PUTRI. 19
WANDA
Hidup bukanlah tentang mencari
jati diri,
Tapi hidup adalah tentang
bagaimana kau meninggalkan jejak di dunia..
Kubaca lagi berulang kali
kata-kata mutiara dari Yusuf. Hatiku tergetar, pilu. Mungkin karena aku tahu
dia seorang manusia buatan. Mahluk
Chimera yang kemungkinan besar dia tak tahu dari mana saja kombinasi DNAnya
berasal.
Kuraba
perutku. Kurasakan mual dan ngilu.
Benarkah
jati diri, bukan hal penting bagi Yusuf? Tapi aku harus tahu jati diri
anak yang kukandung ini! Bagaimanapun
caranya. Agar Tuhan dapat memaafkan semua yang telah terjadi.
Kenapa
hari ini Yusuf mengirimi kata-kata mutiara yang ngilu? Sedang sedihkah
dia?
Biasanya
kirimannya cerita ceria. Membuatku
tertawa. Dia pernah mengirimi cerita ini:
Bu
Ratija memaksaku untuk meminta sesuatu yang baru, tapi terjangkau dengan
uangnya yang di dompet (receh). Aku harus berpikir keras. Lalu aku ingat,
tentang wedang uwuh, wedang yang hanya bisa dinikmati di café-café berkelas
itu, minuman semacam itu selalu ada versi murahnya. Dijual dalam bungkus kecil,
dengan harga yang jauh lebih murah, dengan rasa yang tentu saja berbeda. Tapi
aku tetap penasaran. Maka aku pesan wedang uwuh tapi yang rasanya original.
Tapi ternyata bu Ratija membelikan yang special.
Special khusus dewasa. Mampu
membangkitkan gairah dewasa!
Olala!
(untungnya
bu Ratija segera merebutnya, karena aku membaca cukup keras di dekat
telinganya. Kalau tidak, aku yang tak tahu maksud keterangannya akan menegak
minuman itu sampai habis, dan entah bagaimana jadinya cerita setelahnya!)
Hahahaha. Berkali-kali aku
tersenyum sendiri membayangkannya.
Sebagai ‘teman baik’ aku selalu
berbagi kegembiraan dengan pak Jan dengan mengirimkannya lagi pada pak Jan.
Lalu
–spontan- pak Jan akan mengirimiku simbol terbahak-bahak. Dia sering
berkomentar, ‘temanmu ini seorang yang
cerdas, kreatif, dia sangat cocok denganmu. Aku bisa merekomendasikan dia untuk
langsung bekerja sebagai disainer atau insinyur di tempat kita. ‘
Aku
dan pak Jan memang aneh. Di mana saja
kami berada, kami selalu terhubung.
Beristigfarlah aku, menahan hasutan syetan no
15. Syetan pakar hubungan sosial. Dia, si syetan no. 15, beraksi di otakku.
Dia mengeluarkan grafik hubungan –tanpa
aku mampu menahannya. Grafiknya seperti ini:
Kiriman pesan singkat = 1
poin
Memasakan sesuatu = 6 poin 10
Membantu pekerjaan = 7 poin 9
Membelikan makanan = 1 poin 8
Marah = -1 poin 7
Tidak berbagi = -1 poin 6
Menolak
undangan = -5 poin 5
4
3
2
1
___________________________________
Waktu hubungan
Nah, bisa lihat bukan grafik
kemajuan hubungan kami. Hubungan kami
meningkat seiring dengan waktu. Bahkan ada kecenderungan grafik parabola!
Hebat.
Jadi
seperti inikah pertemanan? Persahabatan? Teman Tapi Mesra?
Pasir
di otakkau riuh berdebat. Syetanpun menari di sana .
Ok, kembali kepada: Yusuf.
Bisa
kupastikan dia tak setampan pak Jan. Tapi dialah kini mahluk misteriusku.
Karena buatku pak Jan bukan sesuatu yang misterius lagi? Mungkin.
Mungkin
juga karena ibu Ratija dan 7 adikku selalu memuji-mujinya. Hingga aku hanyut
kagum. Oh, aku begitu penasaran, apalagi sejak pesan-pesan singkatnya muncul di
penyerentaku. Di Emailku. Di kotak suratku .
Tuhan, seperti apakah Yusuf itu?
Apa setampan namanya? Kenapa dia tak pernah mau menunjukan dirinya di depan
monitor. Kata adik-adikku dia menjadi pemalu bila aku muncul di layar. Malu?
‘pria’ dewasa, yang menurut ibu Ratija memiliki IQ tinggi itu, malu?
Bip! Penyerentaku berbunyi dengan
jinggel penanda ibu Ratija.
“Qonita, tolonglah, Wanda dalam
kesulitan serius! Yusuf dalam perjalanan mengantarkannya ke apartemenmu.”
Belum
sempat aku menjawab, Tap! Layarnya menghitam. Setelah kuhubungi balik, bahkan
hanya ada tanda –di sana -
segala saluran dimatikan. Oh ada apa lagi ini?
Wanda
dalam kesulitan? Dia diungsikan ke tempat ini? Oh ibu Ratija... tempat ini
bukan apartemenku! Dan statusku di sini juga sebagai ‘pelarian’. Kenapa tidak tanya padaku dulu? Minimal aku bisa minta
ijin pada pak Jan. Apa katanya nanti?
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar