PANGERAN.
18
MENUJU MENARA
Seperti inilah malam di kota
mepolitan. Lampu-lampu menyala dengan sombong mengambil alih matahari. Papan TV
reklame menyala 24 jam. Saat malam tayangan menjadi lebih seronok, dan memaksa
siapapun yang melintas dibawahnya untuk melirik. Tak heran bila kecelakaan di
persimpangan ini punya catatan yang serius. Sudah lama keberadaan papan TV
reklame yang besar dan menonjol ini diprotes, tapi, pajak yang dihasilkan dari
sana lebih menggiurkan rupanya.
Sambil membawa Wanda di
punggungku, aku rayapi gedung tinggi ini, memutar jalan menuju belakang rumah
susun kami. Beberapa kali Wanda menjerit dan berdesis-desis ngeri saat aku
harus menyeberangi gedung tinggi menuju gedung tinggi lain.
“Ah, hati-hatilah! Aku masih
ingin hidup seribu tahun lagi!” katanya cerewet. Aku tahu itu Cuma perumpamaan.
Kini aku sudah pandai, dan tak banyak bertanya lagi.
Kutemui lagi papan TV iklan. Dan
Iklan lain yang seronok juga.
“Kau
tahu Yusuf, aku pernah lho jadi model iklan bergerak.” Bisik Wanda di
punggungku mengganggu konsentrasiku. Dia pasti tahu mataku tergoda dengan
tayangan iklan seronok itu.
“Iklan
apa?” tanyaku sekedar basa-basi.
“Iklan
obat nyamuk.”
“Yang
mana?” iklan obat nyamuk itu banyak sekali, bukan? Aku menurunkan Wanda dari
punggungku begitu kakiku menginjak
daratan yang letaknya cukup jauh dari rumah susun kami.
“Shozhii, aku yang jadi pasien gara-gara
digigit nyamuk.” Wanda menyebutkan salah satu merk obat nyamuk terkenal.
“Hmm.”
Aku tahu dia bohong, tapi aku tak mendebatnya. Dia pikir aku tak pernah memperhatikan
iklan. Bagaimana mungkin aku tak
memperhatikan iklan, sementara Qonita, gadis yang bekerja di periklanan
itu, membuat aku sangat penasaran.
Kami
menunggu bis di halte, dan naik begitu bis jurusan daerah Qonita tinggal
datang. Kuberdirikan kerah jaketku, dan kuturunkan topiku menutupi wajahku. Aku
tak ingin penumpang bis ini memandangku sebagai manusia buatan yang aneh.
“Dari
mana asalmu, Yusuf?” Tanya wanda begitu kami duduk di bagian belakang bis.
Kuberikan isyarat telunjuk ke bibirku, agar dia mengerti bahwa identitas kami
harus kami sembunyikan. Bukankan kami sama-sama pelarian?
Untunglah
Wanda mengerti. “Boleh aku minta nomormu?” dia menyodorkan telpon genggamnya
padaku. Ragu aku memberi nomerku. Untuk si tukang bohong ini, perlukah aku
memberinya nomerku? Ah, kenapa tidak?
Ping. Aku melihat tanda smsku dr nomer
tak dikenal. Sejak bu Ratija menghadiahkan telpon genggam kepaku hanya 3 nomer
di dalamnya. Ibu Ratija, Qonita, dan Karin. Bukankah hanya mereka kenalanku?
Kubuka
pesannya. ‘andai kau setampan namamu,
Yusuf, aku tentu sudah jatuh cinta. Kau begitu… perkasa…’ kulirik wanda
yang duduk di sampingku. Dia tersenyum sambil mengedipkan mata. Aku mengerti,
ini adalah nomer Wanda.
Ping! Ah dia kirim pesan lagi. ‘jadi dari mana asalmu? Kau lari dari mana?’
tanyanya. Dia pasti sangat penasaran. Kuketikan jawabannya, ‘aku berasal dari Tuhan.’ Kujawab begitu saja. Ini seperti
jawaban ibu Ratija jika anak-anak bertanya tentang apapun, yang dia tak bisa
menjawabnya dengan pasti.
‘huh! Cara jawabmu sudah seperti b Ratija.’
Aku diam saja. Tapi dia kirim SMS berikutnya.
‘Kamu pasti berasal dr tempat yang kejam.’
Aku tak menjawabnya. Aku tak akan menjawabnya. Aku harus waspada, dia seorang
pembohong, dia dalam keadaan stress, orang semacam ini harus dihindari untuk
akrab. Ya aku tahu, bukankah aku sudah pandai?
‘Karena tak ada orang yang mampu bertahan
lama-lama di tempat bu Ratija, tempat sempit, penuh dengan monster kecil yang
selalu menangis, bergerak berbunyi, dan seorang tua yang tak mampu apapun.’
Ketiknya begilu lancar. Tentu saja aku terkejut dengan pandangannya terhadap
rumah kami yang hangat penuh dengan kasih saying. Wanda pasti seorang yang
kesepian, pesimis atas segala sesuatu. Hingga memandang segala sesuatu dari
sisi negative.
‘saya dari surga. Dan sedang dihukum dibuang
ke dunia.’ Kataku penuh symbol. Yup, hutan buatan itu surga bukan? Bila tak
ada campur tangan para ilmuwan di
dalamnya. Dan duniaku yang baru, adalah lading amalku bukan? Aku sudah pandai,
bukan?
“hahahahaha…”
tiba-tiba wanda terbahak. Benar, dia sedang stress. Baru beberapa menit lalu
dia menangis hingga matanya sembab. Tawanya yang tiba-tiba membuat penumpang
lain menoleh kea rah kami.
Tiba-tiba
bis berhenti. Seorang polisi naik bis kami. Dia membisikan sesuatu pada
supirnya. Aku bisa melihat, supirnya mengangguk takut. Wanda disampingku
langsung duduk gelisah. Lho, bukannya
kita sedang di kejar-kejar gangster,
bukan polisi? Aku semakin bingung melihat wanda menyumpal perutnya
dengan tas yang ia bawa.
Polisi
itu semakin dekat berjalan ke arah kami. Tangannya yang memegang kursi di
depanku bertatto kupu-kupu. Oh! Kini mengertilah aku kenapa Wanda begitu
gelisah. Apalagi polisi itu dengan kurang ajar menarik dagu Wanda untuk
memperjelas pengelihatannya.
“Maaf.” Entah dari mana
keberanian ini, aku mengenyah tangan polisi gadungan itu.
“Dia istriku, dan dia hamil.”
Kataku berbohong, kuelus perut Wanda dengan kaku. Ah aku benar-benar padai
berakting.
Polisi itu nampak penasaran
dengan wajahku. Aku mencoba menghindari tatapannya dengan menengok ke arah
Wanda.
“Ok. Stop pir!” perintahnya
seenaknya saja. Tanpa memikirkan larangan bis berhenti di luar halte. Tapi
supir bis ini menurutinya begitu saja. Itu pasti karena ketakutannya pada si
preman. Polisi gadungan itu turun saat bis berhenti. Dan menepuk bis dengan
keras, menyuruh bis ini pergi.
Aku dan Wanda bernafas lega.
“Trims Yusuf.” Bisik Wanda masih gemetar. Aku bisa merasakan sisa ketakutannya.
Ping! ‘maaf bila aku kini membahayakan dirimu.’ Bunyi SMS Wanda, membuatku
tersenyum. Tanpa dia pun sebenarnya hidupku selalu berbahaya bukan?
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar