PANGERAN 16
BURON
“Sssstttt... Yusuf...! turunlah!”
Ah!
Apa telingaku salah dengar, tapi aku intip lewat pintu lantai ini, ibu Ratija
memang sedang menatapku. Tepatnya pintu ini. Dia pasti sudah tahu kebiasaan
mengintipku.
Jadi
akupun turun memenuhi panggilan bu Ratija.
Wanda
nampat kaget, dan takut saat melihatku turun.
“I...iiiii...ibuuu..?
dia...?” tanyanya takut-takut.
“Anak
hilang yang lain, anggota baru keluarga ini. Wanda kenalkan, ini Yusuf.”
“Hallo...”
Aku berusaha ramah. Aku sudah siap atas respon orang yang baru mengenalku.
Bukankah selama pelarian ini aku selalu menemukan wajah kombinasi terkejut,
ngeri, takut, jijik, hingga kasihan saat melihat atau bertemu denganku.
“Dia
monster? Mutan? Mansis?” tanya wanda gemetar.
“Dia
malaikat pelindung yang tampan di rumah kami.”
Jawaban bu Ratija sungguh membuatku mati kaku bingung. Tolong dicatat,
aku belum bisa membedakan mana sindiran, pujian, hinaan dalam basa-basi yang
membuatku bisu ini.
“Ha?
Ah ya tentu saja.” Kata Wanda tersenyum masgul. “Cuma kamu yang laki-laki di
sini.”
Barulah
aku tersenyum ngilu, ini lelucon ironis kami, jelas aku yang paling tampan,
karena hanya akulah lelaki dewasa dirumah ini selain si bayi Kembar.
“Dia
bisa mengantarmu, melindungimu agar kau sampai dengan aman di tempat Qonita.”
“Qonita?”
Tanya Wanda tak percaya.
Aku
juga bingung, bagaimana aku tahu tempatnya. Kulihat ibu Ratija menuliskan
sesuatu. Lalu memberikannya padaku. Dia mencatat alamat Qonita.
“Lalu
ayah?”
“Apa
kau mau menyelamatkan lelaki yang selalu menjerumuskanmu ke dalam kesulitan?
Ingat Wanda, yang menjerumuskanmu adalah ayahmu sendiri bukan Tuhanmu.”
Aku
membaca sekilas alamatnya.
Belum
selesai kami bercakap-cakap, pintu rumah digedor orang dari luar. Kami saling berpandangan. Itu pasti mereka.
Entah siapa.
Sepertinya
tembok apartemen ini memiliki banyak mata dan telinga, begitu ada yang
mencurigakan, pasti ada orang datang memeriksa.
“Usahakan
jangan sampai ada yang melihatmu!” Bu Ratija mencium kening Wanda. Juga
keningku! Itu adalah kebiasaannya jika kami semua hendak bepergian.
Aku
langsung menarik Wanda naik ke kamar atas, menutup pintunya. Lalu kukenakan wig
rambut warna hitamku.
Wanda
bingung menatapku. Tanpa kata aku jongkok dan memerintahnya untuk menaiki
punggungku.
Keributan
di ruang bawah membuat kami harus segera bergegas. Sepintas aku intip ibu
Ratija yang sedang duduk tenang di kursinya. Hebatnya wanita tua itu bergaya
tenang, menghadapi kegentingan ini.
Dia
menggendong Rahim menimangnya agar berhenti menangis.
“Ke
atas!” terdengar seseorang dari luar memberi komando.
Dengan
sigap aku memanggul Wanda di punggung, mulai merayap turun melalui jendela ke
jendela dan balkon-balkon apartemen-apatermen di bawah apartemen kami.
“Allahuma
yasir wala tu asir wabi tamim bi khoir...” kumohonkan perlindungan dan
kelancaran dariNYA.
“Kau…
ber… doa...?” bisik Wanda tepat ditelingaku. Suaranya bingung.
Tuhan,
masukanlah diriMu kedalam jiwanya yang sedang bingung ini.
***
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar