PANGERAN.
22
KEMBALI KE ASAL
Hanya jiwa pasrahlah yang dapat merdeka dari segala
penderitaan.
Mahatma Gandhi
Di atas gerbong kereta yang
melaju cepat, lemaslah aku ditebing takdirku. Terkapar lunglai setelah kejang
karena emosi jiwaku memaksa kulitku meluruh. Lalu hujan asam turun mengguyur
tubuhku. Kecepatan kereta yang 100km/jam membuat air hujan yang menabrak tubuhku
terasa seperti hujan jarum yang turun
dari neraka. Tajam, keras, asam,
menambah kesengsaraan.
Aku
masih setia menempelkan head set di telingaku. Berharap telpon
genggamku menangkap sinyal. Berharap aku
bisa mendengar suara Qonita lagi. Aku seperti manusia bodoh, tentu saja aku
tahu jarak dan perbukitan yang
memisahkan kami membuat kami kehilangan sinyal.
“Aku
akan mencari gadis yang mengandung anakku, Qonita.” Aku menjawab kesunyian
diseberang sana .
Aku telah pandai melakukan rekayasa persepsi sehingga bisa melupakan luka dan
sakit proses mengelupasku.
“Aku
harus menemukannya. Menyelamatkannya dari tangan-tangan ilmuwan, agar dia tak
melalui saat-saat penderitaan dan kebodohan sepertiku.”
“Aku
harus mencari gadis itu, untuk sekedar meringankan penderitaannya.”
“Aku
harus dapat meyakinkan gadis itu bahwa aku tidak menakutkan, tidak bodoh, tidak
kikuk, tidak seperti mansis pada umumnya.’
“Aku
harus membawa gadis itu lari, entah ke mana.”
“Ya,
aku harus bawa gadis itu lari sejauh mungkin sebelum para ilmuwan itu
mencelakainya, hanya untuk mengambil –anakku-.”
“Qon... kau masih mendengarku?”
Tentu
saja tidak, sudah beberapa lama kami terputus, lalu aku mengelupas. Kini aku
kembali merasakan perihnya.
Terdengar
dari area kumuh yang aku lewati, suara sirine meraung-raung, penanda tingkat
keasaman hujannya melebihi ambang aman. Sirine itu memberi peringatan agar
orang-orang mewaspadainya. Bayangkan,
manusia normal saja ‘harus’ melakukan
pengamanan, sedang aku baru saja mengelupas. Tentang lukaku, mungkin kau bisa
gambarkan seperi luka yang ditaburi garam lalu
disiram asam cuka.
Industri sialan! Siapa yang mau
bertanggung jawab? Mereka seolah dilindungi oleh alasan cuaca. Karena polutan mereka terbawa angin
entah kemana, dan mengguyur bumi
semaunya sendiri.
Kalau
saja kerja Tuhan seperti ini:
Menghukum langsung para penjahat
lingkungan, aku jamin maka rumah rumah mewah pemilik korporasi penghasil
polutan itu akan selalu kelabu, karena diliputi ash legam. Lalu taman-taman mereka yang bak surga itu akan nampak
kerontang, meranggas hangus, karena penderitaan hujan asam dan terpaksa
menghirup polutan.
Selain
itu kau juga akan melihat mereka seperti
mayat hidup. Karena kanker yang disebabkan oleh aneka rupa kimia karsinogenik
yang mereka hasilkan di industri mereka.
Kubayangkan,
mereka mengalami kanker tenggorokan karena harus meminum air yang penuh
polutan. Kanker paru-paru, atas balasan udara kotor yang mereka ciptakan, Carsinoma adenoid sebagai balasan bagi
mereka karena menurunkan daya imun mahluk lain.
Oh!
Terkutuklah mereka....
Yang
telah membuatku begini perih, pedih.
Bip! Penyerentaku bergetar. Tiba-tiba saja segala kutukanku pergi, saat
wajah keluarga baruku terpampang di
penyerentaku.
Aku
baca pesan keluargaku tersayangku:
Karin: ‘Kak Yusufku, tetaplah istiqomah dalam kebenaran, sekalipun pedih.
Sepedih kami mencoret namamu di rumah kami. Tapi percayalah, kami menyimpan
setiap detik kenangan bersamamu dengan perasaan manis di hati kami. Karin
yakin, suatu hari pasti kita akan berkumpul sebagai keluarga lagi.
Karin:
K
Yusuf, kini Hati kami, tak sesepi dulu
lagi. Kami semua menyayangimu.
Nisa: Bila keadaan aman cepatlah kembali, smoga Allah akan menuntun kita dalam keadaan yang
lebih baik. ‘
Ilalang
: aku selalu sayang kamu.
Ibu
Ratija: Kau
pasti tahu semua kata yang kubendung. Hapus semua hal yang menghubungkan kau
dengan kami. Demi keamanan semua.
Terpana aku membaca pesan
terakhir. Pasti telah terjadi sesuatu sehingga semua beramai-ramai mengirimiku
pesan. Tanganku bergetar lemah menghapus pesan dari mereka. Perlahan bibirku
bergetar membisikan puji-pujian kepadaNya.
Hanya karena Dialah, hanya karena
kebesaranNyalah, semua ini terjadi.
Hujan menderas. Mungkin langit
begitu geram melihat bumi, hingga menurunkan hujan asam yang deras seperti ini.
Lalu ...
Bip! Wajah Qonita menyala di
penyerentaku.
Qonita
: waspadalah selalu. Kau akan ke mana? Kabari
aku!
Dia pasti tak bisa menghubungiku.
Dia juga pasti mencemaskan aku. Ya, aku tahu, dari suaranya. Dari kelembutan
hatinya.
Dia ingin tahu aku akan
kemana. Aku sendiri belum pasti. Tapi
setidaknya aku harus mencari dokter Rut, untuk mencari tahu, benarkah aku
–bisa-dan akan mempunyai anak? Dokter Rut pasti tahu, tentang ‘mimpi indah’
yang sengaja mereka tanamkan pada tidurku, hingga mereka dapat dengan mudah
mengambil spermaku.
Ya! Dokter Rut pasti tahu.
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar