PUTRI. 19
WANDA
“Tet!” belum sempat pasir
diotakku bergerak, kakiku harus segera melangkah. Itu pasti mereka. Kudengar si
Boy memeriksa tamu lewat kamera Bel.
“Selamat
malam, hendak apakah tuan dan puan
datang?” suara dan bahasa Boy yang standard pasti membuat kaku wajah di balik
pintu.
“Wanda!
Masuklah! “ kataku keras membuat wajah dongo di luar sana langsung berubah cerah. Aku sendiri
bingung kenapa Wanda hanya sendirian di sana .
Mana Yusufnya?
“Silahkan masuk.” Si Boy langsung
membuka pintu dan menutupnya segera setelah tahu bahwa aku mengenal mereka.
Tapi Boy tak lupa dengan protokol keamanan, lewat matanya, dia memindai apakah
ada alat atau benda tajam dibalik baju Wanda.
Wanda berdiri kaku. Dia nampak pucat.
“Qonita...” dan pingsanlah Wanda.
Menubrukku lunglai.
Ya
Tuhan dia bawa masalah apa lagi? Tidakkah Tuhan cukupkan aku dengan cobaan
masalah hamilku?
Si
Boy langsung mengangkutnya dan membaringkannya di sofa. Mengambil wewangian
untuk membangunkannya.
“Lho,
Yusufnya mana?” tanyaku bingung, begitu
dia siuman dari pingsannya. Otak pasirku mendesis. Hatiku berdesir saat
menyebutkan ‘namanya’. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin aku menanyakan ‘Yusuf’ bukan
‘bagaimana keadaan Wanda yang baru pingsan, dan mengenaskan’.
“Dia
harus segera kembali. Ibu Ratija memanggilnya pulang.”
“Perlu
saya kejar, nona?” tanya si Boy –datar- tanpa emosi.
“Oh
Boy sayang... sudah sangat terlambat.” Benar –benar robot android ini sering
membuatku keki. Tapi aku harus maklum bukan? Karena dia itu hanya sebongkah
android.
“Saya
pandai mengejar, nona.” Katanya dengan suara kaku.
“Ah,
sudahlah, tak usah.” Kejar dia cepat!
Hadapkan padaku agar aku dapat menatapnya dan kukatakan dari lubuk hatiku yang
terdalam : Terima kasih sobat-soudaraku-sayangku-kasihku... karena kau telah
menolong kami.
Tentu
saja aku hanya menggigit bibirku, menahan teriakan pasir diotakku itu. Sial!
Pasir-pasir ini berteriak dengan Toa! Entah bagaimana caranya. Hingga telingaku
mendengung.
***
“Aku tak menyangka selama ini
tetangga dekatku menyembunyikan manusia
buatan sehebat Yusuf.” Kata Wanda di tengah suapan sarapannya. Seperti
biasanya, gaya
makannya membuat aku risi. Mulutnya masih penuh, tapi dia terus melayangkan
sendok seisinya kesana. Beberapa kali ia selang dengan minum. Gaya terburu-burunya mengingatkan pada
perlombaan makan banyak secepatnya. Dia memang juaranya. Yang aku tak habis
pikir, tubuhnya tetap saja kurus.
Aku
menahan diriku agar tak bertanya tentang Yusuf pada Wanda. Wanda bukanlah orang
yang cerdas dalam menanggapi obrolan. Aku harus menjaga jangan sampai terjadi
kesalah pahaman.
Mulanya
kukira ibu Ratija juga terlalu ceroboh menolong Wanda dengan cara ini. Tapi
adakah jalan lain? Yang lebih cepat dan aman? Setelah mendengar kisah Wanda
semalam, aku jadi sedikit mengerti
kegentingan situasi semalam. Kuharap hilangnya Wanda dari sana tidak menyeret ibu Ratija dan
adik-adikku ke dalam kesulitan.
Jadi
aku banyak menelan kata-kata.
Sedang Wanda banyak menelan
segala makanan. Aku tak tahu, sebenernya sudah berapa lama dia tak makan. Tadi
malam kan dia
sudah makan banyak juga.
Aku
harus mencatat ini, jumlah yang dia makan berapa, agar aku bisa menggantinya
bila si Boy belanja nanti. Aku sudah melakukannya sejak awal. Aku tak mau
tinggal di sini gratis. Walaupun aku tahu buat pak Jan penggantianku itu tidak
ada harganya.
“Oh,
Ibu Ratija yang baik. Beruntunglah kau sejak bayi tinggal bersamanya.” Katanya
lagi disela kecipak makanan dalam mulutnya.
“Benarkah
tinggal di sini aman, Qon?” tanyanya lagi.
“Ya,
apalagi bosku memiliki si Boy.
Android serba bisa.” Aku menepuk punggungnya, lalu memeluk bahunya.
Si
Boy menengokku datar.
BERSAMBUNG...
W
Tidak ada komentar:
Posting Komentar