PUTRI. 17
JANIN
JANIN
“Aku sangat takut, apalagi dia
sangat menentang hal semacam ini. Menurut ibu, keadaanku yang seperti ini
mengacaukan silsilah seseorang. Mungkin –sekalipun- dari asalnya data-datanya
sangat jelas, bayi ini turunan siapa, tapi menurut agamaku, darah yang
tercampur menimbulkan banyak keraguan. Dan keraguan adalah temannya syetan.”
“Kalau
begitu gugurkan saja!” saran pak Jan mengagetkanku. Lelaki yang selama ini aku
hormati karena kematangannya dalam berpikir, bicara, dan bertindak, kini
tiba-tiba menjadi orang asing bagiku.
Oh!
Aku lupa, dia juga menjalani kehidupan
liar sebagai sepasang kekasih tanpa ikatan apapun dengan Maya. Jadi pikiran
seperti ini, semestinya menjadi wajar
berada dalam kepalanya.
Tapi tetap saja aku tak pernah menyangka,
setelah dua hari kami dalam diam dan
kekakuan, tiba-tiba saja dia bisa bicara seperti balon meletus begini.
“Astagfiruloh,
tidak pak.” Aku raba perutku.
“Gugurkan!
maka kau akan mendapatkan kehidupan normalmu lagi.”
“Memangnya
sekarang saya tidak hidup normal?”
“Oh,
Qon! Kamu baru tahu dua hari, tapi lihat perubahan besar yang terjadi. “
“Perubahan?”
“Kamu
sakit –jiwa dan raga-“
“Jangan
terlalu berlebihan, pak.”
“Kamu
tak berani keluar, bahkan hanya untuk
bertatap muka di monitor computer saja
kamu tak berani.”
Oh,
itu. Yah seharian kemarin, ada jadwal rapat jarak jauh antara bu Kim, aku, dan salah satu rekanan kami.
“Itu
karena...” aku belum menyelesaikan detil konsepku. Batinku malu.
“Karena
kau begitu takut semua orang akan tahu kau hamil di luar nikah?” suara pak Jan
menyerobotku. “Oh! Jaman ini hamil di luar nikah bukan –masalah memalukan- Qon!” NAH! Benar, pak Jan adalah ‘orang
jenis ini’.
“Saya
muslimah...”
“Memangnya
kenapa kalau kau muslimah, tidak bisa hamil di luar nikah? Ah, Qon, aku tahu
kealiman dirimu. Tapi kau sendiri ragu dunia luar menuduhmu, bahwa jilbab dan
baju gombrangmu hanya kedok kenakalanmu. Kamu takut tuduhan itu.”
“Rapat
jarak jauh itu...”
“Kalau
kau terus menarik diri, mereka akan curiga.”
“saya
belum siap.”
“Aku
rasa hanya orang gila yang mau menerima dirinya hamil, tanpa sebab atau alasan
jelas dari dirinya! Bahkan dia mau menerima janin itu tanpa tahu asal usulnya.
“Gugurkan
saja! Menurutku itu adalah hal yang paling masuk akal, bahkan manusiawi! Karena siapapun yang melakukannya pada dirimu,
dialah oknum yang tak memiliki sifat manusia sedikitpun.” Suara pak Jan penuh penekanan.
“Bayangkan
mereka melakukan pada seorang gadis, yang masih perawan. Apa mereka tidak
memikirkan cedera jiwa? Lalu bagaimana efek terhadap janin pada gadis yang
mentalnya tidak sehat?
Aku
melihatnya seperti orang asing. Maksud dia,
aku si gadis yang mentalnya tidak sehat?
“Jelas,
aku tidak rela kau mengalami hal gila seperti ini.”
Si Boy mengantarkan teh manis hangatnya. Kubisikan
doa, ya Tuhan berilah ketenangan pada jiwanya. Maklumkanlah dia atas kekacauan
yang aku sebabkan.
“Silahkan minum tuan.” Suara Boy,
kaku, standard robot.
“Minumlah
dulu pak. Saya mohon bapak yang tenang, semua ini harus kita pikirkan dengan
kepala dingin bukan?”
Belum
pernah aku mendengar pak Jan bicara panjang lebar dan meletup-letup seperti ini. Inikah buntut
kekakuan yang terjadi diantara kami dua hari ini? Kenapa bisa begini? Sejatinya
akulah yang merasa serba salah, malu, marah dengan semua yang terjadi atas diriku.
Dua
hari ini, bagaimana mungkin aku bertindak –ceria dan produktif- seperti BIASA
bila badai yang menerpaku benar-benar membenturkan aku pada dinding besi yang
dingin dan tak terpecahkan.
Berapa
kali sudah aku sembahyang ini-itu. Memohon-merajuk-sampai menuntut pada Tuhanku? Bertanya tanya tanpa mendapat jawab
apapun dari Tuhanku.
Kenapa
aku? Kenapa aku?
Aku
menarik nafas. Kamu pasti bisa melihat, mataku sembab akibat lelah memompa air
mata dua hari ini.
Pak
Jan menyesap tehnya sambil terus menatapku. Entah kenapa, saat seperti ini.
Saat-saat kami berdua, aku selalu menginginkan Maya ada diantara kami.
Sekalipun kehadirannya sering membuat kami tak nyaman.
“Pikirkan,
Qon, kau pasti tak mau anak –tak jelasmu-
itu menjadi bagian dari rumah Ibu Ratija bukan? Kau tak mau anak tak jelasmu itu menyandang predikat
nggak jelas seumur hidupnya bukan? Kamu juga pasti tak ingin anak nggak
jelasmu, kepahitan hidup seperti yang kau alami.”
Aku
hanya menggeleng kepala berulang kali. Aku dan sembilan adikkku sudah dan akan
terus kenyang dengan panggilan ‘anak
haram’ sepanjang hidup kami.
“Kamu
tak mau bukan teman-teman kamu, yang mengenalmu sebagai gadis alim, berjilbab,
bersih dosa, melecehkanmu akibat hamil
nggak jelas?”
Aku
hanya mampu menggeleng kepala. Yah, pada masa ini, buat gadis lain, kehamilan di luar nikah
adalah hal biasa. Ini adalah hasil propaganda sosial yang berbunyi:
*NARKOBA
LEBIH BURUK DARIPADA HAMIL DI LUAR NIKAH*
“Atau
kamu mau jadi contoh bagi adik-adikmu? Yang jumlahnya sembilan itu?”
Deg!
Aku langsung menggeleng-geleng kepala.
“Bagaimana?”
tanyanya, lagi.
“Saya
akan mempertahankannya.”
“OH
Tuhan! Bagaimana mungkin?” tangan pak Jan kiri kanan mengangkat ke atas.
“Seperti
yang bapak bilang, Tuhan memberikan ujian ini karena saya kuat. Jadi
insyaAllah, saya pasti bisa melaluinya.”jawabku setenang mungkin. Menahan semua
gedoran pasir di otakku yang bergerak panik mendengar semua desakan pak Jan.
“Kamu
serius, Qon?” Tanya pak Jan masih tak percaya.
“InsyaAllah,
pak.”
BERSAMBUNG....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar