PANGERAN 22
KEMBALI KE ASAL
Lima detik. Lima menit. Aku berhasil
menahan kekalutanku. Ibu Ratija! Kenapa aku selalu lupa ini? Aku harus selalu
ingat nasihatmu:
KEMBALI KE ASAL
Di pohon yang terguncang-guncang
itu, aku lihat gerombolan burung Pelikan buatan terbang spontan, tanpa
rencana. Terbang hanya berputar-putar di langit hutan buatan yang dibatasi oleh
kaca polymer berpori.
Mereka pun berteriak kalut. Nampaknya mereka ingin
menembus langit hutan buatan yang ‘pendek’
itu. Mereka pasti ingin sekali terbang ke langit yang sebenarnya.
Ke manapun mereka terbang, mereka
hanya akan melihat hasil aksi terror gila para pemburu itu. Mereka itu cuma ada di hutan buatan.
Jika para ilmuwan menginginkan
hormone adrenalin sebagai hasil
sampingan industri biologis ini, maka kali ini mereka benar-benar telah
berhasil melakukannya. Hanya saja mereka harus memikirkan bagaimana cara
mengambilnya, mengumpulkannya, atau memanennya.
Hutan
buatanku
menjerit pedih. Pikiranku kalut. Aku –pasti- akan mengelupas lagi.
***
Aku harus tenang! Kupejamkan
mataku, kusenyapkan rimba pikiranku. Jantungku terasa berdetak kencang. Ya
Tuhan, tolonglah aku, hanya Engkaulah yang mampu menahan setiap mili epidermisku
meluruh. Hanya Engkaulah yang dapat menahan setiap selku mengejang.
Takdirku
ada dalam genggamanMu.
Aku pasrah.
‘hanya jiwa yang pasrahlah yang dapat merdeka dari segala penderitaan.’
Ya, baru beberapa hari aku tidak
disamping ibu Ratija, aku sepertinya hilang kendali . Emosiku mudah sekali
dipermainkan oleh keadaan, hingga aku mengelupas kapanpun sarafku menginginkannya.
Aku tahu, seharusnya bukan karena
ibu Ratija aku jauh lebih terkendali, tapi karena jiwaku yang seharusnya
menerima takdirnya, ikhlas atas segala anugerahNya. Aku harus selalu ingat,
bahwa Tuhanlah penggenggam jiwaku.
Dialah yang mampu membuatku lega dalam
kesesakan. Dialah yang membebaskanku dari takdir keterbatasanku. Dialah yang
menyempurnakannya dari ketaksempurnaan tubuhku.
***
Belum habis lelahku setelah
perjalanan yang cukup jauh, melalui berbagai kejadian yang membuat sel-sel
sarafku terkejut menyaksikannya. Kini kejutan ini terpampang di depan
pengelihatanku. Dari atas pohon Mangga
di depan pelataran parkir ini,
aku dapat melihat dokter Rut keluar dari mobil SUV. Dia berdiri sejenak, lalu menengok jam
tangannya. Tak berapa lama, sebuah Lambhorgini
sport klasik merapat di sisinya dengan anggun, luwes, efesien.
Seorang
pria membelakangiku keluar dari sana .
Mereka bersalaman, kaku. Wajah dokter Rut nampak lebih tua dari terakhir aku
melihatnya.
Terakhir? Kapan itu? Yang pasti sudah lama sekali.
Ya, aku tak salah menghitung.
Oh,
andai aku dapat bebas menemuinya. Aku ingin sekali sekedar menyapanya,
‘Hallo dokter Rut! Apa kabar? Aku
begitu rindu. Apakah kau kehilangan diriku?’ kubayangkan dia pasti akan terkejut. Mendengarku,
mengatakan sapaan dengan bahasa yang sopan, jelas, dan –sangat manusia-.
Tapi
aku tak mungkin menyapanya sekarang, karena di sisinya ada orang lain. Mereka
berjalan terburu.
“Dokter!”
seseorang memanggilnya. Orang itu berlari ke arah mereka. Wajah mereka begitu
serius. Aku dapat melihat si pengemudi Lamborghini sport klasik. Tapi aku sulit
mempercayai pengelihatanku.
Dia adalah pak Jan. Orang yang selalu
membuatku iri dan cemburu. Ada
hubungan apa diantara mereka? Ada
urusan apa ‘arsitek’ dunia periklanan
itu ada di sini?
Jarak
kami yang jauh tidak cukup membuatku mampu mendengar pembicaraan mereka. Akupun
tak dapat mengikuti gerakan bibirnya karena sudut pandangku yang
berganti-ganti. Aku harus mengendap-endap loncat dari ujung pohon yang satu ke
ujung pohon yang lain.
Mereka
masuk ke dalam sebuah gedung. Jadi aku kehilangan jejak. Sial.
Jika
aku menemui dokter Rut di dalam gedung, pasti sangat berbahaya. Karena aku
merupakan mahluk contoh yang nyaris sempurna, sehingga aku sangat berharga bagi
mereka. Dalam keadaan mati, ataupun hidup.
Jika
aku tertangkap hidup-hidup, bukan mustahil aku akan mengalami kehidupan lamaku
lagi. Tidak, jika aku berada di Hutan
buatan, itu akan semakin mengerikan. Ingat saja keganasan para pemburu itu.
Jika
aku sampai terbunuhpun, tetap saja aku adalah aset berharga bagi mereka. Ini
menyangkut rantai DNAku yang unik.
Kalau
begitu aku harus sabar menanti salah satu diantara mereka ke luar. Tapi sampai
kapan? Kuputuskan aku akan
menunggu dokter Rut di dalam mobilnya saja.
Semoga dokter Rut akan pulang,
sendirian, secepatnya.
***
“Hallo...” aku tak bisa menahan
suaraku demi kusadari dia telah berada
di dalam mobil ini. Di sampingku. Pria tua yang menyayangiku. Dokter Rut.
“Oh...
oh.. ough...” jelas sekali dia kaget. Seperti dugaanku, dia langsung menutup
dan mengunci mobilnya. Lalu menjalankan mobilnya. Aku bisa melihatnya dokter
Rut gugup.
“Apa
kabar dokter?” suaraku terdengar gemetar.
Aku lihat wajahnya menegang. Dokter Rut tetap menjalankan mobilnya.
“Ya
Tuhan... benarkah ini kau? Sebelas?” tanyanya tak percaya, berulang kali dia
menengok kearahku.
“Dan
kau bicara?” dia mendesis dengan cara
aneh. Lalu tiba-tiba saja dia membanting stirnya ke kanan. Menyusuri jalan
setapak yang dinaungi pepohononan Trambesi.
Aku tak tahu di manakah lokasi ini. Jantungku
berdetak lebih keras. Akan dibawa kemanakah aku? Apakah dokter Rut akan
mengembalikanku? Ya tentu saja! Karena dia –selalu- bagian dari kelompok
ekslusif para ilmuwan itu.
Tiba-tiba dia menginjak rem,
hingga aku terpental ke arah depan. Aku baru menyadari kami berhenti di depan
pagar yang tinggi.
Tangannya yang pendek memegang
kepalaku, menekannya agar aku menunduk. “Sssshhhh.... menunduklah...!” Dokter
Rut membuka jendela, dan mengetikan kunci pintunya.
“Apa yang dokter Rut lakukan?”
tanyaku bingung. Tapi akhirnya aku mengerti, dokter Rut melindungiku dari
kamera pengintai yang terpasang di pintu masuk.
“Fiuhhhh... “ aku menarik nafas
begitu melewati pintu pagar.
“Aku tahu, saat seperti ini pasti akan tiba, tapi aku tak menyangkanya,
akan secepat ini.” Dia tersenyum gamang.
“Apakah ini nyata? Bukan mimpi? Sebelas?” tangan kirinya mengelus pipi
bersisikku. Kugenggam tangannya keras bertenaga hingga dia mengerut kesakitan.
Kami seperti sepasang kekasih yang baru bertemu.
Aku dapat melihatnya ada air mata
mengalir di pipinya.
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar