PUTRI.
21
DURI DALAM IKAN
Kepercayaan dan penghianatan
Keduanya ada dalam sekeping coin
Aku tertegun menatap iklanku kali
ini. Aku bisa melihat suasana rumah ibu Ratija lewat layar TV, hal ini
membuatku membucah. Kangenku menggelegak melihat ke sembilan adikku
berseliweran di tempat yang sempit.
Lalu
aku melihat Rahim menangis, Dia baru bangun tidur rupanya. Aku lihat Rahim
diambil dan dipangku oleh kameramannya?
Oh kameramannya seorang wanita? Dia mengeluarkan payudaranya? Lalu terdengar
musik terapis bersenandung. Rahim begitu nyaman menetek. Tangannya yang satu
mempermainkan tangan penggendongnya.
Oh,
tangan kiri menggendong Rahim, tangan kanan bermain-main dengan tangannya.
Kameranya di mana?
OH!
Gila! Berarti kameranya ada di mata-nya! Si Android berASI palsu itu!
“Kak Yusuf!”
Kulihat di layar TV, Dinda menjerit dan langsung meloncat minta
digendong Yusuf. Padahal yang dipanggilnya itu sedang menggendong Ilalang di punggungnya.
Yusuf!
Ada di iklan –reality Show- ini! Iklan yang tayang
serempak di berbagai TV di Indonesia. Jadi saat ini, sebagian penduduk Indonesia ,
bahkan dunia, bisa menyaksikan keberadaannya di tempat persembunyiannya.
Yusuf
nampak tanpa ragu menghujani Dinda dengan ciuman, hingga Dinda terkikik-kikik.
Yusuf!
Deg! Jantungku seolah berhenti berdenyut.
Pouse! Pouse! Pasir di otakku ribut
memberi komando seolah aku ada di ruang
editor atau pengarah acara. Tapi aku
tidak bisa. Aku cuma penonton, di
sini.
Tayangan
itu menggambarkan rumah yatim yang dipenuhi mahluk lucu, manis, hangat, nampak
seperti rumah yang serba sehat, jiwa-raga penghuninya.
Tayangan iklan-reality show berhenti. Diganti
dengan tayangan yang lain. Meninggalkan
ketegangan diruang santai ini. Kami, aku, pak Jan, Wanda, terdiam.
Aku dan Wanda bertatapan kaku.
Seolah pasir diotakku berhasil melakukan pengiriman pesan kepada semua neuron
atau saraf yang ada di dalam otaknya Wanda:
HALLOWHH PEMIRSA BUMI ...
KAU TELAH SAKSIKAN SEMUA RAHASIA
KAMI!
OH TUHAN!
DUNIA MELIHATNYA SEMUA!
Bayangan
Yusuf seolah masih ada di sana .
Lelaki itu begitu tinggi atletis, hangat, kebapaan… sekaligus mengerikan!
Tuhan, tangan siapa yanga membuat wajah dan kulitnya seburuk itu?
Perutku
mengecang. Pasti karena aku terkejut, dan jiwaku tiba-tiba terbangun.
“Ba…
bagaimana ini? Kini orang-orang akan menangkap ibu Ratija karena masalah
menyembunyikan penduduk illegal?” Wanda memecah keheningan.
“Qon?”
samar aku mendengar suara pak Jan. dia tak mempedulikan berondongan kata-kata
dari mulut Wanda yang mengomentari iklan ini.
“Qon?”
Pak Jan nampak mencemaskanku. Aku
cepat-cepat membuka kepalan tanganku, memberi tanda bahwa aku tidak apa-apa.
Mulutku tak mampu bicara. Tapi aku bisa merasakan getaran kesal di
tenggorokanku yang tersumbat. Sial!
Aku
berdiri, dan masuk ke kamar. Aku benar-benar butuh sendiri untuk mencerna apa
yang baru saja aku lihat.
“Pak
Jan bagaimana pendapat bapak? Kurasa penjualan Android itu akan meningkat
langsung. Coba lihat ini! aku langsung telusuri indeks penjualannya…”
Dari
kamarku, Kudengar Wanda nyerocos mengobral kecerdasannya membaca situasi.
Bip!
Pesan masuk di telpon genggamku.
Pak Jan : Kau baik2 saja? Cepat Jawab!
Aku
tahu, jika tak ada Wanda, pak Jan pasti memperlihatkan kecemasannya. Jadi aku
cepat menjawabnya: Y, jng khawatir.
“Qon…
kau tidak apa-apa kan ?”
tiba-tiba Wanda masuk kamar tanpa mengetuk pintu. Kulirik ke arah luar, nampak
pak Jan berdiri mencuri pandang kedalam kamar ini.
“Aku
hanya kaget Wanda. Bisa kau biarkan aku sendiri?” kudorong tubuhnya ke luar
kamar. Sementara aku menahan serangan mual yang datanganya tiba-tiba.
Yusuf! Yusuf! Namanya seperti bergema di
kepalaku.
Muntahku
cuma cairan. Muntahku terasa pahit, pasti kepahitan empedu terbawa disana.
Kepahitan hidupku. Pasir di otakku berderu-deru, kalut berpikir. Kugenggam tasbihku. Tuhanku,
lindungi kami semua..
“Tenang
pak, Qonita itu sangat beriman, dia
tak kan bunuh
diri gara-gara ibu Ratija ketahuan menyembunyikan seorang manusia buatan yang buron.”
Celoteh Wanda membuatku terkejut kecut. Wanda itu cerdas atau tolol?
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar