PUTRI. 17
JANIN
JANIN
Ah, sial! Kenapa aku lupa dengan
naskahnya? Naskah yang ada di kantung fileku, di notebookku, yang tertinggal di
kamar? Fiuh! Jadi aku harus kembali ke ke rumah? Untungnya si Boy tak keberatan
mengantarkan aku kembali.
Maka
di sinilah aku, di kamarku, bersama si Boy.
Mencari Flash disk yang isinya –sangat
penting- bagi syuting iklan hari ini. Aku tahu, Boy dengan daya carinya
yang lumayan, bisa membantuku.
Kudengar
suara sepatu berhak tinggi memasuki rumah dan berkeliling di ruangan dengan
langkah terburu. Pasti Maya, karena
suara sepatunya, selain itu hanya dia,
aku, dan pak Jan yang tahu kode masuk rumah ini. Dari suara langkahnya yang
bergegas, dan cara membuka-membanting pintu kamar, dia pasti sedang dalam
keadaan kacau. Seperti biasanya. Maya selalu datang dengan langkah seperti itu,
atau tidak melangkah sama sekali, karena mabuk.
Aku
memberi isyarat pada Boy agar diam dan tak ke
luar kamar. Si Boy hanya memandang datar.
Suara
langkah pertama disusul oleh langkah yang lebih berat. Itu pasti pak Jan.
Sekalipun pak Jan bilang berulang kali bahwa tidak ada apa-apa diantara dia dan
Maya, tapi tetap saja, aku merasa ada hubungan khusus.
Buktinya
kini mereka ada di rumah ini berdua saja, di siang bolong! Pak Jan pasti telah
memperhitungkan, karena aku akan di luar cukup
lama-.
Tapi
kenapa kini aku dengar jeritan-jeritan
histeris dari Maya menggema di kamar sebelah. Aku tak menyangka sama sekali.
Jika namaku terkait dalam pertengkaran mereka.
Ingin
sekali aku menutup telinga tapi tak bisa. Jelas sekali aku mendengar suara Maya
melengking histeris.
“Kau
kira aku bisa semudah itu kau putuskan? Kau pikir aku ini apa? Batu yang bisa
kau campakan kapan saja?” itu suara Maya, tinggi melengking.
“Aku
tidak pernah mencampakanmu. aku bilang kita sudahi hubungan tak jelas ini.”
Suara pak Jan terdengar tenang.
“Kalau
begitu perjelas saja hubungan ini.”
“Maaf,
aku bukan orang yang tepat untukmu.”
“Jan,
jangan kau anggap aku ini perusahaan kecilmu yang gagal, yang bisa kau tutup,
atau kau jual begitu saja.”
“Sebenarnya
aku berharap seperti itu. Seandainya benar kamu perusahaan kecilku, aku sudah
menjualnya begitu aku melihat neraca kebangkrutanmu.”
“Jan!
teganya kau!”
“Hidupmu
bangkrut karena kau selalu mabuk.”
“Kamu
selalu bilang aku mabuk, untuk selau
menolakku!”
“Aku
salah waktu menerimamu sebagai pemabuk.”
“Aku
bukan pemabuk.”
“yah
tentu saja, seorang pemabuk sulit sekali menerima kenyataan itu.”
“Aku
sudah menjalani rehabilitasi.”
“Maaf,
tapi kau tak pernah berhasil menyelesaikannya.”
“Katakan
siapa orangnya?”
“Kenapa
kau tanyakan itu? Bukankah sudah perjanjian diantara kita, bahwa masing-masing
diantara kita bebas melakukan apapu. A-pa-pun.”
“Kalau
begitu, biar saja! Biar kita terus begini, aku bebaskan kau dengan wanitamu.
Dan kau bebaskan aku dengan hidupku.”
“Aku
ingin mengubah hidupku.”
“Hahahaha...
maksudmu kau ubah yang hidup jadi mati? Jan-Jan... baru sadar kau kekacauan
hidupmu?”
“Tepatnya
kekacauan yang kau buat.”
“Hah,
aku bukan kambing hitam dalam opera hidupmu.”
“Terserah.
Pikirkanlah ini Maya, hubungan kita tak bisa dibawa ke manapun. Kau terikat
dengan agensimu, dan kau tak mau melepaskannya. Sementara aku sudah bertambah tua .”
“Kenapa
baru kau ributkan tentang kontrak agensi? Kau pikir aku akan melepaskan
karirku? Kau sedang mengacamku?
“Tidak.
Aku hanya ingin memutuskan hubungan kita.”
“Hah!
Pasti gara-gara idiot tukang ngaji itu.”
“Namanya
Qonita, Maya, dia punya nama. Dan dia tidak idiot!”
“Hah!
Benar, kini kau memasukan namanya dalam perhitungan hidupmu.”
“Benar.”
Deg...
ya Allah! Kenapa –aku-...? ku tengok
si Boy, tapi seperti biasa dia hanya menatapku datar tanpa ekspresi.
“Oh,
tak kukira, seleramu begitu payah, Jan. Aku tak kan terima ini!”
“Kau
mau apa? Maju ke persidangan? Jangan lupa membawa surat nikahnya, dan bukti bahwa kita pernah
berhubungan intim!”
“Hoooo... Shit! Pokoknya aku tidak terima, kau akan rasakan akibatnya.”
Di luar keinginanku, penyerentaku
berdering, dengan volume keras, karena, yah kau tahu kan , ini adalah strategi antisipasi dari
kebiasaanku yang kurang tanggap itu. Padahal sekarang aku termasuk orang yang cukup penting. Setidaknya dikantor
banyak orang yang berkepentingan denganku.
“Bip! Nong! Gimana nih... semua orang nunggu!
Cepet, bentar lagi mulai!”
suara Kamila di lapangan memberondong,
mempercepat laju jantungku.
“Hah! Tukang ngaji itu! benar-benar idiot!” Maya membuka pintu
kamarku, membuktikan bahwa aku ada di sini. Dia berbalik dan ke luar apartemen.
“Qon! Qon! S.O.S! S.O.S!” suara Kamila
dari lapangan, dia sangat tahu cara memanggilku.
“Oh yayayaya...”
Pak
Jan berdiri tepat di depanku, memandangku dengan pandangan yang aku tak bisa
mengerti. “Maaf saya ketinggalan ini,
pak...” kutunjukan flash diskku. Kupasang senyum canggungku. “Mari Boy, sayangku, pahlawanku...” kelihatannya aku benar-benar dalam skenario
yang kacau.
****
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar