PUTRI.
17
JANIN
Hasrat sesatlah, yang membuat
cinta meluka
Melalui monitor laptopku, kutatap
wajah ke 9 adikku yang sedang tertidur lelap, ibu Ratija tahu aku sangat
merindukan mereka semua. Ibu Ratija merekam wajah mereka semua.
“Qonita,
kita harus akhiri obrolan kita malam ini. Kau harus jaga kesehatan dan
keamananmu. Kau nampak pucat dan loyo, Qon.” Katanya meraba layar monitor.
Wajahku seolah merasakan usapan
tangannya yang kasar. Tangan tua yang berpuluh tahun bekerja keras, dan bersentuhan
dengan aneka kimia tak jelas.
“Aku
ingin pulang.” Keinginanku terucap begitu saja. Aku si pandai menahan keinginan
sepertinya sedang melakukan penghianatan terhadap ketetapan perilaku ‘kebijakan pengendalian keinginan pribadi’.
“Oh, Qonita…” ibu Ratija tentu
merasakan hal sama. Karena aku adalah satu-satunya orang dewasa di rumah itu
tempatnya berbagi segala masalah. Maksudku, Yusuf itu tidak bisa 100%
menggantikan aku.
“Ah, lupakan bu, aku cuma
kangen.” Kugigit bibirku untuk menahan semua kata-kata rindu yang digaungkan
pasir di otakku.
“Kau harus sabar…” bu Ratija tak
melepaskan tangannya dari monitor. Di seberang sana dia pasti sedang meraba
wajahku di monitor.
Ya! Aku harus sabar, menahan diri
lebih hebat, karena aku punya rahasia baru. Rahasia besar yang harus aku simpan
sendiri. Yang entah sampai kapan aku mampu memikul kerahasiaannya.
Aku Hamil ibu! Aku ingin
memelukmu, menangis dipangkuanmu, merasakan belai hiburanmu, karena aku tahu,
kau tak akan memarahi, kau hanya akan kecewa.
Tidak, aku tak mau
mengecewakanmu, dan membuatmu lebih susah, menyita batinmu yang mengurus setiap
harinya akibat kesusahan hidup.
Aku harus menahan diri untuk
tidak mengatakan: ‘ibu, aku hamil, dan
aku tidak tahu siapa yang bertanggung jawab, apalagi bapak biologis anakku
ini’.
“Qon? Qon!”
“Ya? Yayaya…” ah ibu tadi cerita
apa?
“Situasi di sini semakin panas
saja sejak kau pergi. Untungnya ada
Yusuf yang membantu segalanya.” Senyum bu Ratija mengusir wajah loyonya.
Aku mencium bau bunga saat dia menyebutkan namanya. Yusuf.
“Alhamdulillah.
Sampaikan terima kasihku dan salam hangatku, ibu.”
“Pasti.
Assalamualaikum.”
Bip!
“Siapa
Yusuf itu?” tiba-tiba pak Jan sudah ada di belakangku. Aku tak tahu sudah
berapa lama dia ada –tepat-dekat-punggungku. Bagaimana mungkin sarafku yang
peka tidak bisa menangkap kehadirannya? Baunya! Oh, bagaimana mungkin aku tidak
mengacuhkan bau harumnya ini?
“Bapak
menguping pembicaraan kami?”
“Tentu
saja, Qon, kamu bertatap muka jarak jauh di dapur ini, dan aku ada di sini
sedang makan kudapan.”
Huh!
Betapa bodohnya aku. Untungnya tak ada pembicaraan rahasia diantara aku dan ibu
Ratija.
“Siapa
Yusuf itu?” Pak Jan mengulang pertanyaannya.
“Teman
baru, sukarelawan baru di rumah kami. Jangan Tanya lagi siapa dia. Saya tak
tahu tentang dia secara detil.” Kataku jujur. Smoga jawabanku menghentikan
pertanyaan dia tentang Yusuf. Yusuf adalah rahasia baru di keluarga kami.
Rahasia yang manis.
Untung
saja saat mengobrol dengan bu Ratija tadi, kami tidak melantur membahas pak
Jan, dan aku tidak konyol memberondong
pertanyaan pada bu Ratija. Pertanyaan tidak penting tapi cukup sensitif:
‘bagaimana caranya membuat pak Jan berahlak
mulia seperti Rosul? Dan berapa besar kemungkinan dia akan melamarku dalam
keadaan solehnya itu?’
“Qon...
kalau ibu Ratija tanya tentang perutmu yang membesar bagaimana?” Tanya pak Jan duduk di depanku meneruskan
makan kudapannya.
Mendengar
pertanyaan itu, aku jadi kaget.
“Qon...kenapa kamu selalu melamun?”
“Tidak
mungkin dia tanya tentang perutku. Aku kan
di depan monitar sebatas ini.” Kutunjukan arah dada ke atasku.
“Suatu
saat dia akan tahu.” Pak Jan menatapku tajam. Seperti biasa. Semula aku begitu
risih setiap bersirobok mata saat bicara. Tapi lama-lama, aku tahu, dan
melakukan penyesuaian hingga tatapan matanya tak lagi membuatku risih.
“Tapi
pada saat kami semua, dan seisi rumah itu sanggup dan bisa menerima beritanya.”
Kataku. Oh Tuhan tolonglah aku, siapkan segalanya…
“Kenapa
tidak sekarang?”pak Jan mulai mendesak.
“Karena,
ibu Ratija sudah sangat banyak memikul banyak masalah.” Jawabku.
“Ah?
Masalah apa? Disana sudah ada android yang bisa mengasuh adik kembarmu seperti
layaknya seorang ibu. Juga bayaran atas kontrak model iklan ini.” Pak Jan tahu
benar membuat lawan bicaranya tak bisa menjawab dengan benar.
“Berita
ini akan membuatnya sangat kecewa, pak. Saya adalah harapan tertinggi –saat
ini- di rumah kami.”
“Kau
tidak bisa menutupinya terus Qon.”
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar