PUTRI. 47
JANIN
JANIN
Pak Jan menarik nafas.
“Saya
juga akan segera keluar dari rumah ini.”
Kataku meluncurkan apa yang kupikirkan selama dua hari ini.
“Keluar?
Kenapa?” dahi Pak Jan mengkerut.
“Yah,
saya kira kehamilan saya akan membuat mbak Maya salah paham.”
“Ha,
dia? Tak usah kau pikirkan. Dia wanita
bebas. Tak ada hubungannya denganmu.”
“Lho?
Kehamilan saya akan bisa saja mengganggu hubungan bapak dan mbak Maya.”
“Tak
ada ikatan apa-apa. Jangan khawatirkan
kami. Yang sedang susah itu kamu.”
Jadi
benar, mereka cuma ‘sepasang’ nafsu.
“Saya
percaya, dia berada di dalam perutku sebagai anugrah dari Tuhan. Sejak dia ada,
bapak tahu sendiri bukan, pekerjaanku lancar, ide-ideku selalu ada saat
dibutuhkan, gajiku naik, komisi dari rekanan bertambah, dan aku selalu mendapat
pesanan baru.”
“Jangan
bodoh, Qon, kau sudah kerja keras sejak kau bergabung di perusahaanku, dan kau
pantas mendapat ganjarannya.”
“Mungkin
bagi bapak seperti itu, tapi saya percaya, Tuhan telah mengatur rezekinya,
lewatku, lewat perutku. Dan hal terpenting lain, melakukan pengguguran,
pembunuhan, bagi janin yang sama sekali tak tahu kesalahannya apa, adalah dosa
besar. Aku tak mau menanggungnya.
“Jika
diberi kesempatan, dan Tuhan mengijinkan, yang ingin aku bunuh adalah orang
yang membuat janin ini ada di perutku.”
“Oh,
Qonita...”
“Jangan
khawatir pak, saya akan segera keluar dari rumah ini, sebelum seorangpun
mengetahui keadaan saya, terlebih lagi keadaan saya yang sedang hamil.”
“Kau...”
“Nama
bapak dan kehidupan bapak akan baik-baik saja, sama seperti sebelum bapak
mengenal saya.”
“Kenapa
kau berpikiran aku seperti itu?”
“Saya
–tidak berpikiran atau merasa bapak seperti itu-. Sayalah yang menginginkan
–bapak akan baik-baik saja-.”
“Aku
yang menginginkan –kau akan baik-baik saja-!”
Aku
pura-pura tak mendengarnya. Aku tahu, dia serius. Sikapnya membuatku sedikit merinding.
“
Uang gaji saya telah naik beberapa kali. Bonus yang kantor berikan kemarin bisa
saya pakai untuk menyewa kos-kosan di tempat lain. Pokoknya saya tak ingin
merepotkan bapak, lebih banyak lagi.”
“Kamu
lupa Qon, penculik –penculik itu masih
terus mengintaimu.”
“Gaji
dan komisi saya yang baru sebagai
desainer lima
proyek kemarin yang gol cukup untuk
menyewa seorang mansis.”
“Kamu
serius, Qon?”
“Iya
pak, terima kasih banyak atas bantuan bapak selama ini. Berkat bapak, saya aman
di sini, dan berkat ide bapak pula, rumah ibu Ratija bisa mendapat penghasilan
baru dari ke dua bayi kami yang menjadi model.”
“Qon?”
Aku
lihat matanya memandangku tidak percaya. Antara kagum dan... apa ya?
“Kau
tahu berapa harganya seorang manusia
buatan?” Tanyanya perlahan.
Aku
menelan ludah. Ya, seorang manusia buatan memiliki harga yang spektakuler.
“Saya
kira, saya bisa kursus bela diri. Hmmm, mungkin sedikit lebih hemat.”
“Dengan
perut besarmu itu? Bagus, kau bisa sekalian menggugurkannya karena
kegiatan fisik yang berat.”
“Hhhhhggggrrrrr…..”
aku menggeram bingung dan kesal. Kuremas kertas kertas desainku yang gagal.
Pak
Jan tersenyum meleceh, ngilu.
***
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar