PUTRI. 19
WANDA
Dengan terburu aku buka komputerku. Benar, kutemui pesan segar
disana.
Pak
Jan: Bisakah tak kau pedulikan berita tentang
Maya, tadi?
Aku : tentu saja TIDAK
Pak
Jan: Kalau begitu bisakah kita menikah?
Oh, Tuhan apa pertumbuhan janin ini menciutkan
kemampuan otakku? Aku sungguh tak mengerti jalan pikiran Pak Jan.
Pak Jan hanya mengirim pesan via
internet, dia pasti tahu, aku keberatan menerima telephonenya di tengah jam
kerja seperti ini, apalagi mejaku dikelilingi oleh meja-meja para seniorku.
Sekalipun kami dipisahkan oleh papan partisi
setinggi dada.
Pak Jan: Hallo...
Aku :
maaf...? bagaimana tentang Wanda?
Pak Jan: Oh, ya Boy sudah menceritakan semuanya.
Aku : Boy?
Pak Jan : Dia tidak bisa tinggal dengan kita.
Aku
membaca kata *KITA* dengan istimewa. Pasir diotakku menyuarakannya dengan
intonasi tekanan bertenaga.
Aku : Aku ingin segera bertemu, pak.
aku harus bicara langsung padanya mencari cara
melindungi Wanda, sekalipun, mungkin lewat wawancara singkatnya, atau
pembisiknya si Boy itu, pak Jan menyimpulkan bahwa Wanda tidak patut ditolong.
Pak Jan : oh ya! Tentu saja aku juga rindu kamu.
Aku
tertegun membacanya. O-ooo, dia salah paham!
“kakak
Qonita ada kiriman bingkisan!” seorang office boy mengacungkan bingkisan
berpita merah.
“Wah,
dari penggemar nih?” tanya sebelah kiri.
Sekotak
coklat aneka rasa. Kubaca pesan dari pengirimnya:
Aku membayangkanmu makan
bersamaku, tapi kita berjauhan bukan?
*_*
Waktu aku lirik lagi, Pak Jan
telah menghilang dari sana
(monitor komputerku).
Kuketikan
pesan terakhirku: ‘Baik, aku akan simpan
coklatnya. nanti kita makan coklat ini sama-sama.’
Pasir
di otakku berdesir riuh kalang kabut.
Si Boy android itu telah melakukan wawancara
pada Wanda untuk pak Jan? Kapan?
Seingatku si Boy selalu ada dalam keadaan diam, tanpa kata. Yah, kecuali bila aku memerlukan jawaban
cepat semacam:
‘Boy
berapakah akar seratus tiga belas kali tigapuluhlima lalu dibagi tujuh puluh?’
‘Apa
nama ibu kota
pecahan negara X yang telah berpindah tempat itu?’
‘Jika
menstruasi terakhirku tanggal 5 bulan februari, lalu aku hamil, kapan
kira-kira/tepatnya aku akan melahirkan?’
Nyaris semua jawabannya
memuaskanku. Kecuali bila aku tanya.
‘Boy,
siapa Tuhanmu?’
dia akan mendadak bodoh.
Tapi bila kau tanya ini. ‘Boy, siapa yang tercantik di rumah ini?’
Dia selalu memberi tambahan kata
‘sial’: ‘SIAL! Nona Qonitalah yang tercantik!’ satu-satunya jawaban
yang paling manusiawi menurutku.
Aku tahu pertanyaannya bodoh,
tentu saja aku yang tercantik, karena di apartemen hanya akulah yang wanita,
awalnya.
Kamu juga tahu jawabannya di
apartemen kami, pak Janlah yang paling tampan, tak diragukan lagi. Tapi coba
tanyakan ini pada Boy:
‘Boy,
kau ini lelaki atau perempuan?’
‘Saya
android.’ Yah,
susah memang memaksakan status gender padanya.
Jadi bagaimana bisa Boy bertanya
pada Wanda? Dia itu diprogram untuk menjawab dan menuruti perintah, melindungi,
bukan semacam android investigator.
Lalu bagaimana informasi itu
sampai pada pak Jan? apa si Boy juga main internet sepertiku? mungkin saja,
walaupun aku belum pernah melihatnya.
Lalu seperti apakah hasil
wawancara atau investigasi si Boy dengan Wanda? Lalu disampaikan kepada pak Jan
‘Dari
penampilannya, dia itu –jelas- lebih cantik dari pada Qonita. Bila ukurannya
ketinggian hidung dan jidat. Kulit yang putih, mata yang indah, bentuk bibi,
leher yang jenjang.’
‘Tapi
kesehatannya:...Hati-hati pak, dia ada panunya. Jamurnya bisa saja mengkotaminasi
alat-alat di rumah kita’
(ini terlalu berlebihan)
‘Melihat
dari rambutnya yang dicat biru, tapi aslinya merah dan pecah-pecah, bibir pucat pecah-pecah, tumit pecah-pecah,
kulit kering pecah-pecah, Gigi palsu murahan,
wajah pucat, berat tubuh yang kurang, bisa dipastikan dia penderita gizi
buruk .’
‘Dia seorang piatu sejak umur tiga tahun,
ibunya meninggal karena AIDS’, ayahnya seorang penjudi. Kehidupannya sengsara.
Secara teknis, Wandalah yang jadi tulang punggung keluarga’
‘Dalam suatu program pencatatan
sipil, saat dilakukan test DNA, DNA Wanda berbeda dengan DNA kedua orang
tuanya. Banyak yang tak percaya dia bukan anak haram. Gara-gara *program
sialan* itu Hidupnya benar-benar
sengsara. Dia tak memiliki hak waris,
atau kebingungan saat pendaftaran sekolah, pengisian formulir jaminan sosial.
“Ayahnya
begitu frustasi, dan mulai menyalahkan almarhum istrinya. Kasihan sekali Wanda.
Padahal kasus seperti ini, bisa diselidiki lebih jauh lagi, bila ayahnya
berniat. Membuktikan bahwa –MUNGKIN SAJA Wanda seorang Chimera.[1]
“Hm,
tapi kita tahu bukan, jenis ayah yang bodoh, kurang wawasan, egois, tidak
memikirkan masa depan anak, dan miskin, tentu tak pernah berniat melakukannya.’
‘Sungguh
malang memang
nasib Wanda.’
‘Karena
ketakjelasan statusnya ini, dunianya seperti gelap. Sebagai ‘tulang punggun’
keluarga, dia mengusahakan apapun demi kupon air, listrik.
‘Kenapa
dia tidak bergabung di rumah ibu Ratija?’
‘Karena
jika dia bergabung di rumah ibu Ratija, maka ayahnya akan ‘makan’ apa?’
‘....kisah terakhirnya...’
‘....Pendidikannya sebagaimana Qonita, dia
melalui tahap pembelajaran di rumah. Tapi dia tak memiliki sertifikat
apapun...’
‘...Tingkat kepandaian, karena hidup
susahnya memaksa dia memutar kepala setiap harinya, dia menjadi nampak lebih cerdas dari
Qonita...’
‘...kesehatan jiwa? Yah tentu saja
dia nampak lebih normal dari Qonita, sekali lagi karena hidupnya ditempa di
dunia ‘nyata. Sedang Qonita? Sekalipun terlilit kesusahan, kurang gizi juga,
tapi dia diselimuti rasa aman dan kasih sayang di rumah ibu Ratija.’
“Trims ya, Nong!” terlonjak aku
dari kursiku. Ternyata aku-melamun- lagi.
Lagi-lagi aku melamun. Melamunkan wawancara si Boy.
Kulihat Kaleng coklat kosong
terpampang di depanku. Hah? Memangnya aku baru bagi-bagi coklat ini?
Oh Tuhan! Aku nggak
relaaaaaaaaaaaaa...!
***
BERSAMBUNG
[1]
Satu organisme yang memiliki dua set
profil genetik yang berbeda., misalnya profil DNA mulut berbeda dengan profil
DNA rambut dan darah.
Dalam jurnal kerdokteran, sepanjang sejarah, hanya
ditemukan 30 kasus manusia Chimera. Kebanyakan mati saat lahir, atau mati usia
muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar