PANGERAN. 22
KEMBALI KE ASAL
Para
Primata buatan berteriak-teriak panik.
Meloncat-loncat dari pohon satu ke pohon yang lain mencari tempat yang
tertinggi, setinggi mungkin. Mereka pasti berpikir para Homo sapiens itu tak akan
dapat mengejar mereka.
Para Primata buatan semakin menjerit panic. Pucuk-pucuk pohon
berderak-derak menopang goncangan tubuh mereka.
KEMBALI KE ASAL
Di layar telpon genggamku yang
kecil ini aku bisa membuat tampilan tiga dimensi lengkap dengan perbesarannya.
Aku hanya tinggal berharap bahwa tak akan ada orang mematikan listriknya. Karena
penyerentaku sudah lama tak aku isi energinya.
Aku
mulai menggeser-geser peta kota
ini, lebih kecil, hingga gambar tiga dimensi gedung Bio-GO ini. Beberapa gedung
aku tak mengenalnya. Tapi gedung beratap kubah yang transparan itu.
Lebih
besar lagi.
Lebih besar lagi.
Aku melakukan perbesaran untuk
sebuah gambar: sebuah tempat dimana aku dulu menghabiskan waktuku dengan
sia-sia. Aku di sana hanya untuk
berjemur, mengelupas, makan, pokoknya segala kegiatan ‘normal’ seorang manusia buatan ‘abnormal’.
Hutan Buatan!
Dari
proyeksi penyerenta mungilku aku bisa melihat ke dalamnya walau samar. Hutan
itu, apa yang berubah? Semakin lebat? Ya terakhir aku ada di sana , silmulasi baru telah mereka lakukan,
dengan memasukan manusia buatan Karnivora, dan menumbuhkan rumput gajah,
membiarkannya begitu saja.
Aku
menangkap Ada
gerakan di gambarku. Oh apa itu? Di sela belukar vegetasi hutan hujan,
sekelompok orang nampak berjalan
mengendap-endap. Ada
yang aneh dari penampilan para peneliti itu. Kali ini mereka menggunakan helm,
kacamata pelindung yang canggih yang tergabung dengan head seat yang merupakan alat komunikasi.
Kukira, kacamata itu juga bekerja disesuaikan dengan kemampuan mata pemakainya.
Aku pernah melihat iklan tentang
kacamata ini. Kaca mata itu bisa
melakukan zoom, dan pencarian berdasarkan panas tubuh mahluk yang lain
sekaligus, hingga estimasi jarak dengan objek.
Luar biasa.
Senjata yang mereka bawa bukan
seperti senjata berpeluru jarum suntik lengkap dengan biusnya. Senjata itu
nampak seperti senjata sungguhan. Sementara yang lain membawa alat panah,
layaknya alat panah yang digunakan para atlet
pemanah.
Wajah
mereka nampak tegang. Apakah mereka para pegawai baru? Nampaknya mereka bukan
orang-orang yang bekerja disana. Mereka bukan para penembak jitu yang tugasnya
mengambil kami untuk diperiksa di ruang laboratorium. Kucoba mencari cara untuk
mendengar apa yang terjadi.
“roger... roger... objek arah jam
sembilan... ganti.”
“Ya, aku melihatnya...”
Aku bisa mendengar suara mereka! Aku melihat
arah yang mereka maksud.
Sekelompok para carnivora. Oh?
Oh!
Mereka
pasti para pemburu. Aku coba menghitungnya. Ada sepuluh orang yang terbagi dalam tiga
kelompok. Sepuluh pemburu untuk luas hutan buatan yang 100 hektar, dengan
populasi buruan... tentu saja aku tak tahu berapa jumlahnya. Tapi dengan gambaran hutan buatan yang dibuat
sealami mungkin. Seharusnya populasi
disana dalam keseimbangan. Dalam neraca ekologi yang sehat. Perburuan baru dilakukan untuk mengkontrol populasi.
Jadi,
mungkin, mereka diturunkan disana sebagai ‘pengontrol’
populasi hewan tertentu? Hewan apa?
Kuakui
ini adalah ide cerdas para ilmuwan itu. Untuk menutupi kerugian ujicoba yang
gagal, operasional pemeliharaan yang mahal, gaji para ilmuwan yang tinggi,
mereka jadikan hutan buatan itu menjadi kawasan perburuan!
Aku
pastikan, kegiatan ini pasti ilegal! Mengingat, hutan buatan ini adalah tempat
buangan spesimen gagal. Menurut prosedur seharusnya mereka membunuh para mutan
dan mansis yang abnormal ini. Tapi mereka malah menyembunyikannya di sini.
Kau
tahu, setelah aku pandai dan menelusurinya, ternyata keberadaan kami
dipertahankan karena kami bisa menjadi ‘industri
mahluk hidup’ yang menjanjikan.
Kini aku melihatnya sendiri. Hutan Buatanku yang damai tentram itu
telah menjadi arena uji nyali para manusia gila yang haus hiburan.
Mereka
pasti orang-orang sombong yang menempatkan diri diatas para penggemar olahraga pengundang adrenalin semacam arum
jeram, panjat gedung, pendaki puncak everest di musim dingin, para penyelam di
kutub, para penjelajah perut bumi.
Hanya karena melakukan ini dengan
ilegal dan pasti biaya mahal. Selain itu, mereka pasti terayu oleh iklan
gombal:
*menyumbang,
demi ilmu pengetahuan*
Coba
lihat cara mereka menaiki pohon Trambesi besar itu! Tanpa ragu mereka
menancapkan alat-alat panjat tebing seolah mereka memanjat batu yang tak
bernyawa.
Lalu
dari atas sana ,
mereka membidikan senapannya ke arah gerombolan Carnivora yang sedang berjalan
jalan santai.
Tap!
Seekor karnivora buatan [1]jatuh,
dia nampak mengeram, lalu kejang,
teman-temannya menghentikan langkah dan mengelilinginya. Seekor betina carnivore mengendus-endusnya. Lalu
mulai menguik, mendesah, kawanan itu lalu diam, menunduk, sebagian lagi
terduduk nampak shock.
Saat mereka saling mendekat dalam
kerumunan itu, tiba-tiba jasad carnivore yang tertembak itu meledak.
Memuncratkan darah kesegala arah. Bukan cuma darahnya memuncrat, tapi juga
darah para teman-teman segerombolannya.
Teman-teman carnivore itu telah
ikut dalam perjalanan ke alam kematian.
“Oleeeeeeeeee!” terdengar teriakan pemburu yang
berhasil menembak jitu. Disahuti oleh “Oleeeee…”’ dari pemburu lain di arah
lain di tempat lain dalam hutan buatan.
Tak lama dari ledakan pertama, terdengar
ledakan ke dua, di arah lain.
Lalu terdengar teriakan pemburu,”Oleeeeeeeee!”
Disahuti, “Oleeeee!” lagi oleh pemburu yang lain. Dan lagi.
Karena Homo sapiens adalah mahluk
yang berjalan tegak di atas tanah, sedang primata
buatan ini mahluk arboreal. Pohon adalah wilayah kekuasaan mereka.
Mereka duga begitu? Mereka pasti
salah!
Tap!
Tembakan sunyi itu memecahkan
hipotesa para Primata buatan.
“Oleeeeee…!” teriak pemburu lain.
Disahuti oleh “Oleee…!” dari yang
lain.
Hutan Buatan yang semula dipenuhi
irama nyanyian alam, kini begitu ribut tanpa irama.
***
[1] Aku sebut saja semua jenis mahluk dalam Hutan
Buatan sebagai mahluk buatan, karena
semua yang ada disana bukan ‘mahluk sesungguhnya’ yang diciptakan oleh Sang
Pencipta.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar