Jumat, 02 Desember 2011

LES

Tanpa disadari Les sudah menjadi budaya bangsa kita. Sadar atau tidak kita sudah ada dalam tradisi Les. Les bisa diartikan: EKSKUL yang mbayar. EKSKUL yang ga Cool, EKSKUL yang penuh tujuan.
Jelas bangeut, Les telah menghidupkan berbagai tujuan:
  1. Agar nilai bagus pastinya. Karena dengan nilai bagus, raport bagus, dihareupkeun  si anak akan mendapat undangan universitas. (PMDK jaman 80an)
  2. Agar si guru les yang kebanyakan guru sekolah juga mendapat tambahan.
  3. Agar mendapat bocoran soal ulangan. NAH!
  4. Agar orang tua merasa –lebih aman- karena anaknya ada dalam *ekskul* yang jelas.
  5. Agar, setidaknya,  aliran gaji bulanan sampai ditempat yang benar, sehingga jika mati kelak, orang tua dapat menjawab pertanyaan saat dilakukan audit oleh mr Malaikat. Minimal bisa jawab: uang titipanNya disalurkan demi masa depan anak/umat, dan menambah kesejahteraan guru, orang yang harus kita mulyakeun.
Sedangkeun bagi pelaku murid les, ada efek lain yang terkadang lebih serius dan mengganggu akibatnya: *D*I*A*  :)
         
Terus terang saja, gue tak mengharapkan efek kimia yang terakhir ini. Tapi bagaimana lagi, sebagai  remaja normal, dalam pertumbuhan dengan kimia tidak stabil, sungguh gue tak mampu menolaknya. Apalagi mama, orang nomor satu dalam hidup gue mendorong gue untuk mengikuti les di rumah, sebut saja Mumun.
Mama begitu antusia ‘menumpang’kan gue les di rumah Mumun. Dengan pertimbangan, bubunya Mumun adalah sahabatnya. Babapnya Mumun adalah teman Tenis papa, Pamannya Mumun adalah mantan pacar tante gue. Neneknya Mumun adalah mantan guru agama papa gue. Dan iparnya bubunya Mumun peserta pengajian Namira. Jelas yang terakhir ga ada hubungannya. :(
Nah, mantap sekali bukan?  Mungkin mama juga berpikir, dengan Les kedekatan keluarga kami semakin baik. Atau jangan-jangan mama bermaksud menjodohkan gue... Alamak... gimana ya gue menjelaskannya?  Pokoke yang namanya Mumun itu ga bangeut.
Syukurlah, di rumah Mumun masih ada si Teh Iya, kakaknya Mumun yang manis.
Dialah,
Diaku itu.

Jadi hari ini gue di sini. Di depan madame Lola yang ngajar bahsa Asing. Bahasa Asing, elo-elo tahu duong kenapa mama gue ngebet bahasa Asing. Cuma karena satu kata yang slalu diulang-ulang mama: Globalisasi.

Pertemuan les pertama. Gue bener-bener ga bisa konsentrasi akibat si Teteh yang mondar-mandir antara dari mana ke mana. Ruang tempat kami Les itu, ibarat alun-alun di kota kabupaten yang dikelilingi oleh dapur, kamar mandi, ruang tamu, ruang tidur, jemuran, ruang tidur, selasar taman.
Waktu itu dikabarkan sekeluarga MUmun pergi tamasya, kecuali Mumun dan si Teteh. Dan sebagai putri tertua, tentu saja si Teteh mengemban amanah menjadi gantinya ibunya Mumun.
D*I*A,  pake daster, berhilir mudik antara dapur, jemuran, kamar mandi, Elo pasti membayangkan pemandangan seorang babu. Ga bangeut, ini adalah adegan terindah saat Les. Justure menurut gue daster dengan potongan sumper simpel saja, seperti itu justru menambah kesan seksi. Belom lagi rambutnya yang panjang disanggu ke atas. Seperti di cerita Geisya gitulah kecantikan lehernya.   ooooh alangkah beruntungnya suaminya kelak. Dia itu tipe wanita rumahan yang lebih hebat dari mama gue yang pekerja itu.
Jreng...! sepiring donat hasil karyanya terpapar di meja yang berantakan karena tebaran buku kamus, dan kertas. D*I*A menawarkannya dengan manis dalam bahasa Asing yang sedang kami pelajaran. Lalu si Madame dengan bangganya bicara bahasa Asing lebih panjang dari D*I*A. Dasar sombong!
Jadi aku ambil donat kentangnya yang lembut, dengan bluebery yang bisa muncrat kalau tergigit. Ough... manis sekali, inilah untungnya Les gaya rumahan, bisa nemu ‘bonus’ tak terduga. Sesaat D*I*A ngobrol dalam bahasa Asing dengan si madame. Jadi gue bisa menikmati wajahnya, dan bagaimana bibirnya yang tebal dan basah itu membuka-menutup. Ough.... sudah pandai bahasa Asing, pandai membuat donat pula.
Tapi pas melihat Mumun. Selera gue langsung mati. Dia –pasti-dengan-sengaja- mengeluarkan ingusnya dengan keras.

Pertemua Les kedua. Jelas bangeut Les rumahan dengan bonus tertentu tidak selamanya baik. Terlebih bila keluarga yang kita tempati tipe keluarga ‘bebas’ moderat, demokrat, what ever you say lah. Bayangkan, sementara si madame bervolume sopan, Adiknya Mumun dan tiga orang temannya menyanyikan semua iklan di TV, sementara babap  dan bubunya Mumun sedang berdiskusi tarik ‘urat-sarap’ tentang bagaimana negara membiarkan Nunun pergi jauh meninggalkan banyak urusan penyidikan dan peradilan. Yang gue yakin, si Nunun itu bukan apa-apanya keluarga ini.
Tapi jelas bangeut, perseteruan bubu dan babapnya Mumun lebih menarik tinimbang topik –kata kerja-kata benda-kata sifat- bahasa Asing. Bahkan lebih menarik daripada talk show TV pinter sekalipun. Karena di ujung debat, bubunya Mumun yang kalah debat, akan mencubit dengan gemas dada papanya Mumun, yang menurut gue ukurannya lebih besar dari pada punya si Mumun.
Lalu mereka yang tadinya di ruang TV itu pindah ke selasar, depan ruang les ini, dan melakukan adegan mesra, seolah mereka lupa ada les di ruang ini. Bermesraan Di depan gue, pria remaja, dalam masa pertumbuhan dengan kimia tidak stabil.
Jadi elo sekarang ngarti kan? Kenapa gue susah berkonsentrasi? Karena otak gue sebagiannya sudah dikerdilkan akbat pikiran jorok, akibat pemandangan kurang sopan yang minimal gue dapat 4 kali per bulan di rumah si Mumun. Adegan yang gue ga pernah liaht di rumah gue sendiri! Eh, sebenarnya, mereka sih masih agak sopan ya... sekedar ciuman saja. Yang berat adalah otak ini suka membuat visualisasi jauh dari itu.

Pertemuan les ke dua belas, dikacaukan oleh acara renang adiknya Mumun dan tiga temannya. Sebenarnya, seharusnya gue ga terganggu, karena pintu yang membatasi selasar dan ruang les ditutup, lengkap dengan tirainya. Bayangin, kolam karet berdiameter satusetengah meter itu dipolahi anak2 kecil. Jangan tanya tentang berisik. Lalu terdengar suara D*I*A “ sssttt... ssstttt.. jangan berisik ada yang belajar!”
Dia memang sopan ya, tapi otak gue sama sekali ga sopan, apalagi saat terdengar dia tercebur akibat ditarik adiknya. Aku Cuma melihat sendalnya di lantai selasar. Tapi seperti biasa, otakku bekerja tidak semestinya, sok aktif, dia (otakku) memvisualisasikan keadaan dibalik pintu selasar ini.
:D
Pertemuan Les ke  dua puluh empat, tidak jauh berbeda dengan les-les sebelum.  Jadi tidak  aneh saat rapot bayangan dibagikan, dan mama membaca nilai bahasa asing gue kurang dari  KKM.
“Lho kok?”
“Hehe.” Gue mesti bilang apa? Keluarga sahabatnya, yang ibunya mantan gurunya, yang adiknya mantan si tante, ternyata rumahnya sama sekali ga layak buat menyerap pelajaran?  

Translator: