistem keamanan mereka, dan
mengendalikannya melalui penyerentaku.
Berhasil.
Terima kasih dokter Rut, atas idemumu menanamkan kepandaian dan gen primitifku.
Maka
melengganglah aku. Melayanglah tubuhku, kembali berlari secepat aku mampu.
Dari jauh kurasakan
kegemparan Hutan Buatan. Kuputuskan
berhenti sejenak. Lalu aku panjat pohon Ki pahit yang ada di samping jalan.
Dari atas pohon ini, aku bisa melihat cahaya berpendar yang berasal dari
lingkungan elit B-Go. Kadang satu kawasan berkelap kelip. Gelap lalu memerah
terang. Lalu gelap lalu memerah terang.
Berpendar nyeri. Itu pasti kawasan Hutan Buatan, cahaya-cahaya itu pasti hasil
dari ledakan-ledakan gila para biadab.
Melalui beberapa pintu keamanan
jaringan, aku berhasil menemukan cara mentelusuri peta kawasan kerja B-Go. Dari peta hasil pencitraan satelit, dan kejelian mataku, aku dapat
menemukan pintu langit-langit buatan. Pintu-pintu yang biasa digunakan oleh
para ilmuwan untuk mencapai pucuk-pucuk
pohon tertinggi di hutan buatan, dimana mereka biasanya melakukan penelitian,
atau pengamatan lingkungan langsung. Ternyata langit-langit Hutan Buatan
terdiri atas pintu-pintu geser yang bisa
dikendalikan jarak jauh.
Syukurlah
aku bisa menemukannya melalui kehebatan teknologi penyerenta ini. Setelah aku
berhasil menyusup kedalam sistem kendali pintunya, kini aku dapat membuka
menutup pintunya dari sini.
Tentu saja yang aku lakukan
adalah membukanya. Agar ‘teman-temanku dari kelompok Burung Buatan’ dapat terbang keluar. Atau mungkin hewan buatan lain dapat merayapi
dindingnya menuju kebebasan dunia luar.
Agak terlambat memang. Tapi daripada tidak kulakukan apapun.
Benar saja. Selain burung buatan, Primata
buatanpun mulai ke luar dari sana .
Terbayang suasananya begitu ribut dan
kacau. Samar aku mulai mendengar sirine
meraung-raung. Semua meneriakan tanda bahaya.
Aku
harus bergerak cepat! Mencari Qonita dan dokter Rut untuk menyelamatkan mereka.
Aku pun menuruni pohon Ki pahit. Dengan baju seragam karyawan milik dokter Rut
yang sangat kekecilan, aku berlari ke
arah paviliun gedung B-Go. Paviliun yang dijadikan klinik perawatan para
pasien. Qonita mungkin di sana .
Lariku
berlawanan arah dengan penghuni gedung.
Orang-orang dari dalam berhamburan ke luar gedung. Sementara dari luar
sini, tim penyelamat berlarian menuju gedung, dan kelompok penyelamat lain
berlarian menuju hutan buatan. Kurasa
tak seorangpun mencurigaiku. Sekalipun aku berbaur dengan mereka. Ini pasti
karena aku mengenakan seragam kerja dokter Rut.
Tak
membutuhkan waktu lama untuk menemukan Qonita. Aku membuka pintu kamarnya. Tapi
di sana yang
kutemukan hanya dokter Rut, terduduk
lesu di bawah ranjang kosong.
“Dokter!”
“Sebelas…!Yu-suf...”
tangannya yang semula menutup dadanya menghalau
ke arahku. Kini aku dapat melihat aliran darah dari dadanya.
“Dokter...
siapa yang...” belum sampai kalimatku diujung, dokter Rut dengan suara parau
tangannya tetap bergerak mengusirku.
“Jan.
Jan Rabiko… membawa Qonita… pergi. Selamatkan Qonita!... Dia bisa melahirkan…
di mana saja! …. Cepat!” Dokter Rut berbisik di telingaku. Aku hanya
mengangguk. Kukutuki diriku karena aku terlambat datang.
“Dokter,
bertahanlah.. aku akan menghentikan pendarahannya.”
“Ti..
dak... perlu... aku ingin segera mati..
cepat pergi.. kejar mereka!”
“Aku
harus mencari sesuatu...” mataku mencari alat medis yang kira-kira tersedia di
situ. Tapi bagaimana mungkin ini hanya ruang perawatan, bukan penyimpanan
alat-alat medis.
“Ti...
dak.. Kau tidak bisa melawan peluru ini... cepat pergi!” bisiknya parau.
Mataku
membelalak liar, otakku menyeruak, mengeluarkan ingatan tentang peluru para
pemburu di hutan buatan. Dokter Rut
mengangguk pasrah.
“Tidak!...
Tidaaaak...!”
“Cukup
Yusuf... inilah hasil segala kerja kerasku... kau harus menyelamatkan Qonita...
karena dengan begitu... berarti... kau akan terus mengenangku dengan kebaikan.”
“Dokter...”
“Maafkan
aku... Yusuf...”
“Dokter...”
“Kau
adalah anugerah terindah dalam hidupku,
Yusuf, aku bahagia melihatmu… seperti ini… cepat… kejar mereka !”
Kutetapkan
hati ini untuk tak berpaling lagi, pada seorang tua yang menyayangiku. Cepat
aku melesat ke luar ruang. Begitu pintu otomatis menutup, aku dikejutkan dengan
bunyi ledakan dari ruang yang baru saja aku tinggalkan itu.
Kakiku
kaku tak mampu melangkah lagi. Mataku terpejam. Aku tak ingin membayangkan
wajah dokter Rut dan muncratan darah
yang mengotori ruangan. Tapi aku gagal.
Hatiku
begitu pedih. Dalam kekacauan sekejap kurasakan gejala meluruh pedihku. Tidak
jangan sekarang! Kulantunkan almatsuratku
berulang. Mencari ketenangan disana. Mendamaikan kekalutan akutku. Aku
harus tenang! Tuhan hanya Engkaulah obat segala sakitku. Aku ikhlas. Innaka ni’mal maulaa wa ni’man nashiir.
Sesungguhnya Enggkau sebaik-baiknya pelindung dan penolong.
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar