PUTRI. 19
WANDA
Mata Wa nda membulat, tanda takjub.
WANDA
Wanda nampak terkejut karena aku
begitu ‘berani’ dengan si Boy.
“Ah,
kau bisa ‘bebas’ seperti itu dengan
dia?”
“Hahaha...
ini kan ‘cuma’
android, Wanda... ya kan
Boy?”
“Betul,
nona.” Suara datar, wajah lurus.
“Ya
ampun... kamu tahu tidak ada android
ilegal yang dirancang sebagai ‘pasangan’?”
“Tentu
saja aku tahu!”
“Maka
aturlah kelakuanmu, agar orang tak menyangka si Boy ini ‘pasangan android’mu.”
“Hah...?”
“Karena kau ‘susah laku’ secara normal, maka makin
wajar bukan kalau kau bekerja keras, menabung gajihmu, untuk membeli seorang
android agar jadi pasanganmu...”
“Saya
tidak keberatan.” Tiba-tiba si boy nyeletuk, dengan wajah leumpeung, dan suara standardnya.
“Hahahahaha...dengar
dia bisa merespon dengan baik!” Wanda tertawa hingga dia tersedak dan terbatuk.
Itu pasti karena Tuhan pasti tidak rela aku dihina gadis malang ini.
Aku
mendengus sebal. Tapi aku lalu tersenyum, syukurlah badai kepanikan semalam
telah reda pagi ini. Wanda sudah mampu bercanda lagi, walau candanya itu
membuat aku sebal.
“Jadi
bagaimana dengan bosmu? Apa dia mengijinkan aku bersembunyi di sini?”
“Dia
akan memutuskan setelah bertemu denganmu.”
“Kau
tidak bisa membantu membujuknya?”
“Oh
Wanda, kamu lupa statusku saja sebagai pelarian. Hingga dia mau menyediakan si
Boy sebagai penjagaku!”
Ups!
Apa aku berlebihan? Kulihat mata Wanda
membulat.
“Bagus,
jadi sekarang dia bisa berlaku lebih ekonomis, dan efesien, seorang boy menjaga
dua gadis pelarian. Bagaimana Boy?”
“Terserah
tuan Jan saja.” Si Boy, wajah leumpeung, suara standard, jawaban standard.
Tiba-tiba
aku jadi berharap agar pak Jan segera pulang dari acara Kamar Dagang Internationalnya di Berlin. Yah, dia baru
berangkat dua hari yang lalu. Tapi aku sudah merasa rumah ini sepi tanpa
kehadirannya.
“Ngomong-ngomong,
aku punya pertanyaan besar. Kenapa Tuhan sepertinya selalu menolong untuk
keluarga ibu Ratija yang asal usulnya tidak jelas, dan melakukan hal ilegal
karena menampung seorang mansis buron. Sedang keluargaku yang jelas-jelas
susah, dan hidup di dunia hitam Tuhan tidak mau menolong?” tanya Wanda
tiba-tiba mengehentikan canda urakannya.
“Karena
kau tidak pernah berdoa.” Kataku meniru gaya
bu Ratija.
“Aku
sudah sering berdoa. Tapi hidupku tetap susah. Karena itu aku hentikan segala
doa omong kosong itu.”
“PertolonganNya
yang akan turun, mungkin berhenti, begitu kau menghentikan keyakiananmu.”
Kataku masih dengan gaya
bu Ratija.
“Hahahaha....
kenapa kecepatan pertolongannya tidak ‘tepat waktu’?” Tanya Wanda melecehkan.
“Kata
siapa Tuhan tidak tepat waktu? Tuhan selalu tepat waktu, tapi kau tidak di sana . Kalaupun kau ada di sana , kau tidak pernah
menyadari kehadiranNya.”
“Haaa..
kau pandai sekali bicara! Aku lupa, kau anak sekolahan, dan aku anak jalanan.”
Wanda mengacungkan garpunya ke arahku.
“Dan
Wanda, jika semua doamu dikabulkan olehnya, apakah kau akan siap menerima
segala konsekuensinya?” aku tak mengacuhkan komentarnya tentang pendidikanku
yang sekedarnya. Seebenarnya kami sama-sama tak pernah mengenal sekolah.
Pendidikanku aku capai dari rumah saja. Dengan sebongkah computer, internet,
dan seseorang yang kaya akan pengalaman hidup, ibu Ratija. Tapi seorang Wanda
tak pernah melalui pendidikan apapun. Pendidikannya ada di jalan, di mana dia keluyuran
cari sesuap nasi.
Agak
lama Wanda terdiam. “Fiuh.... tak kusangka kau seperti seorang filsuf!”
“Aku
bukan filsuf, aku cuma gadis yang selalu berdoa...” kataku ajeg.
“Cuih!”
Wanda
meludah. Aku tersentak. Hah, dia ‘berani’ meludah di tempat yang sebersih dan
semewah ini? Apa dia tak bisa melihat perbedaan jalan dan rumah? Benar-benar tak sopan. Kutarik
nafasku untuk menahan marah. Kucoba resep ibu Ratija menahan amarah dan
kekurangmaklumanku...
‘Aku adalah kamu’, aku ingat nasihat ibu Ratija, agar kita
selalu peka dengan orang ain. kucoba aku selami Wanda.
“Kau
yang malang ,
yang gelisah, seolah dunia ini air comberan. Kau yang tenggelam menggapai
tanggan mencari pertolongan. Berdoalah bahwa tangan yang menolongmu dapat
mengangkatmu, bukan tertarik olehmu, oleh air comberan yang busuk dan hitam
pekat...” bisikku. Pasir di otakku riuh.
“Qon...?”
Tring! Wanda menjatuhkan sendoknya. Aku tak peduli dia bengong dan bingung.
“Tolong
bersihkan, Boy!”
“Oke,
nona.” Wajah Boy yang datar dan beku lebih menenangkanku dibanding wajah Wanda
yang kusut.
“Kau
sudah mandi?” tanyaku, kulirik jam dinding. Jangan sampai penampilan Wanda yang
kumuh memberi kesan buruk pada pak Jan.
“Sebentar
lagi bosku datang, berilah kesan bahwa kau gadis yang baik!” pintaku.
“Apa
aku harus berjilbab?” tanyanya selalu dengan nada melecehkan.
“Jilbab
itu bukan cuma untuk menutupi rambut tak terawatmu.” Kataku mulai jengkel.
“Yah,
aku mengerti. Bisakah kau pinjami aku baju yang sedikit seksi?” Tanya Wanda. Ya
ampun, dia ini memang ndablek. Dia
itu benar-benar sebongkah batu yang diberi nafas!
“Hah?”
gemas sekali aku melihat ketakpeduliannya.
“Oh
ya, tentu saja kau tak punya.” Katanya menyimpulkan sendiri.
Tuhan,
berapa kali lagi aku harus menarik nafas panjangku? Ibu Ratija, seputih apakah hatimu, hingga kau
mau menolong ‘sebongkah batu berwujud
cecunguk malang ’
ini dengan mengganggu hidupku?
“Aku akan ke kantor, kau akan di
sini sendiri, jadikanlah dirimu
berguna.”
“Lho kan ada si Boy?” dia piker Boy itu semacam
pembantu untuk di rumah saja?
“Dia ‘bekerja’ bersamaku.”
Jawabku dengan nada sombong.
“Hah?”
“Dan ingat ini: rumah ini
memiliki sistem keamanan yang hebat. Kau akan aman. Tapi juga kau tidak bisa
melakukan kejahatan apapun.”
“Ayo boy!” aku segera bangun dan
bergegas pergi.
“Yes bos.” Jawaban datar si boy,
kupastikan membuat mata Wanda semakin melotot takjub. Bu Ratija, bolehkan aku
merasa senang bergaya keren di depan Wanda?
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar