PUTRI 21
DURI DALAM IKAN
DURI DALAM IKAN
Tayangan iklan dengan penampakan
Yusuf di dalamnya membuatku pasir di otakku bergerak panik. Aku tak ingin memperkeruh suasana dengan
menghubungi ibu Ratija sementara aku sendiri tidak tahu harus bagaimana.
Bip! Ini dia! Yusuf menghubungi telpon
genggamku!
“Ya…?”
suaraku terdengar gemetar.
“Qonita,
kau sudah melihatku?”
“Ya…”
suara gemetarku tak dapat aku sembunyikan.
“Heuheu…
aku mengerikan ya?” tawa ngilu terdengar. Dia sama sekali tak terlihat
khawatir! Dia bahkan mentertawakan kengerian dirinya!
“Kau…sudah menggetarkan jiwaku…” kuraba peru tku halus.
Dia berdenyut halus.
“Hahahaha…
tentu saja kau gemetar, takut.” Kini kudengar suaranya ngilu.
“Bu-bukan!
Ini tentang perasaanku..” perutku perlahan berdamai.
“Hahahaha…
ini sedang genting Qon! Kenapa bicara tentang perasaan?”
Ding! Dong! Pasir diotakku riuh
menyampaikan pesan kilat dari hatiku. Tepatnya yang kuucapkan tadi itu dari
hati-lalu ke sumsusm tulang belakang- dan
langsung bicara.
Oh!
Maksudku, tentang perasaanku itu. aku
–spontan- saja menjawabnya tanpa ‘berpikir’. Otak reptilku yang bicara. Karena
situasi ini, membuatku tak bisa berpikir bening-lurus-terurai. Pasir di otakku,
Keruh.
“Oh,
eh, ya…”
“Aku
tak bisa kembali lagi ke rumah ibu Ratija.”
“I-i-iya
tentu saja.”
“Apartemen
kita sedang diobrak-abrik orang-orang itu.”
“Ah!”
jadi benar, iklan ini mengundang kegentingan.
“Kau…
kau di mana sekarang?”
“Aku
diatas gerbong kereta. Ibu Ratija menyuruhku cepat lari. Barang-barangku telah
dibuang semua. Semua file hasil belajar dan kerjaku ia pindahkan ke tempatmu.
Dia dan adik-adik telah menghapus jejak keberadaanku di sana . Tanpa sisa.”
Glek!
“Kau,
akan ke mana?”
“Mencari
gadis yang mengandung anakku.”
“Apa…?!”
“Hallo…?
Hallo..?”
“Kau
mau ke mana?”
“….”
“Kau
bisa mendengarku?”
“…”
“Yusuf!
Yusuf! Berhati-hatilah… semoga Tuhan selalu melindungimu.”
Kubuka
kiriman emailku. Yah, aku dapat melihatnya. Ah besar sekali muatan filenya.
Memangnya apa saja yang disimpan dan dilakukan Yusuf? Aku tak tahu kenapa ibu
Ratija mengirimkannya kepadaku. Hidup bersamanya selama puluhan tahun, tidak
membuatku pandai dan mengerti jalan pikiran ibu Ratija.
Tapi sepanjang perjalanan hidup
kami, aku melihat keputusannya selalu benar.
Seperti keputusan ibu Ratija yang
terakhir menampung Yusuf. Walaupun pada perjalanan berikutnya kami
menemui skenario yang menyedihkan. Tapi
dengan menampung Yusuf, ibu
Ratija berhasil melahirkan ‘manusia baru’ yang jenius sekaligus berakhlak baik.
Bagaimana
mungkin aku tidak memiliki perasaan
apa-apa padanya? Sementara Yusuf selalu berbagi segala hal denganku lewat email
dan smsnya. Ditambah dengan puja-puji ke tujuh adikku terhadapnya. Yusuf
menjadi sosok yang menggoda rasa penasaranku.
Aku
mulai membuka emailku. Lalu membacanya dengan bergegas. Aku bisa merasakan
jantungku berdebar tak berirama.
Perutku
mengeras. Kontraksi kecil kurasakan. Apa bayiku akan gugur?
Tuhan,
lindungilah dia…
Apa yang telah Yusuf katakan?Dia akan mencari gadis yang
mengandung anaknya?
Yusuf pasti sedang kacau sepertiku. Mungkin kehidupan di apartemen sempit yang ‘melimpah’
anak-anak, membuatnya terobsesi untuk memiliki anak.
Dia
itu mansis. Dan mansis itu selalu steril!
Perut
ku kontraksi. Astaga nyeri sekali.
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar