Kamis, 29 September 2016

TELELOVE 71

PUTRI. 23


PREMATUR



Oh, Tuhan! Segala perkataannya tiba-tiba saja menjadi masuk akal dan masuk hati. Lalu kurasakan perutku kontraksi, pasti karena aku tadi terlalu bertenaga memukulinya.
            “Qon...?” pak Jan memandangiku dengan cemas, pasti karena kerutan wajahku yang menahan sakit.
            “Menjadi parasut untuk menyelamatkan aku?” Perutku begitu nyeri. Pasti ada yang salah dengan dialog ini.
            “Ya.” Jawab pak Jan yakin, aku bahkan bisa melihat keyakinan  itu pada tatapan matanya.
            “Aku tidak perlu parasut, aku punya telpon genggam!”                                                                      
            “Qon?” matanya meredup, bingung, dan kecewa.
            Tuhan, semoga jawaban ini benar untukku. Aku tak ingin sebuah pernikahan hanya karena aku mengandung anak tak jelas. Aku tak ingin belas kasihan siapapun.
            “Apa maksudmu?” pak Jan pasti mengerti apa maksud jawabanku, karena dia adalah seorang bijak, dewasa, dan cerdas.
            “Maaf pak, Aku bisa memanggil siapapun untuk menolongku.”
            “Qon...” tatapannya patah.
            Pasir diotakku yang sejenak hening, perlahan bergerak sendu. Mereka mengantarkan  rasa ngilu. Anehnya, perutku yang semula kontraksi, seolah bayiku yang tadi turut  marah dan memeras uterusku, kini tenang.
            “Kau tidak perlu terburu menjawabnya, Qon. Mungkin kau masih bingung.” Pak Jan si pria dewasa yang patah, dengan cepat meraih ketenangannya kembali.
“Perutku...” aku mencoba melepaskan tangaku dari pegangan tangan pak Jan. Oh Tuhan! Syetan nomor berapakah yang berhasil membuatku lupa? Berpegangan tangan dengan bukan muhrim, dalam waktu yang lama, dengan tatapan yang dalam. Dan jarak kami yang sedekat ini.
Ding-dong!
Tapi kini aku tak mampu untuk tersipu malu lagi. Rasa ‘jatuh cinta’ itu secara ajaib, benar-benar lenyap. Pasti karena Tuhan telah mengabulkan permintaanku, agar aku tidak jatuh cinta dengan orang yang salah. Sekalipun sesempurna pak Jan. Aku selalu ingat isi doaku yang kulantunkan jika aku jatuh cinta:
‘Tuhan, jauhkan ia bila ia bukan jodohku.’
Kupikir aku harus mengganti redaksi doanya, karena ternyata aku serumah dengan orang yang –dulu- aku jatuh cinta padanya. Jadi doaku seperti ini.
‘Tuhan, jauhkan hatiku, bila ia bukan jodohku.’
Hari ini aku merasakan Tuhan telah menuntun jawabanku. Sekalipun aku masih bingung. Setidaknya aku telah mampu mengatakan ‘tidak’. Sekalipun keadaanku serba terhimpit. Tentu saja pertimbanganku yang pertama dan terpenting adalah karena dia bukan seorang muslim.
Karena pak Jan seorang agnostik, aku sudah memutuskan untuk membatalkan jatuh cintaku.
Pak Jan memandangku khawatir. Tentu saja dia tidak tahu, bahwa sakit perutku telah lewat beberapa detik lalu.
“Dia pasti mendengar pertengkaran kita.” Aku mencoba tersenyum.
            “Tidak, dia pasti melompat gembira mendengar lamaranku.” Pak Jan tersenyum semringah. Tangannya begitu berani membelai perutku. Seolah dialah ayah bayiku yang diliputi kebahagiaan. Tentu saja aku spontan menolak kehadiran tangannya di perutku. Sejenak dia kaget, tapi lalu mengerti, tangannya lepas pasrah.
            Perutku mengecang lagi, pasti karena sentuhan tangannya. Nyerinya membuatku spontan mengerang.
            “Sakitkah?” pak Jan semakin cemas. Aku menahannya dengan isyarat agar ia rtidak mendekatiku. “Pak, menjauhlah, bisa saja  Wanda tiba-tiba muncul dan curiga.”
            “Lalu kenapa? Bukankah kita akan menikah?”
            Oh Tuhan! Apa tadi jawabanku belum jelas?
            Bayiku memeras uterusku lagi. Apa dia marah? Atau dia senang? Dengan semua yang aku alami ini.
            Tuhan kuatkan aku!

***


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: