PUTRI. 23
PREMATUR
“Kembar?” kini aku benar-benar
bangun. Mataku membuka lebar, tak memedulikan ruang periksa yang menyilaukan.
“Qon?
Kau baik-baik saja?” pak Jan sepertinya lebih kaget melihat aku bangun
dibanding kabar bayi kembarku.
“Oh,
yayaya... bagaimana keadaannya, dokter?” tanyaku langsung pada dokternya.
“Oh,
sehat nona... sangat sehat...”
“Apa
dia normal?” tanyaku melirik monitornya.
Kurasakan Jantungku berdenyut lebih
tegas.
“Sempurna!”
si dokter tersenyum. Aku melihat wajah
pak Jan tak kalah sumringahnya. Ah, kenapa dia menjadi sebahagia itu, atas
keadaan anak ini, padahal beberapa waktu lalu, dia selalu memberi saran,
ceramah, bahkan hasutan agar aku segera menggugurkan bayi dalam kandunganku.
“Tak
ada hal yang perlu kau cemaskan, selain kecemasanmu sendiri.” Kata si dokter.
“Terima
kasih, dokter. “ aku menengok ke arah dokternya. Seorang tua, dengan kisaran
umur 50-an. Kecerdasan nampak menyinari mata pada wajahnya yang putih bersih.
“Dokter...?”
aku mencoba menanyakan namanya. Mataku merayap turun ke sakunya di mana
biasanya tertera nama si dokter. Tapi disana tidak tertera namanya. Disakunya
hanya ada beberapa pena canggih yang dapat membantu dokter melakukan diagnosa
instan semacam alat pembaca iris mata pasien, suhu, kadar senyawa tertentu melalui keringat, jika ada.
“Rut.”
Katanya singkat, dihiasi senyuman hangat.
“Eeeerrr...Rrrut?”
tanyaku gemetar. Aku tak kan
salah, nama itu begitu rajin diketik berulangkali oleh Yusuf dalam
jurnal-jurnal atau buku hariannya! Iniiikkkaaaahhhh ssssaaaahhhaaaabbbaaatt
Yusuf dari hutan buatan itu? Atau ini hanya kebetulan?
Benarkah
dia adalah sahabat Yusuf? Itu menurut Yusuf! Bagiku, manusia macam inilah
penjahat intelektual sesuangguhnya! Dialah seriga berbulu domba. Kini aku
menjadi gemetar. Tapi benarkah ini
dokter Rut yang itu?
“Kenapa
Qon...?” tanya pak Jan.
Aku
menggeleng bingung, senyum masgul, ‘kenapa
bapak membawaku ke sini? Kenapa bapak membawaku ke dokter Rut bukan yang lain?
Apa hubungan bapak dengan dokter Rut?!’ ingin sekali kutanyakan semua itu.
Untung
saja aku mampu menelannya. Pasir di otakku riuh panik atas keanehan.
Aku
tak mampu menjawab, hanya menatap takjub seseorang yang didewa-dewakan oleh
Yusuf, dijaman kegelapannya. Mendadak perutku kontraksi lagi.
“Apa?
Sakit lagi?”tanya pak Jan bingung.
“Oh,
jangan biarkan lahir... ini belum waktunya...” aku meremas seprai dibawahku,
menahan sakit.
“Nona...
mungkin mereka akan lahir prematur...”
Si dokter melirik monitor.
Pasir
di otakku riuh berisik berteriak-teriak menyebutkan resiko-resiko bayi lahir
prematur yang disebabkan karena pembentukan organ penopang hidupnya belum
sempurna.
Aku
akan melahirkan prematur, pada usia kehamilan belum genap 7 bulan! Jadi bayi kembar ini mungkin saja cacat, tanpa seorang ayah pula.
Tanpa siapapun. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kurasakan pasir diotakku
berhamburan tak karuan.
“Tenang
Qon! Tenanglah...” pak Jan menggenggam tanganku.
“Jan,
sebaiknya kita bicara!” dokter Rut menarik tangan pak Jan setengah memaksa.
Aku
ingin sekali mendengar apa yang mereka bicara. Apa yang mereka
rencanakan? Pak Jan? ada dipihak manakah dirimu?
“Haiiiii! Bukankah aku yang
hamil? Bukan aku yang akan melahirkan? Kenapa kalian ribut, seolah bayi
kembar ini adalah hak kalian untuk
memtuskan apapun terhadapnya.”
“Haiiii?!!!”
Tapi
sepertinya mereka tak mendengarku, mungkin karena dinding ruangan ini dilapisi
peredam suara, mengingat ruang bersalin merupakan ruang yang dianjurkan
dilapisi peredam suara. Karena teriakan para wanita menahan atau melepaskan
sakitnya menjelang proses kelahiran. Teriakan mereka dipercaya mempengaruhi
kondisi psikis siapa saja yang mendengarnya.
Haha!
Miris sekali, di sini, di tempat secanggih ini, penderitaan wanita dalam
melahirkan dirahasiakan, sementara di klinik-klinik relawan, wanita melahirkan
bebas saja meneriakan apapun saat melahir. Dengan takbir, dengan zikir atau
dengan mengabsen binatang dalam sumpah serapah Mereka. Sama saja. Dengan
berbagai kondisi, populasi manusia tetap bertambah, dan menyesaki bumi.
Setelah
berulang kali memanggil pak Jan dan dokter Rut, kini bibirku kelu, sakitnya
membuatku lemah. Hanya ada suara erangan
dalam mulutku.
Sepertinya sebagian pasir diotakku kusut di bagian bahasa.
Sementara pasir yang lain gemuruh menyanyikan paduan suara menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan
Yusuf!:
‘dokter Rut! Dokter Rut! Yusuf ingin dokter
Rut! Selalu hanya dokter Rut yang Yusuf rindukan’
Tapi
kemudian pasir di otakku kehilangan nada dan
syair. Lalu diganti dengan keluh kesah Yusuf dimasa peralihan. Aku tak
menyangka pasir di otakku cukup rapih menyimpan cerita tentang Yusuf.
‘Kenapa dokter Rut tak mencari Yusuf? Apakah
dokter Rut bahagia, karena Yusuf menemukan kebebasan. Tapi Yusuf
yakin, dokter Rut akan lebih
bahagia lagi jika menyadari bahwa Yusuf
mengalami revolusi kemampuan. Loncatan intelektual yang tak seorangpun
menyangkanya.’
Pasir
di otakku mulai terengah, tak sabar mengulang semua cerita yang aku baca dari
file jurnal Yusuf selama beberapa hari ini. Tentu saja, aku berusaha memahami
apa yang Yusuf tulis. Walau kebanyakan
aku tidak memahami. Aku hanya mencoba melakukan pendekatan-pendekatan sederhana
saja, agar pasir di otakku tidak terlalu sengsara memikirkannya.
‘Hari ini Yusuf menemukan jurnal sains
dokter Rut, Dokter Rut telah menemukan
sebuah cara, hingga otak Yusuf dapat
berkembang dan bekerja secara alami, dapat belajar beradaptasi dimanapun Yusuf
berada. Mereka merekayasa sebuah gen penentu. Kalau tak salah gen itu Sebuah peta protein yang menghasilkan senyawa
kimia bertindak sebagaii biokatalisator bagi reaksi kimia di otak sehingga otak
mampu melakukan analisa dan pengambilan keputusan secara akurat.’
Pasir
di otakku lelah. Aku bingung, sebenarnya apa yang aku inginkan dari segala
ingatan itu? Pasir diotakku riuh berebut
menjawabnya.
‘jika demikian, apa tujuan dokter Rut
menyimpan Yusuf di hutan buatan? Karena
wujud Yusuf seperti binatang?’
‘Oh, ya! Dia menyimpan Yusuf untuk tujuan yang lebih besar! Dia
menginginkan DNA Yusuf yang separuhnya ia rancang? Mengawinkannya dengan ‘sel
telur pilihan?’ Apakah Mungkin akan
didapat individu yang diharapkannya?’
‘Bukankan perkawinan membuat
kromosom berpasangan secara acak?’
‘Salah, mereka telah melakukan
pemilihan!’
‘hah?’
‘yah seperti kontes super idol! Gen
Mana kira-kira yang merupakan unggulan!’
‘itu artinya, dokter Rut
memberlakukan Yusuf seperti kelinci percobaan’
‘oh baru tahu? Bukankah Yusuf sudah mentafakurinya selama berada di hutan
buatan!’
‘Dokter Rut itu jadi malaikat
penolong Yusuf? Atau pencipta Yusuf? Atau siapun ia yang bisa tiba-tiba
berwujud sebagai algojo!’
‘Bukan! Dokter Rut cuma Ilmuwan,
orang lainlah yang memiliki niat iblis dibaliknya.’
‘’Niat iblis? Hahaha, dengar, bahkan
iblispun memiliki niat’
‘Bagian mana yang kau sebut niat
iblis itu?’
‘bahwa dia ambil bagian dalam
rencana besar, inokulasi buatan pada seorang gadis, dengan sel telur dari trah
yang hebat! Sel telur dari silsilah bernenek moyang, bernenek kakek, berpaman,
keluarga orang-orang terpilih. Keluarga para super’
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar