PUTRI 23
PREMATUR
PREMATUR
“Semakin besar, semakin sering
kontraksi, dan aku semakin bingung.” Jawabku jujur.
“ Kita tak bisa lebih lama lagi
seatap dengan Wanda.”
“Ya pak, kami akan secepatnya
keluar.” Apa katanya ‘Kita’? tapi aku pura-pura tak mendengarnya. Buatku, pak
Jan adalah orang nomor satu yang harus aku jauhi.
“Bukan kamu, tapi dia.”
“Mungkin kami harus kembali ke rumah untuk mendampingi ibu
Ratija.”
“Tidak! Pasti ada jalan lain. “
“Bagaimana caranya? Jalanku
buntu.”
“Kau sudah memasuki rumah melalui
sebuah pintu, lalu pintu itu terkunci. Kau masih bisa membuka jendela bukan?”
“Aku sudah temukan jendelanya,
tapi dibawah jendela itu jurang curam, aku bahkan tak bisa melihat dasarnya.”
Pasir di otakku sepertinya bisa menangkap perumpamaannya.
“Aku sediakan parasutnya. Qonita
menikahlah denganku.” Katanya sambil mengeluarkan kotak beludru merah marun.
Oh Tuhan… hentikan kekacauan
pasir di otakku! Aku pasti sedang mengalami dilusi audiovisual. Seperti biasanya.
“Qon…” Pak Jan mengambil cincinnya. Lalu
menarik tanganku dengan paksa dan
memasukan jariku ke cincinnya.
Tentu
saja aku kaget, gemetar. Pasir di otakku bertambah kalut. Riuh membadai,
menghapus semua jejak sejarah yang ada disana. Untuk sementara otakku berhenti.
“A-apa
karena si Boy?” separuh jejak ingatanku yang baru terhapus tiba-tiba menyeruak.
Badai pasir di otakku reda.
“Boy?”
“Karena
melaluinya bapak dapat melihat ‘keaslian’ saya...” kini tangganku mengepal
keras. Jadi benar pak Jan seorang pedofilia?! Dia menyukaiku karena pernah
melihatku tanpa jilbab, juga dalam kostum renangku, sekalipun kostum renangku
tertutup... tapi aku yakin tampilan basahku mampu membangkitkan hasrat
sesatnya.
“Dasar
biadab!” Aku tak dapat menahan lagi
tinjuku yang aku tahan sejak tadi. Aku pukuli dia, dia tak membalasku sama
sekali. Tentu saja badannya yang tinggi atletis serba otot itu sudah cukup
menjadi pertahanan bagi serangan tinju seorang gadis yang mungkin untuk tinju
kelas bulu pun aku sudah gagal dibabak kualifikasi.
Tak
puas melihat dia diam, aku tarik lehernya, aku mulai menarik rambutnya. Barulah
dia menjerit-jerit.
“Aaagggrrrhhh!
Astaga! Sakit Qon!”
Aku
semakin bernafsu menghabisinya. Matilah si pedofilia ini, kriminal mesum yang
seharusnya diberantas. Hanya neraka jahanamlah tempat yang tepat bagi penjahat
jenis ini.
Aku
mulai menggigit tangannya. Dia makin menjerit. Hahaha! Tuhan ijinkan aku
mengumbar nafsu iblisku, membalaskan dendam yang aku tak tahu berapa jumlahnya!
Kini
aku mengerti kenapa dia sama sekali tak tertarik dengan keseksian dan
kecantikan Maya, juga gaya
seronok Wanda.
“Qon!
Qon! Dengarkan! Kau salah paham. Memang karena Boylah aku jadi jatuh cinta
padamu! Karena melalui matanya aku bisa mengetahui pikiran-pikiranmu,
tingkah-lakumu, kelembutan hatimu, keceriaanmu sekalipun kau terjerat dalam
kesulitan. Kepribadianmu selalu membuatku takjub setiap harinya.”
Dia
nyaris bicara teriak. Tangannya yang kekar mengunci tangan ringkihku. Matanya
menatapku, dalam. Kami begitu dekat. Segalanya membuat perasaanku tak menentu
“Aku
semakin mengenalmu, saat aku mengunjungi apartemen ibu Ratija. Kasih sayangmu,
kehangatamu, begitu kental aku rasakan jejaknya di sana
Padahal aku tahu, kau juga sama nasibnya dengan semua yang bernasib sial yang
ada di sana .
“Ketabahanmu
menghadapi penindasan Maya yang membuatku gemas. Kedewasaanmu menghadapi Wanda
yang menyebalkan. “
“Qonita
aku mohon, menikahlah denganku. Aku adalah parasut yang tepat untukmu dan bayimu.
Aku sangat siap menerima bayi ini.”
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar