PUTRI.
25
TIPUAN NAKAL
Benarkah ibu Ratija dan kedelapan
adikku ada di sini? Bagaimana mungkin? Apa mereka tahu tentang kehamilanku? Pak
Jan sudah memberitahu mereka? bahwa aku akan melahirkan diusia kehamilan
yang baru menginjak tujuh bulan?
“Qonita,
beristigfarlah, bisa jadi sakitmu kini adalah penebus segala dosamu.” Bisik ibu
Ratija. Oh? Apa aku masih nampak sebagai berandal kecil dimatanya?
“Kau
yang selalu mencurangi aliran air di apartemen sektor mewah, sekalipun itu
untuk alasan rumah kita.”
“Lho... itu kan sudah lama sekali, dan ibu sendiri yang
menyuruhku melakukannya untuk melakukannya.”
“Kau
yang menjual kupon jatah airmu demi mengalirnya listrik ilegal ke rumahmu, agar
kau bisa melakukan kejahatan-kejahatanmu di dunia maya.”
“Itu
juga sudah lama sekali.”
“Kau
yang sengaja kentut tepat didepan detektor H2S sehingga alarm nya berbunyi, dan
membuat orang beramai-ramai membeli tabung oksigenmu.... sttt... kau tidak bisa
membenarkan tindakanmu hanya karena saat itu kau berlaku sebagai penjual tabung
oksigen... ssstttt... kau tak bisa membenarkan alasanmu hanya karena kau harus
membayar uang sewa apartemen kita...”
“Oh?
Kenapa tiba-tiba ibu Ratija membuka semua sejarah kelamku? Apa aku terlihat
sedang sekarat?”
“Istigfarlah...
istigfarlah...!” genggaman tangan bu Ratija begitu kuat mencekram. Dia pun
mendekatkan bibirnya ke arah telingaku, lalu menghembuskan suara talkinnya,
bacaan penuntun seseorang saat menjelang kematian.
Aku
akan mati! Padahal aku belum melahirkan, astaga nyeri sekali perutku.
Kulihat
ke sembilan adikku mengelilingiku, mereka menangisiku.
“Jangan
tinggalkan kami kakak Qon..” Dinda berbisik cempreng di telingaku.
Aku
bingung. Tuhan, di manakah aku ini? Apa aku berada diantara langit dan bumi?
Lalu
tiba-tiba cahaya terang menyala tepat di atasku. Oh... benar aku sudah tamat.
Jadi seperti ini rupanya Izroil Malaikat
pencabut nyawa itu, bercahaya, seperti...
Lampu?!
Lalu
kulirik bayangan siluet gelap disisiku. Pak Jan! aku langsung bangun
“Aku
masih hidup pak Jan! aku masih hidup! Alhamdulillah!”
“Tentu
saja Qon, kau itu cuma hamil bukan sekarat.” Katanya tersenyum.
“Bagaimana
keadaanya?” dokter Rut muncul di ambang pintu.
Kewaspadaanku
menyala saat kulihat dokter Rut berjalan menghampiri kami. Kurasa dokter Rut adalah semacam srigala
berbulu domba. Bayangkan! Dialah orang nomor satu yang tercatat sebagai salah
satu ‘pencipta Yusuf!’. Dialah salah
satu orang gila, kejam, yang membiarkan
orang secerdas Yusuf di ‘kurung’ dalam hutan buatan hingga bertingkah
layaknya binatang.
Sedangkan
pak Jan cukup mencurigakan karena membawaku –ke
sini-.
“Dok,
saya tidak akan melahirkan sekarang, bukan?” tepat pada waktu yang sama,
rahimku memeras lagi. Sakitnya luar biasa.
Hingga aku tak mampu menahan sakitnya. Aku tak bisa berakting lagi,
seolah-olah tak terasa apapun.
“Sepertinya,
bayimu telah menjawabnya Qon.” Pak Jan tersenyum hangat, dia pasti melihatku
mengeryit menahan sakit. Oh, Tuhan, seandainya benar pak Janlah ayah bayi ini,
dan ini adalah takdirku, aku sungguh akan menerimanya. Pasrah.
Tuhan!
Kenapa pak Jan nampak bahagia? Cemas? Sungguh perilakunya membuat hatiku
runtuh, sekalipun aku tidak semabuk kepayang seperti dulu lagi. Sekalipun tak
ada lagi getar-getar rasa di hati. Sementara itu aku juga harus ingat, pak Jan
mungkin saja cuma bersandiwara, karena dia terkait dengan dokter Rut.
“Minumlah
dulu, agar kau tenang.” Pak Jan membuka botol jus apel. Aku harus waspada,
jangan-jangan dia telah membubuhi racun atau kimia apalah ke dalam botol ini.
“Aku
ingin kau meminumnya terlebih dahulu.” Kataku mendorong botol ke dalam
mulutnya. Gayaku kubuat manja. Aku yakin, ibu Ratija pasti memukulku bila
melihatku semanja ini terhadap lelaki bukan muhrimnya.
“Oh?”
pak Jan nampak bingung.
“Mungkin
bayi ini ingin merasakan sesuatu dari-mu.” Aku merajuk manja. Aih-aih... pasir
di otakku sepertinya mulai memetik siter kecapi india untuk melengkapi adegan
romantis ini.
Pak
Jan tersenyum. Aku lihat binar di matanya. Oh? Adakah ‘penjahat’ memiliki tatapan mata sehangat ini? Waspadalah Qonita!
Pasir di otakku batal memainkan siter kecapi india , tapi mereka, para pasir itu
mendendangkan seruling sihir, sementara pasir yang lain meliuk-liuk seperti
ular. Seperti Ular yang muncul dari dalam keranjang anyaman. Meliuk seiring
nada seruling sihir.
Ya pak Jan itu
bisa jadi Ular berbahaya!
Nah,
kan dia tidak
mau meminum jus apel ini! Tanganku membawakan botol itu ke bibirnya yang merah
tipis itu. Kubisikan setengah gelisah: “Kau tahu ini yang namanya ‘mengidam’,
keinginan si bayi, tanpa alasan.”
Pak
Jan mengangkat alisnya. Lalu dia menyesap, cukup banyak.
Oh,
berarti jus apel itu aman.
Lalu
aku menyesapnya sedikit. Mataku lama menatap dokter Rut yang berdiri di ujung
ranjang. Dia mengelus jenggot putihnya, menatapku dalam tanpa kata, seperti
sedang berpikir.
“Kita sudah membicarakannya
bukan?” suara pak Jan ditujukan untuk dokter Rut.
Kedengarannya seperti teka-teki yang hinggap digunungan
pasir otakku. Apa? Mereka, dokter Rut dan pak Jan, telah membicarakan apa? Oya, tentu saja
diskusi tadi, saat aku perutku sakit gila-gilaan, dan aku pasrah untuk
melahirkan.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar