PANGERAN.
20
TAMU
Jika seorang
penting mati, bisa menjadi sebuah
tragedi
Tapi Jika kami hilang atau mati,
kami cuma akan menjadi angka dalam statistik.
Ratija si ‘bukan siapapun’..
Ibu Ratija kedatangan tamu lagi!
Bisa kupastikan mereka itu preman, walaupun penampilannya rapi, tetap saja
kepremanan mereka dapat dikenali. Karena mereka memiliki penanda yang sama.
Tatto di punggung tangan mereka. Sebagai ciri kelompok mafia tertentu.
Biasanya
mereka memberi tanda tatto, sebagai pengganti kartu anggota seumur hidup. Untuk
mendapatkan tatto itu bukan cuma cukup kau mampu berbuat kriminal, membunuh
berdarah dingin, cerdik, culas. Tapi juga kau juga harus mampu untuk setia.
Sekali saja orang menghianati organisasi, itu artinya si penghianat
dikeluarkan dengan paksa. Sebuah ritual gila akan mereka lakukan sebagai
symbol ‘pencopotan’ keanggotaan. Si Penghianat harus mengalami pemotongan
pergelangan tangan mereka. Untuk
menghilangkan simbol setia yang ada pada tatto itu.
Itu
adalah hukuman yang lebih sengsara, dibandingkan harakiri secara paksa dalam
organisasi. Karena dengan lengan tanpa tangan seperti itu, sama saja kau
membawa catatan masa lalu yang hitam pekat, kemana pun kau pergi.
Tanpa
lengan itu akan sama dengan memberi tahu polisi bahwa ada penjahat yang ‘mudah ditangkap’ untuk menanggung semua
kejahatan gilanya di masa lalu. Dan untuk menjaga keamanan organiasasi, si
Penghianat akan dipotong lidahnya, hingga dia tak dapat bicara. Karena bila dia
tertangkap, dia dijamin tak akan mampu bicara membocorkan rahasia organisasi
pada polisi.
Tanpa
lengan, tak bisa bicara, maka tidak ada orang yang berani menanggung resiko
dengan menerimanya bekerja.
Ekonominya
terancam, rumah tangganya hancur, anak-anaknya menderita secara mental lebih
berat, lebih dari saat mereka tahu ayahnya anggota mafia.
Tanpa
lengan adalah bencana dengan efek
domino. Maka memilih mati bunuh diri setelah ‘pencopotan’ tatto secara tidak
terhormat, nampak menjadi masuk akal.
Kekagumanku pada ibu Ratija
semakin menggunung. Wanita rapuh itu bisa duduk tenang sambil menggendong
Rahman, menghadapi lima
orang preman yang mengaduk-ngaduk rumahnya. Sementara Yasmin si Android –dengan wajah datarnya-
menyusui Rohim.
Dinda,
Mufti, Ilalang ikut duduk mengelilingi
ibu Ratija. Mereka nampak tegang. Sedangkan Karin, Nisa, Ica , Muti berdesak-desakan bersamaku mengintip
mereka.
Seorang
preman nampak duduk diam, angkuh, dia pasti kepala regunya. Sementara yang lain
bergerak bingung, si kepala regu hanya
berpangku kaki, dan tangannya diatas paha. Hingga aku dapat melihat
tattonya.
Mataku
tak salah melihat tattonya. Tatto kupu-kupu. Gambarnya terasa akrab di
ingatanku. Oh! Mereka orang-orang yang berhubungan dengan Hutan Buatan!
Aku
ingat beberapa waktu lalu, di hutan buatan,
saat aku diperkenalkan dengan seseorang. Aku menarik tangannya saat
bersalaman, karena buatku, tattonya sangat menarik. Seperti kupu-kupu. Deg!
Tapi
di sini mereka mencari Wanda, bukan aku. Yah, mungkin saja, banyak pekerjaan
yang harus dilakukan mereka dalam suatu oraganisasi semacam ini. Pekerjaan
semacam pesanan rahasia, untuk pekerjaan rahasia, dengan objek rahasia, untuk
tujuan rahasia. Semua serba rahasia.
“Menurut
tetangga, kaulah yang paling mungkin menyembunyikannya.” Terdengar si pemimpin duduk angkuh. Dia
bicara tegas, dan tak sopan, karena menyebut bu Ratija dengan panggilan ‘kau’.
“Jika
tuan-tuan tidak percaya, silahkan tuan cari sendiri.” Bu Ratija berdiri membuka
pintu kama r yang lain.
Nisa
cepat membuka jendela dan menarik tanganku, memberi kode agar aku segera ke
luar. Tanpa kata, aku ikuti saja perintahnya. Ke luar melalui jendela di lantai
8 gedung ini. Merayapi jendela demi jendela. Merayapi balkon demi balkon,
menyeberangi atap gedung ke atap gedung yang lain. Hingga berbelok ke sisi
gedung yang lain.
Lalu
diam mematung di sisi balkon sebuah rumah kosong. Nafasku perlahan teratur.
Almatsurat terlantun rendah membisiki jiwa.
Terima
kasih Tuhan, telah kau pertemukan aku dengan ibu Ratija, dan menjadikan dia ‘jibril’ bagiku, mewahyukan almatsurat ini.
Karenanya,
aku bisa menenangkan jiwa, dan aku tidak lagi mengelupas sembarangan! Rupanya
di dunia ini ada juga yang hebat selain
dokter Rut.
Lama
aku menunggu, hingga Nisa mengirimkan pesan pada penyerentaku:
Aman.
Kembalilah!
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar