PANGERAN. 20
TAMU
TAMU
Ibu Ratija terdengar jengkel,
melihat tayangan penculikan yang jelas di kamera pengamat yang terpasang entah
di mana.
“Huh,
itu karena kami bukan orang penting, bukan siapapun, bukan orang kaya yang bisa menghancurkan indeks
saham, atau seorang komandan di depan pasukan monitoring hulu ledak, jika dia hilang, tak akan ada
bedanya.
“Kami
cuma statistik.” Suara bu Ratija terdengar nelangsa.
Aku
terdiam, pilu. Sebulan tinggal di rumah ibu Ratija, dengan keluarga ini, membuat kecerdasan dan kebingunganku
melompat-lompat silih berganti. Aku tahu, apa yang dimaksudkan ibu Ratija.
Tentang statistik kaum miskin, statistik
penculikan, statistik kriminal. Statistik itu cuma angka, selebihnya
adalah cerita nyata tentang pilu, perih,
derita, sengsara rakyat negeri ini. Statistik itu cuma halusinasi angka.
“Coba
perbesar!” pinta bu Ratija tak sabar.
Kuturuti
keinginan ibu Ratija, tangan keriputnya menunjuk langsung ke monitor.
“Lihat tangannya!” bicaranya
terburu dan gemetar, demi dilihatnya ikon angker yang menempel di tangan orang
dalam rekaman itu. Tatto yang sama. Kupu-kupu emas.
Kubanting
tubuhku ke sandaran kursi. Kepalaku berkecamuk di kebuntuan. Kulirik ibu Ratija
lebih tenang.
“Ibu,
ada tamu.” Terdengar suara standard
Yasmin si Android dari bawah loteng.
Ku
ganti gambar layar monitor dengan layanan sensor tamu, kamera yang dapat
menangkap tamu atau siapapun yang ada di depan pintu. Kami bisa melihat jelas
pak Jan datang dengan teman bisnisnya, dan seorang kameramen.
“Oh, si tampan itu. Kenapa datang
berjamaah begini?” ibu Ratija menepuk pundakku.
“Hati hati, aku merasa ada yang
salah dengan apartemen ini.” Aku memberi peringatan, tapi sepertinya hanya
dianggap angin lalu, jelas saja, karena ibu Ratija lebih mengenal lingkungan
ini dibanding aku.
Ibu
Ratija turun dengan hati-hati, sementara aku menutup pintu yang menyerupai atap
dengan perlahan.
“Hallo
apa kabar? Semua terkendali bukan?” kudengar sapaan hangat pak Jan dibawah sana .
Aku
mengendap ke luar membawa penyerentaku. Lalu aku, seperti biasa,
melompat-merayap, hingga sampai di sisi gedung lain lalu duduk di balkon
apartemen yang sedang kosong. Lalu
mengamati semua yang terjadi di ruang tamu apartemen kami melalui
penyerentaku yang terhubung dengan CCTV yang aku pasang di sana beberapa hari lalu. Dokter Rut pasti
kagum dengan hasil kerjaku ini.
“Oke
dok, kau bisa memulai mengevaluasi para bayi.” Seseorang, entah siapa, memulai interuksinya. Entah dimana ibu Ratija
dan pak Jan, mereka pasti ‘menghilang’ sementara pembuatan iklan Android ASI Refill sedang berjalan. Langsung.
“Kamera
siap? Ya? Untuk androidnya?”
“Ok,
kamera terus jalan!”
“Mana
android itu?”
“Oke
dok, mulai!”
“Bayinya...!”
“Oh...
lucu sekali...”
Lewat
penyerentaku, aku tak bisa melihatnya sebagai tayangan iklan yang rapih, kurasa
mereka harus mengeditnya sebelum tayang. Tapi Qonita bilang, iklan ini
bentuknya semacam siaran langsung atau reality show yang spontan.
Sang
dokter nampak melakukan semua test dan
pengukuran, sambil bermain dengan Rahman dan Rahim.Mulutnya tak berhenti
bicara, dengan membandingkan hasil pengukuran beberapa waktu yang lalu. Memang
fantastik, kedua bayi itu mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang
signifikan.
Tapi
ke mana ibu Ratija dan pak Jan, yah tentu saja mereka harus menyisih, karena
mereka bukan bagian dari iklan ini. Dan tujuh kurcaci ‘adik-adikku’ itu
menonton dan makan semua oleh-oleh yang kru bawa.
Benar
kata Qonita dan ibu Ratija, pak Jan adalah perpanjangan tangan Tuhan.
Pak
Jan telah menyelamatkan rumah tangga ibu Ratija dari kesengsaraan dan kerepotan
dengan kemakmuran dan pembantu yang sangat efesien, Yasmin si Android.
Kulirik
jam di penyerentaku. Sudah sejam lewat. Dan mereka belum selesai juga?
“Oke!
Ibu Ratija! Ibu Ratija...! siapkan dialog penutup...!”
Oh,
akhirnya! Rasanya jika lebih lama lagi aku harus mendekam di balkon ini, aku
tak kan kuat,
karena bau polusi di sini begitu menyengat, dan memedihkan mata. Aku juga mulai
merasakan akan ada badai.
“Bos,
bagaimana matanya?”
Mata?
Mata apa?
“Oh
ya ibu Ratija, maaf kami menayangkan beberapa kali iklan langsung dari sini.
Saya kira ibu tak kan keberatan karena semua
sudah kita setujui dalam surat
kontraknya.”
“Maksud
bapak, apa?”
“Tayangan
iklan langsung bu! ASLI!”
Seseorang
mendekati si Yasmin, dan mengambil Rahman yang sedang menyusu nyaman di buah
dadanya yang palsu itu.
Sementara
yang lain membawa kotak alat. ‘Mematikan’
si Yasmin android, dan mencongkel matanya.
“Sayang
beberapa hari lalu Dinda mengacaukannya, dia bermain-main dengan mata ini.” Si
teknisi menunjukan bola mata Yasmin dalam gengamannya.
Deg!
Jantungku tiba-tiba berdenyut tak menentu. Aku tahu, ini karena keterkejutanku,
pikiranku bergerak cepat.
Jadi
selama ini seantero dunia ini menyaksikan kehidupan kami lewat mata Yasmin si
Android? Jadi semua orang ‘sudah’ tahu akan keberadaanku?
Semua?
Termasuk orang-orang dari hutan Buatan? Orang-orang bertatto kupu-kupu emas,
JUGA!
Tanpa
dapat kuhindari tubuhku menggelinjang kejang. Aku akan mengelupas karena aku
shock. Padahal selama di rumah ibu Ratija aku tidak pernah mengelupas.
OH,
jangan sekarang! Aku harus segera bergerak!
Tentu
saja aku tak mampu menahannya, karena takdir mengikatku dengan keperihan
yang luar biasa. Setelah sekian lama aku
tak mengalaminya, kulitku meluruh.
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar