Tapi pasir di otakku yang
biasanya ribut dengan berbagai Ini pasti mimpi. Ini hanya mimpi. Seperti
biasanya, mimpi yang dimiliki oleh orang-orang kreatif sepertiku. Berulangkali
jiwaku memberi pengumuman pada pasir di otakku.
‘(Ini
hanya mimpi) x 1000[1]’
pendapat begitu kompak menjawab: ‘(ini sedang terjadi, bangunlah!) x 10000[2]’
Kini, kucoba kuhubungankan antara
pandangan mataku dan pasir di otakku.
Kini kusadari kami sampai di
sebuah mega sangkar. Ini pasti semacam hutan buatan yang sering diceritakan
Yusuf. Hutan hujan tropis yang lebat, rimbun, dan berasap. Kenapa pak Jan
membawaku lari ke hutan yang berasap
ini? kebakaran Hutankah ini?
Lalu Kusadari hutan ini dalam
keadaan kacau. Asap merayapi udara.
Terdengar jeritan dari berbagai macam suara. Pepohonan yang
bergoyang-goyang menahan loncatan primatan dari dahan ke dahan.
“Pegang yang erat, hati-hati kita akan ke atas...” pak Jan menarik
tanganku. Sementara aku mulai terengah. Perutku tegang. Apa pak Jan lupa aku
dalam keadaan hamil? Kenapa dia menyuruhku memanjat?
Baru beberapa cabang pohon kami
lalui ketika dentuman terdengar tak jauh dari kami. Suara sirine, alarm tanda
bahaya meraung-raung menambah kalut suasana. Samar kedengar derum mesin
helikopter menambah bingungku. Ya, kami harus naik ke atas, helicopter itu
pasti menjemput kami. Bagaimana pak Jan mengaturnya?
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar