PUTRI. 23
PREMATUR
Jadi Wanda dengan sikapnya yang
biasa itu. Biasa tebar pesona, biasa banyak lagak, Biasa centil, jatuh cinta berat pada pak Jan. Dia
menderitaan kebutaan. Namanya buta cinta. Cinta butanya telah membuatnya lupa dari mana dia berasal.
Tak heran bila Maya melayangkan tinju
padanya karena sifat ‘biasa’ berlagaknya
ini.
Sementara
aku bingung dan marah harus memperlakukan pak Jan seperti apa. Di satu sisi aku
bergantung atas perlindungannya, di sisi lain aku begitu marah, kesal, jengkel
mengetahui bahwa pak Jan –bisa saja- selama ini mengamatiku saat dia tidak ada
bersama kami. Aku sangat berharap, bahwa kesibukannya akan mengubur segala
kejahilannya dalam memata-mataiku.
Kuhela
nafasku panjang. Kucoba tenang. Kuatur gemuruh marah, malu, kesal, yang membuat
kacau semua pasir di otakku. Kutenangkan
diriku di depan cermin.
Tenanglah! Aku adalah orang yang tidak
berkelas, aku pesek, aku nonong, aku
kuno, aku hitam, aku tidak seksi, bahkan fisikku yang kecil, gagal berkembang,
entah karena genetis, atau kurang gizi.
Menurutku nilaiku adalah minus 3 dari skala keseksian 1-10. Tak ada sesentipun
dari diriku yang dapat menarik hatinya, yang dapat membangkitkan gairah
kejantanannya. Cukup?
Dari
cermin aku melirik ke arah pak Jan yang sedang bekerja di balik laptopnya.
Ternyata dia sedang menatapku! Ya Tuhan.
Kualihkan pandanganku pada Wanda
yang –biasa berlagak- ‘tertidur’ di sofa
depannya, tentu saja dengan baju tidur yang seadanya. Itu adalah baju tidur
Maya yang tertinggal di loundry apartemen ini.
Aku
coba melirik lagi pada pak Jan, dan dia masih menatapku. Bukan melihat Wanda
dengan pose yang menggiurkan itu. Apa benar pak Jan tipe pria yang bisa menjaga
kehormatanya? Tapi kemudian aku melihat dia berjalan mendekati Wanda. Lalu
membungkuk, wajahnya begitu dekat dengan Wanda. Ah! Si Wanda pasti bersorak
dalam hati. Pak Jan mau mencium Wanda?
Hah? Apa dia lupa bahwa aku ada di depannya? Atau dia sengaja melakukannya?
Untuk apa?
“Dia
benar-benar tidur.” Pak Jan menunjukan aliran air liur Wanda kepadaku. Wajah
pak Jajan berkerucut, memberi isyarat jijik.
Oh
Wanda! Aku tak tahu harus tertawa atau prihatin. Aku bergegas mengambilkan
selimutnya dari dalam kamar, lalu menyelimutinya.
“Aku
perlu bicara padamu.” Pak Jan memberi isyarat padaku untuk ke balkon. Dia tentu
menjaga agar Wanda tak dapat mendengar percakapan kami.
Tanganku
mengepal keras. ‘Aku perlu meninjumu.’
Seandainya aku bisa menyuarakan jerit pasir di otakku.
Lama
kami saling diam. Memandang pemandangan kota
yang suram dari balkon mewah kami. Tak ada yang istimewa. Cuma gebyar tampilan-tampilan iklan tiga dimensi yang sesak sibuk membuat
dirinya lebih istimewa dibanding dengan iklan disampingnya.
Gelora
kemewahan yang dipajang itu menghianati kehidupan gembel dibawahnya.
“Lihat
orang gila itu!” pak Jan menujuknya. Aku hanya menggangguk.
‘Qonita! Dia sedang mengalihkan dendammu!
Waspadalah! Aku ingin kau meninjunya, bahkan kalau mungkin, mendorongnya dari
lantai ini!’
‘Ingat, mungkin dia mengintipmu
waktu kau berenang di jam khusus itu!’
Pasir
di otakku riuh seperti di ruang sidang parlemen saat dengar pendapat perlu
tidaknya harganya BBM dinaikan.
“Dulu sering kali aku ingin
tertawa seperti mereka, lepas dari penderitaan dunia.” Pak Jan memulai
percakapannya.
“Kenapa? Kelihatannya kehidupan
bapak sangat baik.”
Pak Jan menggeleng. “Dulu saya
tidak pernah bisa tertawa lepas, Qon.”
“Bagian hidup bapak yang mana yang bapak sebut
menderita? Hingga tak bisa tertawa?”
“Sebelum aku mengenalmu.”
Lalu senyap. Mungkin dia
mendengar bunyi ‘glek’ saat aku menelan ludah.
‘Awas
Qon! Dia merayumu! ‘
‘Setelah
melihat gambar-gambar *pornomu* hasrat lelakinya bangkit, bukan karena kau
seksi, tapi karena kau kecil, seperti anak-anak!’
‘Ya,
bisa saja dia seorang pedofilia! Dan kebanyakan dari mereka, melakukan hal
sadis terhadap korbannya!’
Dengar! Pasir di otakku riuh
memperingatkanku, menakut-nakutiku, sambil menghinaku! Ya, karena pak Jan tidak normal, dia mungkin tertarik padaku.
“Maksud bapak, saya seperti
badut?”
“Kadang- kadang.” Dia menengok
kearahku, dan tersenyum. Sungguh menawan.
“Tapi seringkali sejak kau ada,
aku bisa tertawa lepas seperti orang itu. Orang gila yang melepas tawa tanpa
jiwanya dengan bebas.”
“Pasti kepahitan hiduplah yang
membuat Allah membebaskan dirinya dari penderitaan dengan kegilaan seperti
itu.” aku mencoba mengalihkan
pembiacaraan yang mulai membuat aku kacau.
“Sedang kau mengembalikan
manisnya kehidupan kepadaku.” Katanya
sambil menatapku. Dia benar-benar berhasil membuatku salah tingkah.
Aku bingung, harus meninjunya
atau menjadi tersipu malu dengan rayuannya. Akibatnya adalah perutku yang
mengeras. Kuraba janinku.
“bagaimana perutmu?” pak Jan
terlihat sedikit cemas, seperti biasanya..
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar