PUTRI. 19
WANDA
WANDA
Karena Tuhan selalu bersama
prasangkamu
Seperti biasa, aku keluar kantor,
berjalan ke arah yang ditunjukan Boy si android. Lalu aku akan melihat mobil
penjemputku, sekaligus Boy di dalamnya. Benar-benar kejutan, pak Jan ada di
dalam mobil, ‘menungguku’? Oh...
oh...
Tapi
melihat wajah dinginnya, dan senyum gamangnya, aku mengerti, dia sedang banyak
pikiran. Seperti biasa, aku duduk di depan bersama si Boy, maksudku, tentu saja
menjaga jarak dengan pak Jan,dan agar kejadian
tertidur di pundaknya tidak terulang lagi.
Sepulang
kantor, dengan kejutan seperti ini, kukira kami akan terlibat dalam pembicaraan
hangat. Apalagi kami sudah tiga hari tak bertemu. Tapi melihat situasi
dinginnya aku menahan kata-kataku. Berulang kali aku curi pandang lewat spion
wajahnya. Dia sedang menatapku. Tanpa senyum.
Oh...
apa ada yang salah?
Kejutan
kedua adalah kami makan malam di sebuah resto. Jadi bisa kau bayangkan
keadaanku ini. Kaget. Tapi juga cemas. Pak Jan
cuma bilang, ingin makan di sini. Titik.
Aku
pun menurut saja, sekalipun perutku tak berselera menyantap makanan itu. Tentu
saja seleraku terganggu karena aku sedang
hamil, trismester pertama. Fase muntah, kentut, sendawa, diare datang
tak menentu. Galau secara jiwa. Kacau secara biologis. Astagfirulloh... bukan
maksudku ‘mengkritik’ desainNya... itu
karena aku seorang gadis, yang sulit menerima perubahan hormon di tubuhku,
walau DIA sudah menciptakan segalanya sedetil-detilnya.
Sepanjang
acara makanpun pak Jan hanya diam. Makan, menatapku. Makan, menatapku, hingga
aku benar-benar salah tingkah, lalu mati gaya .
Kukira, dia akan melanjutkan ‘lamaran’nya itu.
Mungkin Tuhan mendengar doaku, hingga topik yang belum aku siapkan ini
terhindar.
Sepanjang
perjalanan pulangpun begitu.
Lalu
saat aku menemukan Wanda di kamarku, aku baru tahu jawabannya.
***
Muka Wanda penuh lebam, bahkan
ada bekas jahitan darurat di pelipisnya.
Wanda meringis sakit, hingga aku bisa melihat, gigi palsunya bergoyang.
Dia pasti baru bertarung habis-habisan. Kuhampiri dia dengan tergopoh,
sementara pak Jan memilih untuk berdiri di ambang pintu kama r.
Dia bersidekap santai, seolah ini bukan kejadian luar biasa.
“Oh...
apakah... apakah mereka menemukanmu... para mafia itu?” pasir di otakku memutar
, berdesir gelisah. Para mafia baru saja
berhasil masuk ke dalam apartemen bersistem keaman canggih?
Dia
menggeleng. “Kenapa kau tak cerita...”
“Apa?”
tanyaku cepat.
“Maya.
Bahwa dia pacarnya pak Jan bosmu itu.” Jawab
Wa nda di sela sesegukannya.
“Haaaaaaa...
sekarang senegeri ini semua sudah tahu
bahwa mereka sudah putus.” Glek! Kenapa ini menyangkut topik infotainment?
“Oh,
dia tadi datang.”
“Hah?maksudmu
kak Maya?”
“Kukira
dia maling, aku memukulnya langsung, tapi malah dia meneriakku maling. Dia mengoyak
baju yang kupakai sambil teriak histeris.”
“Baju?”
aku baru menyadari kalau Wanda mengenakan baju Maya yang disimpan di apartemen
ini. Walau kini penampakannya seperti gaun compang camping karena sobek.
“Aku...
aku menemukan baju-baju indah. Aku ingin memakainya untuk menemui bosmu. Aku
ingin memberi kesan....” Wanda melirik pak Jan.
“Menemukannya?”
jelas sekali aku tak percaya, aku hapal dengan tabiatnya. Karena beberapa kali
aku menitipkan cucian ke loundry, dia bilang bajuku hilang di loundry, nyatanya
beberapa kali aku pergoki dia memakai
baju-bajuku yang hilang!
Jadi
benar kekhawatiranku terjadi. Dasar maling.
“Tentu
saja dia kaget waktu aku pukul. Dan aku lebih kaget lagi karena ternyata yang
kupukul seorang pesohor. Lalu dia mengeluarkan semua kata-kata yang tak
kumengerti. Katanya ternyata dia salah menuduhmu, ternyata akulah selingkuhan
bosmu.” Wanda melirik pak Jan lagi. Wajah lebamnya nyaris menyamarkan kecantikannya.
Yah!
Pasti lebih pantas begitu, Wanda pasti tadi dalam riasan lengkap, riasan yang
menyembunyikan fisik penanda ‘kere’nya. Aku masih bisa melihat sisa-sisa
riasannya.
Aku
bisa membayangkan cantiknya Wanda, dan
bagaimana Maya terbakar api cemburu. Yup, Wanda lebih ‘masuk akal’ sebagai
selingkuhan pak Jan dibanding aku.
Astaga.
Apa yang aku pikirkan?
“Lalu,
setelah aku mengerti, aku pasrah saja menjadi sasaran amarahnya. Saat itulah
Boy datang dan mengamankanku. Boy memberi keterangan yang aku tak mengerti.”
“Apa
maksudmu?”
“Lalu
Maya mengambil semua baju-baju mahal itu. Dia
pergi dengan marah. Dia bilang akan menghancurkan hidup kami.”
“Dia
mengancam?”
“Mungkinkah
sehabis ini, akan ada tuntutan darinya? Apa aku akan tersangkut masalah hukum?
Aku hanya memukulnya sekali, sedang dia membuat dahiku sobek, dan gigi palsuku
hancur.”
“Oh?”
aku sama sekali tak memikirkannya ke arah sana .
“Kalau
aku sampai muncul di media gara-gara ini, itu artinya Ayah, dan preman-preman
dari klinik itu akan tahu tempatku...”
Wanda
tertunduk. Darah disudut bibirnya yang belum mengering menetes.
Oh,
Wanda yang malang !
Aku tak tahan untuk tak memeluknya. Dari
pantulan cermin di kamar aku melihat pak Jan berdiri di pintu bersidekap
menghela nafas. Pak Jan berbalik meninggalkan kami.
“Bosmu
orang yang baik. Apa benar dugaanku, bahwa kau dan dia memiliki hubungan
istimewa? Seperti yang dituduhkan Maya?” bisik Wanda.
“Oh?
Bagaimana mungkin?” glek! Tuhan ini
bukan teka-teki yang harus aku tanyakan pada si Boy bukan?
“Yah,
tentu saja tidak mungkin.”
Aku
menyesali jawabanku. Karena sensor dikepalaku terlambat memberi tanda bahaya: Awas Bahaya Wanda!
“BAGUS!
Kalau begitu, aku akan berusaha mendekati bosmu.”
Ah!
Wandaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...!
***
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar