PANGERAN. 16
BURON
BURON
“Tet!” Bel pintu rumah berbunyi,
itu artinya aku akan cepat naik ke kamar atas, lalu diam di sana untuk batas waktu tak menentu. Sampai
tamu itu ke luar rumah.
Dari
atas sini aku biasanya mengintai siapa yang datang.
“Wanda....
kenapa?” ibu Ratija tergopoh-gopoh menyambut gadis tetangga depan kami. Gadis
itu, seperti biasanya, tampil lusuh dengan jins belel dan kaos oblongnya,
rambutnya tergerai berantakan, di cat hijau lumut, bagian ubun-ubunnya sudah
memerah menampakan warna rambut aslinya, ujung rambut terpecah. Kulit bibirnya
pecah biru, matanya sembab, berkantung. Tapi semua orang tahu sekalipun ia
tampil kumuh, kecantikannya selalu terlihat.
“Masuklah!”
Aku
bisa mengintip gadis itu langsung memeluk ibu Ratija dan menagis di sana .
Lalu
Wanda menatap para kurcaci yang
memadati ruang tamu kami. Para kurcaci itu tertarik dengan kehadiran
Wanda. Di rumah ini, tamu selalu menjadi
hal istimewa. Sekalipun cuma seorang tetangga. Ibu Ratija nampaknya mengerti
dengan tatapan Wanda seperti itu.
“Nisa,
bisakah kau bawa adik-adikmu untuk bermain ke luar?” Pinta bu Ratija. Perintah
itu pasti karena ibu Ratija perlu bicara tanpa ada yang menguping.
Hal
seperti inilah yang menarik bukan?
Ku
intip Nisa menuntun 2 adiknya. Karin juga menuntun dua adiknya. Hanya tinggal
Yasmin si android yang tanpa malu,
menyusui Rahman di depan tamu kami.
“Ada apa?” tanya ibu
Ratija, begitu pintu apartemen ini menutup.
“Aku
gagal hamil.” Suara Wanda tertimpa suara tangisnya.
“Hah?”
kadang ibu Ratija memang nampak kurang pendengaran, tapi kukira kali ini
‘hah’nya, karena –dia tidak percaya.
“Mereka
telah membayar uang muka pada ayah.
kamipun telah menandatangani perjanjian. Tapi ayah telah memakainya
untuk membayar hutang judinya.” Wanda bicara lirih. Tapi aku si manusia buatan
bisa mendengarnya.
“Astagfirulloh.”
Ibu Ratija nampak kaget. “Kamu tidak pernah cerita...”
“Ingat
Ibu pernah cerita pada kami tentang tamu-tamu yang meminta Qonita, pertama
untuk membeli sel telurnya, lalu meminta
untuk dapat menyewa rahim Qonita?” Tanya Wanda.
Aku
harus berpikir lebih keras lagi. Ada istilah, dan cerita yang tak kumengerti
sama sekali. Memoriku mencoba bergerak cepat. Tapi gagal. Terburu percakapan
baru terdengar.
“ Tamu-tamu yang itu? Yang terus
datang? Yang terus menghubungi? hingga ibu merasa perlu menghubungi polisi?” bu
Ratija semakin bicara lirih.
“Ya, orang-orang misterius itu.”
Wanda mengangguk tegas. “ Setelah mereka gagal mendapat restu ibu, tanpa
sepengetahuanku, ayahku menemui mereka.”
Hening sejenak. Lalu tangisan
Wanda memecah keheningan itu. Membuat Rahim yang terlelap di ranjang bayi
terusik. Dengan ‘lembut’ Yasmin
mengambilnya dengan satu tangan.
“Ayah,
memaksaku menggantikan Qonita. Tapi sampai hari kemarin, aku belum hamil juga.”
Ibu
Ratija menarik nafas lega. Aku bisa mendengar kata ‘Alhamdulillah’ dari
mulutnya. Aku bingung. Sepertinya aku melihat sesuatu yang abstrak di otakku.
“Ibu,
tidakkah ibu lihat ini musibah baru bagi keluarga kami? Ayah akan dijebloskan
ke penjara karena hutang, dan aku dijebloskan ke penjara karena menyalahi
perjanjiannya.” Wanda menangis lagi.
“Bersyukurlah,
bahwa kau terselamatkan pencampuran darah yang tidak dihalalkan.” Suara ibu
Ratija yang tenang tak mampu menghentikan kecemasannya.
“Apa....?
ibu tidak mengerti juga?”
“Jika
kau hamil maka kau akan menanggung banyak penderitaan. Selain fisikmu, jiwamu
akan sengsara karena anak dalam rahimmu bukan buah cinta dari habungan yang
sah.” Suara bu Ratija tetap tenang. Seperti biasanya.
“Aku
sudah mempertimbangkannya.” Tangisan Wanda mulai reda. Dia bersuara dengan
jelas.
“Darah
yang tercampur darimu kepadanya dan sebaliknya penuh keraguan.”
“Apa
maksud ibu?”
“Dia
itu anak siapa nantinya? Anak ibunya yang melahirkan, atau anak ibu yang sel
telurnya dan spermanya dipersatukan entah dimana?”
Oh,
masalah Sperma! Dan hamil? Dan sel telur? Karena masalah inilah aku
berkesempatan kabur. Jadi masalahku ternyata banyak diderita oleh manusia
normal juga?
“Aku
tidak peduli. Jika gadis ‘miskin’ lain bisa melakukannya, kenapa aku tidak.”
Wanda berdiri dan bersidekap di depan bu Ratija. Menurutku, Ini sikap yang tidak sopan.
Tapi
apa hubungannya hamil, sel telur, sprema, dan kemiskinan?
“Astagfirulloh...
kau tidak bisa melakukkannya karena kau tahu segala keraguan, dan fatwa haram
di dalamnya.” Bu Ratija menarik Wanda untuk duduk kembali di kursi.
“Aku
tidak peduli.” Wanda tetap berdiri.
“Astagfirulloh...”
“Begitu
mudahnya ibu mengucap astagfirulloh. Apa jika aku ucapkan astagfirulloh
sesering ibu, aku akan terbebas dari kesulitan?”
Ibu
Ratija diam. Dengan lemah dia menggeleng.
“Rahimmu
adalah milikmu, Wanda, bagaimana mungkin Ayahmu membuat perjanjian tanpa ijin darimu?” Tanya bu
Ratija hati-hati.
“Jika
aku tidak mau melakukkannya, maka ayah akan menjual saya ke mucikari di rumah
judi tempat dia berhutang.” Wanda membanting tubuhnya di samping bu Ratija. Dia
menutup wajahnya dan tubuhnya mulai terguncang. Dia menangis. Lagi.
“Astagfirulloh..”
“Jangan
istigfar lagi! Buatku Allah tidak ada! Dia tidak pernah menolong sejak aku
dilahirkan. Jika ‘Dia’ ada, ‘Dia’ cuma memberi pilihan hidup untuk berbuat
dosa. Jadi pelacur atau tempat penyewaan rahim.” Wanda nyaris teriak. Suaranya
sarat luapan amarah.
“Kamu
bisa lari bukan? Atau kau bisa menginap atau bersembunyi di sini.”
Kurasa.
Bu Ratija terlalu emosional, dia tidak memperhitungkan aku yang statusnya juga
buron.
“Lari?
Ibu mau membantu saya lari? Kemana? Hahahaha... bagaimana saya ikut ibu? Untuk
berjalan saja ibu nyaris tidak mampu, bagaimana ibu mau melindungiku?”
Ibu
Ratija mengelus punggung Wanda dengan kasih sayang. Dengan mataku, aku dapat
menangkap air matanya menetes.
Dari
tawa pilu, Wanda mengubah suara jiwanya, dia menangis lagi.
“Mungkin
aku akan dijemput para preman rumah bordil. Atau aku dan ayah akan segera
melakukan transaksi lain. Menjual organ kami di pasar gelap.”
“Astagfirulloh.”
Bisik ibu Ratija. Sekalipun Wanda tak mendengarnya. Aku bisa, karena aku
seorang mansis, mampu melihat detil, dan mampu mendengar suara yang halus.
“Wanda...
malang benar nasibmu...” Ibu Ratija memeluk Wanda. “Aku akan berusaha
menyelamatkanmu.”
“Tak
perlu! aku ingin bunuh diri saja.”
“Tidak,
kau akan lari! Tuhan pasti membantumu.
Asal kau yakin!”
“Jangan
sebut-sebut ‘Tuhan’ lagi. Bagiku ‘Tuhan’ tidak ada. Karena ‘Tuhan’ tak pernah
mengurus kehidupan kami.”
BERSAMBUNG...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar