PUTRI. 17
JANIN
JANIN
Maka canggunglah kami. Di meja
makan ini. Hubungan kami yang hangat
berubah menjadi kaku sejak hadiah test pack itu mengabarkan –kehamilan tanpa
sebabku-, ditambah dengan pertengkaran Maya dan pak Jan.
Hubungan
kami benar-benar kaku dan canggung. Tapi aku lihat pak Jan nampak tenang,
sedangkan aku tidak bisa. Apalagi sejak
aku pulang tadi beberapa kali aku pergoki dia sedang memperhatikanku.
Memang
tempat terbaik di rumah ini adalah kamarku. Tapi aku tak mungkin membawa
makanan yang telah dia pesan ini ke kamarku bukan? Itu tidak sopan dan dapat
menyinggung perasaannnya.
“Bagaimana
hari ini?” Tanya pak Jan basa-basi. Dia pasti berusaha memecah kecanggungan
ini.
“Biasa,
tadi siang sempat ada masalah dengan aliran listrik, dan cuaca saat syuting di
luar tiba-tiba berubah.” Jawabku tanpa
menatapnya. Lalu diam. Tapi tak bisa. Aku tak boleh membiarkan keadaan
–menyiksa ini berlarut-larut.
“Pak...”
“Qon...”
Bagus,
sekarang kami bicara bersamaan.
“Ada apa Qon?”
“Katakan
saja yang akan bapak bicarakan tadi.” Aku mencoba menahan topikku.
“Aku
memikirkanmu.” Katanya. Kulirik dia, sepertinya makanan dalam mulutnya tidak
juga ia telan. Pasti ini hal berat untuk diucapkan. Memikirkanku, pasti lebih
berat daripada memikirkan strategi perusahaan untuk bersaing secara global. Oh…
tunggu, sepenting itukah diriku! TUHAN! Ibu Ratija! Dengarkan!
“Aku
bukan teka-teki silang pak, tak usah dipikirkan.”
“Aku
memikirkan janin yang ada di perutmu.”
Barulah
giliranku sulit menelan makanan. Aku tiba-tiba mual. Terburu aku ke kamar mandi
untuk menumpahkan semua makan siangku, dan makan malamku ini.
Seperti
biasa, dalam empat hari ini, pak Jan ada di sana , membawakan tisue dan air hangat
untukku.
“Aku
tidak mengerti jalan pikiranmu, bagaimana mungkin kau ingin mempertahankannya,
sementara baru usia sebulan saja kau begitu terlihat payah dan tersiksa.”
“
Alhamdulillah, Terima kasih Tuhan, karena mualku ini, aku jadi ingat begitu
besar pengorbanan seorang ibu.”
“Huh,
kau kira aku tak pernah menghargai ibuku, hanya karena aku tak bisa hamil?”
tanyanya terdengar kesal.
Kecanggungan
mulai cair.
“Qon,
bayangkan, 8 bulan ke depan, mungkin perjuanganmu akan semakin sulit. Dengan
janin yang terus membesar, sembelit, muntah, masalah hormon, kejiwaan...”
“Alhamdulillah,
Tuhan tahu, seorang wanita lebih kuat dari pada seorang pria, karena dengan
kesulitan dan –penderitaan- seperti itu, terbukti para wanita tetap bisa
melaluinya, bahkan sengaja membuat dirinya hamil, dan beberapa wanita ingin melahirkan sampai 2
kali lebih.”
“Aku
serius Qon. Janinmu, hanya akan membawa kesusahan.”
“Susah senang itu tergantung dari individu yang
melakoninya, pak.”
“Mungkin
kau belum memikirkan ini, setelah anakmu lahir,
bagaiamana kau membesarkan anakmu? Apa anakmu mau kau titipkan di rumah
ibu Ratija juga? Karena pasti sulit di jaman ini menjadi orang tua tunggal.”
“Tentu
saja empat hari ini aku sudah memikirkannya.”
“Bagaimana
jika ia tanya tentang ayahnya? Atau orang tuanya? Bagaimana jika ia
bercita-cita menjadi tentara, dimana silsilah keluarga sangat penting?”
“Mungkin
nanti di jamannya, pertanyaan itu sekedar untuk mengisi formulir tertentu. Aku
bisa mencari sumbernya di bank sperma, lalu mencomot salah satui kode begitu
saja? Hahaha… mungkin nanti di jamannya, teman-temannyapun banyak yang nasibnya
seperti anak ini.”
“Qon, ini bukan lelucon…” pak Jan
nampak terkejut dengan jawabanku. Dia pasti tak menyangkanya aku punya
pemikiran spontan seperti itu.
“Ah, Kita pikirkan itu nanti, Tuhan
tidak memberikan pilihan itu sekarang bukan?”
“Lalu tentang sekolahnya?
Kesehatannya, bagaimana bila ia cacat karena –mungkin saja- kehamilanmu adalah
bagian dari skenario uji coba ilegal para ilmuwan...”
“Astagfirulloh.
Kenapa aku baru memikirkan kemungkinan itu? “
“Coba
pikirkan, bagaimana mungkin bila orang tuanya –normal- menitipkan janinnya
padamu dengan cara –menculik-? Sementara hal seperti ini bisa dilakukan dengan
legal. Karena orang tuanya miskin? Mana ada orang tua miskin berpikir –menitipkan
janin- sementara untuk hidup mereka saja sudah susah, bagaimana mereka
membesarkan janinya? Memebesarkan anaknya setelah lahir nanti?”
“Hoek....!”
muntah dan menangislah aku atas kekakacau perut dan pikiranku. Jelas sekali,
dalam hal ini pak Jan bukanlah teman bijak untuk berdialog.
“OH,
Qon...” dia merasa bersalah. Setidaknya dia sadar karena semua kata-katanya,
janin dalam perutku memberontak.
Aku
tahu, seandainya dia adalah suamiku, pastilah dia sudah mengelus
punggungku agar aku lebih nyaman. Tapi dia bukan apa-apaku. Dan dia nampaknya mengatur keadaan ini.
Karena dia menghormatiku sebagai muslimah.
Ya.
Tentu saja, aku bukan seorang Maya. Dia pasti tahu persis.
“Maafkan
aku, Qon... ini karena aku memikirkanmu. kau mengerti?”
“Saya
tidak mengerti pak.”
Tuhan
kenapa belajar tentang hubungan antar manusia
lebih sulit daripada belajar tentang mata kuliah RPSPPSMMP –Rekayasa Pencitraan sebagai Strategi
Perubahan Perilaku Sosial di Masyarakat Megapolitan-?
****
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar