PUTRI. 23
PREMATUR
PREMATUR
Oh, Tuhan! Segala perkataannya
tiba-tiba saja menjadi masuk akal dan masuk hati. Lalu kurasakan perutku
kontraksi, pasti karena aku tadi terlalu bertenaga memukulinya.
“Qon...?”
pak Jan memandangiku dengan cemas, pasti karena kerutan wajahku yang menahan
sakit.
“Menjadi
parasut untuk menyelamatkan aku?” Perutku begitu nyeri. Pasti ada yang salah
dengan dialog ini.
“Ya.”
Jawab pak Jan yakin, aku bahkan bisa melihat keyakinan itu pada tatapan matanya.
“Aku
tidak perlu parasut, aku punya telpon genggam!”
“Qon?”
matanya meredup, bingung, dan kecewa.
Tuhan,
semoga jawaban ini benar untukku. Aku tak ingin sebuah pernikahan hanya karena
aku mengandung anak tak jelas. Aku tak ingin belas kasihan siapapun.
“Apa
maksudmu?” pak Jan pasti mengerti apa maksud jawabanku, karena dia adalah
seorang bijak, dewasa, dan cerdas.
“Maaf
pak, Aku bisa memanggil siapapun untuk menolongku.”
“Qon...”
tatapannya patah.
Pasir
diotakku yang sejenak hening, perlahan bergerak sendu. Mereka mengantarkan rasa ngilu. Anehnya, perutku yang semula
kontraksi, seolah bayiku yang tadi turut
marah dan memeras uterusku, kini tenang.
“Kau
tidak perlu terburu menjawabnya, Qon. Mungkin kau masih bingung.” Pak Jan si
pria dewasa yang patah, dengan cepat meraih ketenangannya kembali.
“Perutku...” aku mencoba
melepaskan tangaku dari pegangan tangan pak Jan. Oh Tuhan! Syetan nomor
berapakah yang berhasil membuatku lupa? Berpegangan tangan dengan bukan muhrim,
dalam waktu yang lama, dengan tatapan yang dalam. Dan jarak kami yang sedekat
ini.
Ding-dong!
Tapi kini aku tak mampu untuk
tersipu malu lagi. Rasa ‘jatuh cinta’ itu secara ajaib, benar-benar lenyap.
Pasti karena Tuhan telah mengabulkan permintaanku, agar aku tidak jatuh cinta
dengan orang yang salah. Sekalipun sesempurna pak Jan. Aku selalu ingat isi
doaku yang kulantunkan jika aku jatuh cinta:
‘Tuhan,
jauhkan ia bila ia bukan jodohku.’
Kupikir aku harus mengganti
redaksi doanya, karena ternyata aku serumah dengan orang yang –dulu- aku jatuh
cinta padanya. Jadi doaku seperti ini.
‘Tuhan,
jauhkan hatiku, bila ia bukan jodohku.’
Hari ini aku merasakan Tuhan
telah menuntun jawabanku. Sekalipun aku masih bingung. Setidaknya aku telah
mampu mengatakan ‘tidak’. Sekalipun
keadaanku serba terhimpit. Tentu saja pertimbanganku yang pertama dan
terpenting adalah karena dia bukan seorang muslim.
Karena pak Jan seorang agnostik,
aku sudah memutuskan untuk membatalkan jatuh cintaku.
Pak Jan memandangku khawatir.
Tentu saja dia tidak tahu, bahwa sakit perutku telah lewat beberapa detik lalu.
“Dia pasti mendengar pertengkaran
kita.” Aku mencoba tersenyum.
“Tidak,
dia pasti melompat gembira mendengar lamaranku.” Pak Jan tersenyum semringah.
Tangannya begitu berani membelai perutku. Seolah dialah ayah bayiku yang
diliputi kebahagiaan. Tentu saja aku spontan menolak kehadiran tangannya di
perutku. Sejenak dia kaget, tapi lalu mengerti, tangannya lepas pasrah.
Perutku
mengecang lagi, pasti karena sentuhan tangannya. Nyerinya membuatku spontan
mengerang.
“Sakitkah?”
pak Jan semakin cemas. Aku menahannya dengan isyarat agar ia rtidak
mendekatiku. “Pak, menjauhlah, bisa saja
Wanda tiba-tiba muncul dan curiga.”
“Lalu
kenapa? Bukankah kita akan menikah?”
Oh
Tuhan! Apa tadi jawabanku belum jelas?
Bayiku
memeras uterusku lagi. Apa dia marah? Atau dia senang? Dengan semua yang aku
alami ini.
Tuhan
kuatkan aku!
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar