Kamis, 29 September 2016

TELELOVE 71

PUTRI. 23


PREMATUR



Oh, Tuhan! Segala perkataannya tiba-tiba saja menjadi masuk akal dan masuk hati. Lalu kurasakan perutku kontraksi, pasti karena aku tadi terlalu bertenaga memukulinya.
            “Qon...?” pak Jan memandangiku dengan cemas, pasti karena kerutan wajahku yang menahan sakit.
            “Menjadi parasut untuk menyelamatkan aku?” Perutku begitu nyeri. Pasti ada yang salah dengan dialog ini.
            “Ya.” Jawab pak Jan yakin, aku bahkan bisa melihat keyakinan  itu pada tatapan matanya.
            “Aku tidak perlu parasut, aku punya telpon genggam!”                                                                      
            “Qon?” matanya meredup, bingung, dan kecewa.
            Tuhan, semoga jawaban ini benar untukku. Aku tak ingin sebuah pernikahan hanya karena aku mengandung anak tak jelas. Aku tak ingin belas kasihan siapapun.
            “Apa maksudmu?” pak Jan pasti mengerti apa maksud jawabanku, karena dia adalah seorang bijak, dewasa, dan cerdas.
            “Maaf pak, Aku bisa memanggil siapapun untuk menolongku.”
            “Qon...” tatapannya patah.
            Pasir diotakku yang sejenak hening, perlahan bergerak sendu. Mereka mengantarkan  rasa ngilu. Anehnya, perutku yang semula kontraksi, seolah bayiku yang tadi turut  marah dan memeras uterusku, kini tenang.
            “Kau tidak perlu terburu menjawabnya, Qon. Mungkin kau masih bingung.” Pak Jan si pria dewasa yang patah, dengan cepat meraih ketenangannya kembali.
“Perutku...” aku mencoba melepaskan tangaku dari pegangan tangan pak Jan. Oh Tuhan! Syetan nomor berapakah yang berhasil membuatku lupa? Berpegangan tangan dengan bukan muhrim, dalam waktu yang lama, dengan tatapan yang dalam. Dan jarak kami yang sedekat ini.
Ding-dong!
Tapi kini aku tak mampu untuk tersipu malu lagi. Rasa ‘jatuh cinta’ itu secara ajaib, benar-benar lenyap. Pasti karena Tuhan telah mengabulkan permintaanku, agar aku tidak jatuh cinta dengan orang yang salah. Sekalipun sesempurna pak Jan. Aku selalu ingat isi doaku yang kulantunkan jika aku jatuh cinta:
‘Tuhan, jauhkan ia bila ia bukan jodohku.’
Kupikir aku harus mengganti redaksi doanya, karena ternyata aku serumah dengan orang yang –dulu- aku jatuh cinta padanya. Jadi doaku seperti ini.
‘Tuhan, jauhkan hatiku, bila ia bukan jodohku.’
Hari ini aku merasakan Tuhan telah menuntun jawabanku. Sekalipun aku masih bingung. Setidaknya aku telah mampu mengatakan ‘tidak’. Sekalipun keadaanku serba terhimpit. Tentu saja pertimbanganku yang pertama dan terpenting adalah karena dia bukan seorang muslim.
Karena pak Jan seorang agnostik, aku sudah memutuskan untuk membatalkan jatuh cintaku.
Pak Jan memandangku khawatir. Tentu saja dia tidak tahu, bahwa sakit perutku telah lewat beberapa detik lalu.
“Dia pasti mendengar pertengkaran kita.” Aku mencoba tersenyum.
            “Tidak, dia pasti melompat gembira mendengar lamaranku.” Pak Jan tersenyum semringah. Tangannya begitu berani membelai perutku. Seolah dialah ayah bayiku yang diliputi kebahagiaan. Tentu saja aku spontan menolak kehadiran tangannya di perutku. Sejenak dia kaget, tapi lalu mengerti, tangannya lepas pasrah.
            Perutku mengecang lagi, pasti karena sentuhan tangannya. Nyerinya membuatku spontan mengerang.
            “Sakitkah?” pak Jan semakin cemas. Aku menahannya dengan isyarat agar ia rtidak mendekatiku. “Pak, menjauhlah, bisa saja  Wanda tiba-tiba muncul dan curiga.”
            “Lalu kenapa? Bukankah kita akan menikah?”
            Oh Tuhan! Apa tadi jawabanku belum jelas?
            Bayiku memeras uterusku lagi. Apa dia marah? Atau dia senang? Dengan semua yang aku alami ini.
            Tuhan kuatkan aku!

***


BERSAMBUNG

Rabu, 28 September 2016

TELELOVE 70

PUTRI 23


PREMATUR




Semakin besar, semakin sering kontraksi, dan aku semakin bingung.” Jawabku jujur.
“ Kita tak bisa lebih lama lagi seatap dengan Wanda.”
Ya pak, kami akan secepatnya keluar.” Apa katanya ‘Kita’? tapi aku pura-pura tak mendengarnya. Buatku, pak Jan adalah orang nomor satu yang harus aku jauhi.
Bukan kamu, tapi dia.”
Mungkin kami  harus kembali ke rumah untuk mendampingi ibu Ratija.”
Tidak! Pasti ada jalan lain. “
Bagaimana caranya? Jalanku buntu.”
Kau sudah memasuki rumah melalui sebuah pintu, lalu pintu itu terkunci. Kau masih bisa membuka jendela bukan?”
Aku sudah temukan jendelanya, tapi dibawah jendela itu jurang curam, aku bahkan tak bisa melihat dasarnya.” Pasir di otakku sepertinya bisa menangkap perumpamaannya.
Aku sediakan parasutnya. Qonita menikahlah denganku.” Katanya sambil mengeluarkan kotak beludru merah marun.
Oh Tuhan… hentikan kekacauan pasir di otakku! Aku pasti sedang mengalami dilusi audiovisual. Seperti  biasanya.
            “Qon…”          Pak Jan mengambil cincinnya. Lalu menarik tanganku dengan  paksa dan memasukan jariku ke cincinnya.
            Tentu saja aku kaget, gemetar. Pasir di otakku bertambah kalut. Riuh membadai, menghapus semua jejak sejarah yang ada disana. Untuk sementara otakku berhenti.
            “A-apa karena si Boy?” separuh jejak ingatanku yang baru terhapus tiba-tiba menyeruak. Badai pasir di otakku reda.
            “Boy?”
            “Karena melaluinya bapak dapat melihat ‘keaslian’ saya...” kini tangganku mengepal keras. Jadi benar pak Jan seorang pedofilia?! Dia menyukaiku karena pernah melihatku tanpa jilbab, juga dalam kostum renangku, sekalipun kostum renangku tertutup... tapi aku yakin tampilan basahku mampu membangkitkan hasrat sesatnya.
            “Dasar biadab!” Aku tak dapat menahan  lagi tinjuku yang aku tahan sejak tadi. Aku pukuli dia, dia tak membalasku sama sekali. Tentu saja badannya yang tinggi atletis serba otot itu sudah cukup menjadi pertahanan bagi serangan tinju seorang gadis yang mungkin untuk tinju kelas bulu pun aku sudah gagal dibabak kualifikasi.
            Tak puas melihat dia diam, aku tarik lehernya, aku mulai menarik rambutnya. Barulah dia menjerit-jerit.
            “Aaagggrrrhhh! Astaga! Sakit Qon!”
            Aku semakin bernafsu menghabisinya. Matilah si pedofilia ini, kriminal mesum yang seharusnya diberantas. Hanya neraka jahanamlah tempat yang tepat bagi penjahat jenis ini.
            Aku mulai menggigit tangannya. Dia makin menjerit. Hahaha! Tuhan ijinkan aku mengumbar nafsu iblisku, membalaskan dendam yang aku tak tahu berapa jumlahnya!
            Kini aku mengerti kenapa dia sama sekali tak tertarik dengan keseksian dan kecantikan Maya, juga gaya seronok Wanda.
            “Qon! Qon! Dengarkan! Kau salah paham. Memang karena Boylah aku jadi jatuh cinta padamu! Karena melalui matanya aku bisa mengetahui pikiran-pikiranmu, tingkah-lakumu, kelembutan hatimu, keceriaanmu sekalipun kau terjerat dalam kesulitan. Kepribadianmu selalu membuatku takjub setiap harinya.”
            Dia nyaris bicara teriak. Tangannya yang kekar mengunci tangan ringkihku. Matanya menatapku, dalam. Kami begitu dekat. Segalanya membuat perasaanku tak menentu
            “Aku semakin mengenalmu, saat aku mengunjungi apartemen ibu Ratija. Kasih sayangmu, kehangatamu, begitu kental aku rasakan jejaknya di sana Padahal aku tahu, kau juga sama nasibnya dengan semua yang bernasib sial yang ada di sana.
            “Ketabahanmu menghadapi penindasan Maya yang membuatku gemas. Kedewasaanmu menghadapi Wanda yang menyebalkan. “

            “Qonita aku mohon, menikahlah denganku. Aku adalah parasut yang tepat untukmu dan bayimu. Aku sangat siap menerima bayi ini.”



BERSAMBUNG

Minggu, 25 September 2016

TELELOVE 69


PUTRI. 23



PREMATUR


Jadi Wanda dengan sikapnya yang biasa itu. Biasa tebar pesona, biasa banyak lagak, Biasa centil,  jatuh cinta berat pada pak Jan. Dia menderitaan kebutaan. Namanya buta cinta. Cinta butanya  telah membuatnya lupa dari mana dia berasal. Tak heran bila Maya  melayangkan tinju padanya karena sifat ‘biasa’ berlagaknya ini.
            Sementara aku bingung dan marah harus memperlakukan pak Jan seperti apa. Di satu sisi aku bergantung atas perlindungannya, di sisi lain aku begitu marah, kesal, jengkel mengetahui bahwa pak Jan –bisa saja- selama ini mengamatiku saat dia tidak ada bersama kami. Aku sangat berharap, bahwa kesibukannya akan mengubur segala kejahilannya dalam memata-mataiku.
            Kuhela nafasku panjang. Kucoba tenang. Kuatur gemuruh marah, malu, kesal, yang membuat kacau semua  pasir di otakku. Kutenangkan diriku di depan cermin.
 Tenanglah! Aku adalah orang yang tidak berkelas, aku pesek, aku  nonong, aku kuno, aku hitam, aku tidak seksi, bahkan fisikku yang kecil, gagal berkembang, entah karena genetis, atau  kurang gizi. Menurutku nilaiku adalah minus 3 dari skala keseksian 1-10. Tak ada sesentipun dari diriku yang dapat menarik hatinya, yang dapat membangkitkan gairah kejantanannya. Cukup?
            Dari cermin aku melirik ke arah pak Jan yang sedang bekerja di balik laptopnya. Ternyata dia sedang menatapku! Ya Tuhan.
Kualihkan pandanganku pada Wanda yang –biasa berlagak-  ‘tertidur’ di sofa depannya, tentu saja dengan baju tidur yang seadanya. Itu adalah baju tidur Maya yang tertinggal di loundry apartemen ini.
            Aku coba melirik lagi pada pak Jan, dan dia masih menatapku. Bukan melihat Wanda dengan pose yang menggiurkan itu. Apa benar pak Jan tipe pria yang bisa menjaga kehormatanya? Tapi kemudian aku melihat dia berjalan mendekati Wanda. Lalu membungkuk, wajahnya begitu dekat dengan Wanda. Ah! Si Wanda pasti bersorak dalam  hati. Pak Jan mau mencium Wanda? Hah? Apa dia lupa bahwa aku ada di depannya? Atau dia sengaja melakukannya? Untuk apa?
            “Dia benar-benar tidur.” Pak Jan menunjukan aliran air liur Wanda kepadaku. Wajah pak Jajan berkerucut, memberi isyarat jijik.
            Oh Wanda! Aku tak tahu harus tertawa atau prihatin. Aku bergegas mengambilkan selimutnya dari dalam kamar, lalu menyelimutinya.
            “Aku perlu bicara padamu.” Pak Jan memberi isyarat padaku untuk ke balkon. Dia tentu menjaga agar Wanda tak dapat mendengar percakapan kami.
            Tanganku mengepal keras. ‘Aku perlu meninjumu.’ Seandainya aku bisa menyuarakan jerit pasir di otakku.
            Lama kami saling diam. Memandang pemandangan kota yang suram dari balkon mewah kami. Tak ada yang istimewa. Cuma gebyar  tampilan-tampilan  iklan tiga dimensi yang sesak sibuk membuat dirinya lebih istimewa dibanding dengan iklan disampingnya.
            Gelora kemewahan yang dipajang itu menghianati kehidupan gembel dibawahnya.
            “Lihat orang gila itu!” pak Jan menujuknya. Aku hanya menggangguk.
            ‘Qonita! Dia sedang mengalihkan dendammu! Waspadalah! Aku ingin kau meninjunya, bahkan kalau mungkin, mendorongnya dari lantai ini!’
            ‘Ingat, mungkin dia mengintipmu waktu kau berenang di jam khusus itu!’
            Pasir di otakku riuh seperti di ruang sidang parlemen saat dengar pendapat perlu tidaknya harganya BBM dinaikan.
“Dulu sering kali aku ingin tertawa seperti mereka, lepas dari penderitaan dunia.” Pak Jan memulai percakapannya.
“Kenapa? Kelihatannya kehidupan bapak sangat baik.”
Pak Jan menggeleng. “Dulu saya tidak pernah bisa tertawa lepas, Qon.”
 “Bagian hidup bapak yang mana yang bapak sebut menderita? Hingga tak bisa tertawa?”
“Sebelum aku mengenalmu.”
Lalu senyap. Mungkin dia mendengar bunyi ‘glek’ saat aku menelan ludah.
‘Awas Qon! Dia merayumu! ‘
‘Setelah melihat gambar-gambar *pornomu* hasrat lelakinya bangkit, bukan karena kau seksi, tapi karena kau kecil, seperti anak-anak!’
‘Ya, bisa saja dia seorang pedofilia! Dan kebanyakan dari mereka, melakukan hal sadis terhadap korbannya!’
Dengar! Pasir di otakku riuh memperingatkanku, menakut-nakutiku, sambil menghinaku! Ya, karena pak Jan tidak normal, dia mungkin tertarik padaku.
“Maksud bapak, saya seperti badut?”
“Kadang- kadang.” Dia menengok kearahku, dan tersenyum. Sungguh menawan.
“Tapi seringkali sejak kau ada, aku bisa tertawa lepas seperti orang itu. Orang gila yang melepas tawa tanpa jiwanya dengan bebas.”
“Pasti kepahitan hiduplah yang membuat Allah membebaskan dirinya dari penderitaan dengan kegilaan seperti itu.”  aku mencoba mengalihkan pembiacaraan yang mulai membuat aku kacau.
“Sedang kau mengembalikan manisnya kehidupan  kepadaku.” Katanya sambil menatapku. Dia benar-benar berhasil membuatku salah tingkah.
Aku bingung, harus meninjunya atau menjadi tersipu malu dengan rayuannya. Akibatnya adalah perutku yang mengeras. Kuraba janinku.

“bagaimana perutmu?” pak Jan terlihat sedikit cemas, seperti biasanya..





BERSAMBUNG 

Sabtu, 24 September 2016

TELELOVE 68

PUTRI. 23
PREMATUR



Semesta ini tak pernah memiliki sudut,
Tapi sudut pandangmu mungkin dapat mengubahnya
           
Kehadiran Wanda di apartemen ini seperti  biokatalisator [1]kekusutan hidupku yang sedang berlangsung. Aku bingung dengan reaksinya  atas penemuan spektakuler kami.
            Bahwa si Boy adalah jenis robot android yang bisa dikendalikan jarak jauh, sekaligus menjadikan ‘mata’ bagi pemiliknya. Sungguh teknologi yang luar biasa.
            Wanda sepertinya melancarkan aksinya. Berlagak seksi di depan si Boy, pura-pura dia tak menyadari bahwa kelakuannya bisa dilihat, dipelototi, oleh sepasang mata. Mungkin Matanya pak Jan secara tak sengaja menangkap tayangan porno ini. Tak mungkin pak Jan yang sesibuk itu akan memeloti monitor pengawas melalui kamera yang tertanam dalam mata si Boy.
            “Wanda, percuma kau berlagak seksi, sementara di seberang sana pak Jan sedang sibuk.” Bisikku malu sendiri melihatnya hilir mudik dengan bikini di ruang tamu, dapur, padahal kolam renang gedung apartemen ini ada di lantai 2 lantai di atas apartemen kami.
            “Tapi dia kan bisa memeriksa rekamannya.”
            Nah! Aku harus bilang apa pada seorang narsis seperti ini.
            “Wanda, kau tak  takut tayanganmu beredar di media maya? Atau televisi?” tanyaku penasaran dengan tingkat narsisnya.
            “Hehehe, kau memang pengiklan yang baik. Jika demikian, aku siap menunggu kontrak kerja sebagai bintang model produk tertentu. Setidaknya semakin banyak orang yang melihat kecantikan dan keseksianku semakin bagus.”
            Oh! Wanda  benar-benar berada  di tingkat 15, pada skala narsis 1-10.
            “Dasar bodoh! Bisa saja juru peretas mafia kupu-kupu menangkap siaran langsungmu, lewat mata si boy yang sedang mengirimkankan tayangannya kepada pak Jan! Para pengejarmu yang jaringannya internasional akan datang ke sini semua untuk menangkapmu!”
            “Oh...?” Wanda menghentikan gerakan centilnya. Dia  terkejut. “Tapi jika memang demikian, kenapa aku masih –aman- di sini? Kalau memang dia berniat melindungi kita, pasti si Boy di program untuk merahasiakan keberadaan kita juga, bodoooh.” Dia menekan telunjuk yang ramping nan indah  ke jidat mancungku.
            Jelaslah kini aku yang  kehabisan kata-kata. 
***


bersambung




[1] Senyawa kimia yang dapat mempercepat terjadinya suatu reaksi.

Kamis, 22 September 2016

TELELOVE 67

PANGERAN 22


KEMBALI KE ASAL



Di pohon yang terguncang-guncang itu, aku  lihat gerombolan burung Pelikan buatan terbang spontan, tanpa rencana. Terbang hanya berputar-putar di langit hutan buatan yang dibatasi oleh kaca polymer  berpori.
Mereka pun  berteriak kalut. Nampaknya mereka ingin menembus langit hutan buatan yang ‘pendek’ itu. Mereka pasti ingin sekali terbang ke langit yang sebenarnya.
Ke manapun mereka terbang, mereka hanya akan melihat hasil aksi terror gila para pemburu itu. Mereka itu cuma ada di hutan buatan.
Jika para ilmuwan menginginkan hormone  adrenalin sebagai hasil sampingan industri biologis ini, maka kali ini mereka benar-benar telah berhasil melakukannya. Hanya saja mereka harus memikirkan bagaimana cara mengambilnya, mengumpulkannya, atau memanennya.
Hutan buatanku menjerit pedih. Pikiranku kalut. Aku –pasti- akan mengelupas lagi.
***

Aku harus tenang! Kupejamkan mataku, kusenyapkan rimba pikiranku. Jantungku terasa berdetak kencang. Ya Tuhan, tolonglah aku, hanya Engkaulah yang mampu menahan setiap mili epidermisku meluruh. Hanya Engkaulah yang dapat menahan setiap selku mengejang.
            Takdirku ada dalam genggamanMu.
Aku pasrah.
            Lima detik. Lima menit. Aku berhasil menahan kekalutanku. Ibu Ratija! Kenapa aku selalu lupa ini? Aku harus selalu ingat nasihatmu:
hanya jiwa yang pasrahlah yang dapat merdeka dari segala penderitaan.’
Ya, baru beberapa hari aku tidak disamping ibu Ratija, aku sepertinya hilang kendali . Emosiku mudah sekali dipermainkan oleh keadaan, hingga aku mengelupas kapanpun sarafku menginginkannya.
Aku tahu, seharusnya bukan karena ibu Ratija aku jauh lebih terkendali, tapi karena jiwaku yang seharusnya menerima takdirnya, ikhlas atas segala anugerahNya. Aku harus selalu ingat, bahwa Tuhanlah penggenggam jiwaku.
 Dialah yang mampu membuatku lega dalam kesesakan. Dialah yang membebaskanku dari takdir keterbatasanku. Dialah yang menyempurnakannya dari ketaksempurnaan tubuhku.
***

Belum habis lelahku setelah perjalanan yang cukup jauh, melalui berbagai kejadian yang membuat sel-sel sarafku terkejut menyaksikannya. Kini kejutan ini terpampang di depan pengelihatanku. Dari atas pohon Mangga  di depan pelataran parkir ini,  aku dapat melihat dokter Rut keluar dari mobil  SUV. Dia berdiri sejenak, lalu menengok jam tangannya. Tak berapa lama, sebuah Lambhorgini  sport klasik merapat di sisinya dengan anggun, luwes, efesien.
            Seorang pria membelakangiku keluar dari sana. Mereka bersalaman, kaku. Wajah dokter Rut nampak lebih tua dari terakhir aku melihatnya.
 Terakhir? Kapan itu? Yang pasti sudah lama sekali. Ya, aku tak salah menghitung.
            Oh, andai aku dapat bebas menemuinya. Aku ingin sekali sekedar menyapanya,
            ‘Hallo dokter Rut! Apa kabar? Aku begitu rindu. Apakah kau kehilangan diriku?’ kubayangkan dia pasti akan terkejut. Mendengarku, mengatakan sapaan dengan bahasa yang sopan, jelas, dan –sangat manusia-.
            Tapi aku tak mungkin menyapanya sekarang, karena di sisinya ada orang lain. Mereka berjalan terburu.
            “Dokter!” seseorang memanggilnya. Orang itu berlari ke arah mereka. Wajah mereka begitu serius. Aku dapat melihat si pengemudi Lamborghini sport klasik. Tapi aku sulit mempercayai pengelihatanku.
 Dia adalah pak Jan. Orang yang selalu membuatku iri dan cemburu. Ada hubungan apa diantara mereka? Ada urusan apa ‘arsitek’ dunia  periklanan itu ada di sini?
            Jarak kami yang jauh tidak cukup membuatku mampu mendengar pembicaraan mereka. Akupun tak dapat mengikuti gerakan bibirnya karena sudut pandangku yang berganti-ganti. Aku harus mengendap-endap loncat dari ujung pohon yang satu ke ujung pohon yang lain.
            Mereka masuk ke dalam sebuah gedung. Jadi aku kehilangan jejak. Sial.
            Jika aku menemui dokter Rut di dalam gedung, pasti sangat berbahaya. Karena aku merupakan mahluk contoh yang nyaris sempurna, sehingga aku sangat berharga bagi mereka. Dalam keadaan mati, ataupun hidup.
            Jika aku tertangkap hidup-hidup, bukan mustahil aku akan mengalami kehidupan lamaku lagi. Tidak, jika aku berada di Hutan buatan, itu akan semakin mengerikan. Ingat saja keganasan para pemburu itu.
            Jika aku sampai terbunuhpun, tetap saja aku adalah aset berharga bagi mereka. Ini menyangkut rantai DNAku yang unik.
            Kalau begitu aku harus sabar menanti salah satu diantara mereka ke luar. Tapi sampai kapan?          Kuputuskan aku akan menunggu dokter Rut di dalam mobilnya saja.
Semoga dokter Rut akan pulang, sendirian, secepatnya.
***

“Hallo...” aku tak bisa menahan suaraku demi kusadari  dia telah berada di dalam mobil ini. Di sampingku. Pria tua yang menyayangiku. Dokter Rut.
            “Oh... oh.. ough...” jelas sekali dia kaget. Seperti dugaanku, dia langsung menutup dan mengunci mobilnya. Lalu menjalankan mobilnya. Aku bisa melihatnya dokter Rut gugup.
            “Apa kabar dokter?” suaraku terdengar gemetar.  Aku lihat wajahnya menegang. Dokter Rut tetap menjalankan mobilnya.
            “Ya Tuhan... benarkah ini kau? Sebelas?” tanyanya tak percaya, berulang kali dia menengok kearahku.
            “Dan kau bicara?” dia mendesis  dengan cara aneh. Lalu tiba-tiba saja dia membanting stirnya ke kanan. Menyusuri jalan setapak yang dinaungi pepohononan Trambesi.
 Aku tak tahu di manakah lokasi ini. Jantungku berdetak lebih keras. Akan dibawa kemanakah aku? Apakah dokter Rut akan mengembalikanku? Ya tentu saja! Karena dia –selalu- bagian dari kelompok ekslusif para ilmuwan itu.
Tiba-tiba dia menginjak rem, hingga aku terpental ke arah depan. Aku baru menyadari kami berhenti di depan pagar yang tinggi.
Tangannya yang pendek memegang kepalaku, menekannya agar aku menunduk. “Sssshhhh.... menunduklah...!” Dokter Rut membuka jendela, dan mengetikan kunci pintunya.
“Apa yang dokter Rut lakukan?” tanyaku bingung. Tapi akhirnya aku mengerti, dokter Rut melindungiku dari kamera pengintai yang terpasang di pintu masuk.
“Fiuhhhh... “ aku menarik nafas begitu melewati pintu pagar.
“Aku tahu, saat seperti ini  pasti akan tiba, tapi aku tak menyangkanya, akan secepat ini.” Dia tersenyum gamang.  “Apakah ini nyata? Bukan mimpi? Sebelas?” tangan kirinya mengelus pipi bersisikku. Kugenggam tangannya keras bertenaga hingga dia mengerut kesakitan. Kami seperti sepasang kekasih yang baru bertemu.
Aku dapat melihatnya ada air mata mengalir di pipinya.
***



BERSAMBUNG

Rabu, 21 September 2016

TELELOVE 66

PANGERAN. 22


KEMBALI KE ASAL




Di layar telpon genggamku yang kecil ini aku bisa membuat tampilan tiga dimensi lengkap dengan perbesarannya. Aku hanya tinggal berharap bahwa tak akan ada orang mematikan listriknya. Karena penyerentaku sudah lama tak aku isi energinya.
            Aku mulai menggeser-geser peta kota ini, lebih kecil, hingga gambar tiga dimensi gedung Bio-GO ini. Beberapa gedung aku tak mengenalnya. Tapi gedung beratap kubah yang transparan itu.
            Lebih besar lagi.
Lebih besar lagi.
Aku melakukan perbesaran untuk sebuah gambar: sebuah tempat dimana aku dulu menghabiskan waktuku dengan sia-sia. Aku di sana hanya  untuk berjemur, mengelupas, makan, pokoknya segala kegiatan ‘normal’ seorang manusia buatan ‘abnormal’.
            Hutan Buatan!
            Dari proyeksi penyerenta mungilku aku bisa melihat ke dalamnya walau samar. Hutan itu, apa yang berubah? Semakin lebat? Ya terakhir aku ada di sana, silmulasi baru telah mereka lakukan, dengan memasukan manusia buatan  Karnivora, dan menumbuhkan rumput gajah, membiarkannya begitu saja.
            Aku menangkap Ada gerakan di gambarku. Oh apa itu? Di sela belukar vegetasi hutan hujan, sekelompok orang nampak berjalan  mengendap-endap. Ada yang aneh dari penampilan para peneliti itu. Kali ini mereka menggunakan helm, kacamata pelindung yang canggih yang tergabung dengan  head seat yang merupakan alat komunikasi. Kukira, kacamata itu juga bekerja disesuaikan dengan kemampuan mata pemakainya. Aku pernah melihat iklan  tentang kacamata ini. Kaca mata itu  bisa melakukan zoom, dan pencarian berdasarkan panas tubuh mahluk yang lain sekaligus, hingga estimasi jarak dengan objek.  Luar biasa.
Senjata yang mereka bawa bukan seperti senjata berpeluru jarum suntik lengkap dengan biusnya. Senjata itu nampak seperti senjata sungguhan. Sementara yang lain membawa alat panah, layaknya alat panah yang digunakan para atlet  pemanah.
            Wajah mereka nampak tegang. Apakah mereka para pegawai baru? Nampaknya mereka bukan orang-orang yang bekerja disana. Mereka bukan para penembak jitu yang tugasnya mengambil kami untuk diperiksa di ruang laboratorium. Kucoba mencari cara untuk mendengar apa yang terjadi.
            “roger... roger... objek arah jam sembilan... ganti.”
            “Ya, aku melihatnya...”
             Aku bisa mendengar suara mereka! Aku melihat arah yang mereka maksud.
Sekelompok para carnivora. Oh? Oh!
            Mereka pasti para pemburu. Aku coba menghitungnya. Ada sepuluh orang yang terbagi dalam tiga kelompok. Sepuluh pemburu untuk luas hutan buatan yang 100 hektar, dengan populasi buruan... tentu saja aku tak tahu berapa jumlahnya.  Tapi dengan gambaran hutan buatan yang dibuat sealami mungkin. Seharusnya  populasi disana dalam keseimbangan. Dalam neraca ekologi yang  sehat. Perburuan baru  dilakukan untuk  mengkontrol populasi.
            Jadi, mungkin, mereka diturunkan disana sebagai ‘pengontrol’ populasi hewan tertentu? Hewan apa? 
            Kuakui ini adalah ide cerdas para ilmuwan itu. Untuk menutupi kerugian ujicoba yang gagal, operasional pemeliharaan yang mahal, gaji para ilmuwan yang tinggi, mereka jadikan hutan buatan itu menjadi kawasan perburuan!
            Aku pastikan, kegiatan ini pasti ilegal! Mengingat, hutan buatan ini adalah tempat buangan spesimen gagal. Menurut prosedur seharusnya mereka membunuh para mutan dan mansis yang abnormal ini. Tapi mereka malah menyembunyikannya di sini.
            Kau tahu, setelah aku pandai dan menelusurinya, ternyata keberadaan kami dipertahankan karena kami bisa menjadi ‘industri mahluk hidup’  yang menjanjikan.
Kini aku melihatnya sendiri. Hutan Buatanku yang damai tentram itu telah menjadi arena uji nyali para manusia gila yang haus hiburan.
            Mereka pasti orang-orang sombong yang menempatkan diri diatas para penggemar  olahraga pengundang adrenalin semacam arum jeram, panjat gedung, pendaki puncak everest di musim dingin, para penyelam di kutub, para penjelajah perut bumi.
Hanya karena melakukan ini dengan ilegal dan pasti biaya mahal. Selain itu, mereka pasti terayu oleh iklan gombal:
            *menyumbang, demi ilmu pengetahuan*
            Coba lihat cara mereka menaiki pohon Trambesi besar itu! Tanpa ragu mereka menancapkan alat-alat panjat tebing seolah mereka memanjat batu yang tak bernyawa.
            Lalu dari atas sana, mereka membidikan senapannya ke arah gerombolan Carnivora yang sedang berjalan jalan santai.
            Tap! Seekor karnivora buatan  [1]jatuh, dia nampak  mengeram, lalu kejang, teman-temannya menghentikan langkah dan mengelilinginya. Seekor betina carnivore mengendus-endusnya. Lalu mulai menguik, mendesah, kawanan itu lalu diam, menunduk, sebagian lagi terduduk nampak shock.
Saat mereka saling mendekat dalam kerumunan itu, tiba-tiba jasad carnivore yang tertembak itu meledak. Memuncratkan darah kesegala arah. Bukan cuma darahnya memuncrat, tapi juga darah para teman-teman segerombolannya.
Teman-teman carnivore itu telah ikut dalam perjalanan ke alam kematian.
“Oleeeeeeeeee!” terdengar teriakan pemburu yang berhasil menembak jitu. Disahuti oleh  “Oleeeee…”’ dari pemburu lain di arah lain di tempat lain dalam hutan buatan.
 Tak lama dari ledakan pertama, terdengar ledakan ke dua, di arah lain.
Lalu terdengar teriakan pemburu,”Oleeeeeeeee!”
Disahuti, “Oleeeee!” lagi oleh pemburu yang lain.  Dan lagi.
Para  Primata  buatan berteriak-teriak panik. Meloncat-loncat dari pohon satu ke pohon yang lain mencari tempat yang tertinggi, setinggi mungkin. Mereka pasti berpikir para Homo sapiens  itu tak akan dapat mengejar mereka.
Karena Homo sapiens adalah mahluk yang berjalan tegak di atas tanah, sedang primata buatan ini mahluk arboreal. Pohon adalah wilayah kekuasaan mereka.
Mereka duga begitu? Mereka pasti salah!
Tap!
Tembakan sunyi itu memecahkan hipotesa para Primata buatan.
“Oleeeeee…!” teriak pemburu lain.
Disahuti oleh “Oleee…!” dari yang lain.
Para Primata buatan semakin menjerit panic. Pucuk-pucuk pohon berderak-derak menopang goncangan tubuh mereka.
Hutan Buatan yang semula dipenuhi irama nyanyian alam, kini begitu ribut tanpa irama.
***



[1]  Aku sebut saja semua jenis mahluk dalam Hutan Buatan sebagai mahluk buatan, karena semua yang ada disana bukan ‘mahluk sesungguhnya’ yang diciptakan oleh Sang Pencipta.



BERSAMBUNG 

Minggu, 18 September 2016

TELELOVE 65

PANGERAN. 22
KEMBALI KE ASAL



Hanya jiwa  pasrahlah yang dapat merdeka dari segala penderitaan.
Mahatma Gandhi

Di atas gerbong kereta yang melaju cepat, lemaslah aku ditebing takdirku. Terkapar lunglai setelah kejang karena emosi jiwaku memaksa kulitku meluruh. Lalu hujan asam turun mengguyur tubuhku. Kecepatan kereta yang 100km/jam membuat air hujan yang menabrak tubuhku terasa seperti hujan jarum   yang turun dari neraka. Tajam, keras, asam,  menambah kesengsaraan.
            Aku masih setia menempelkan  head set di telingaku. Berharap telpon genggamku  menangkap sinyal. Berharap aku bisa mendengar suara Qonita lagi. Aku seperti manusia bodoh, tentu saja aku tahu jarak dan perbukitan  yang memisahkan kami membuat kami kehilangan sinyal.
            “Aku akan mencari gadis yang mengandung anakku, Qonita.” Aku menjawab kesunyian diseberang sana. Aku telah pandai melakukan rekayasa persepsi sehingga bisa melupakan luka dan sakit proses mengelupasku.
            “Aku harus menemukannya. Menyelamatkannya dari tangan-tangan ilmuwan, agar dia tak melalui saat-saat penderitaan dan kebodohan sepertiku.”
            “Aku harus mencari gadis itu, untuk sekedar meringankan penderitaannya.”
            “Aku harus dapat meyakinkan gadis itu bahwa aku tidak menakutkan, tidak bodoh, tidak kikuk, tidak seperti mansis pada umumnya.’
            “Aku harus membawa gadis itu lari, entah ke mana.”
            “Ya, aku harus bawa gadis itu lari sejauh mungkin sebelum para ilmuwan itu mencelakainya, hanya untuk mengambil –anakku-.”
“Qon... kau masih mendengarku?”
            Tentu saja tidak, sudah beberapa lama kami terputus, lalu aku mengelupas. Kini aku kembali merasakan perihnya.
            Terdengar dari area kumuh yang aku lewati, suara sirine meraung-raung, penanda tingkat keasaman hujannya melebihi ambang aman. Sirine itu memberi peringatan agar orang-orang mewaspadainya.  Bayangkan, manusia normal saja ‘harus’ melakukan pengamanan, sedang aku baru saja mengelupas. Tentang lukaku, mungkin kau bisa gambarkan seperi luka yang ditaburi garam lalu  disiram asam cuka.
Industri sialan! Siapa yang mau bertanggung jawab? Mereka seolah dilindungi oleh alasan  cuaca. Karena polutan mereka terbawa angin entah kemana, dan mengguyur  bumi semaunya sendiri.
            Kalau saja kerja Tuhan seperti ini:
Menghukum langsung para penjahat lingkungan, aku jamin maka rumah rumah mewah pemilik korporasi penghasil polutan itu akan selalu kelabu, karena diliputi ash legam. Lalu taman-taman mereka yang bak surga itu akan nampak kerontang, meranggas hangus, karena penderitaan hujan asam dan terpaksa menghirup polutan.
            Selain itu  kau juga akan melihat mereka seperti mayat hidup. Karena kanker yang disebabkan oleh aneka rupa kimia karsinogenik yang mereka hasilkan di industri mereka.
            Kubayangkan, mereka mengalami kanker tenggorokan karena harus meminum air yang penuh polutan. Kanker paru-paru, atas balasan udara kotor yang mereka ciptakan, Carsinoma adenoid sebagai balasan bagi mereka karena menurunkan daya imun mahluk lain.
            Oh! Terkutuklah mereka....
            Yang telah membuatku begini perih, pedih.
            Bip! Penyerentaku bergetar.  Tiba-tiba saja segala kutukanku pergi, saat wajah keluarga baruku terpampang di penyerentaku.
            Aku baca pesan keluargaku tersayangku:
Karin: ‘Kak Yusufku, tetaplah istiqomah dalam kebenaran, sekalipun pedih. Sepedih kami mencoret namamu di rumah kami. Tapi percayalah, kami menyimpan setiap detik kenangan bersamamu dengan perasaan manis di hati kami. Karin yakin, suatu hari pasti kita akan berkumpul sebagai keluarga lagi.
Karin: K Yusuf, kini  Hati kami, tak sesepi dulu lagi. Kami semua menyayangimu.
Nisa: Bila keadaan aman cepatlah kembali, smoga  Allah akan menuntun kita dalam keadaan yang lebih baik. ‘
Ica: Sial! Aku kangen sekali padamu!
Ilalang : aku selalu sayang kamu.
Ibu RatijaKau pasti tahu semua kata yang kubendung. Hapus semua hal yang menghubungkan kau dengan kami. Demi keamanan semua.
Terpana aku membaca pesan terakhir. Pasti telah terjadi sesuatu sehingga semua beramai-ramai mengirimiku pesan. Tanganku bergetar lemah menghapus pesan dari mereka. Perlahan bibirku bergetar membisikan puji-pujian kepadaNya.
Hanya karena Dialah, hanya karena kebesaranNyalah, semua ini terjadi.
Hujan menderas. Mungkin langit begitu geram melihat bumi, hingga menurunkan hujan asam yang deras seperti ini. Lalu ...
Bip! Wajah Qonita menyala di penyerentaku.
Qonita : waspadalah selalu. Kau akan ke mana? Kabari aku!
Dia pasti tak bisa menghubungiku. Dia juga pasti mencemaskan aku. Ya, aku tahu, dari suaranya. Dari kelembutan hatinya.
Dia ingin tahu aku akan kemana.  Aku sendiri belum pasti. Tapi setidaknya aku harus mencari dokter Rut, untuk mencari tahu, benarkah aku –bisa-dan akan mempunyai anak? Dokter Rut pasti tahu, tentang ‘mimpi indah’ yang sengaja mereka tanamkan pada tidurku, hingga mereka dapat dengan mudah mengambil spermaku.
Ya! Dokter Rut pasti tahu.

***




BERSAMBUNG

Rabu, 14 September 2016

TELELOVE 64

PUTRI. 21


DURI DALAM DAGING








“Ssssstttttttt…. rasanya aku merasakan gerakan mencurigakan.” Wanda menatapku curiga. Saat itu kami sedang makan malam berdua. Sementara si Boy bolak balik merapikan dan membersihkan rumah.
            Deg! Wanda curiga! Kuraba perutku yang tiba-tiba mengencang. Glek, karbohidratku kutelan tanpa dikunyah membuat aku tersedak. Huk... huk...
            “Ssssssttt… haassshhhaaahh.. “ Wanda melotot ke arahku, sepertinya dia marah ketegangannya dipecahkan oleh acara keselekku.
            Oh, apa dia tahu aku HAMIL? Yah tentu saja! Kami sekamar. Dia pasti memergoki sesuatu yang mencurigakan. Permen-permen asamku? Mungkin saat tidur, tanpa kusadari  aku kentut berkali-kali. Karena pencernaan yang kontraksi tidak semestinya? Muntah-muntahku?
 Oh demi Tuhan! Aku selalu berusaha rapi menyembunyikan mualku. Atau dia membaca SMS-SMSku  dengan pak Jan? atau dia tahu passwordku lalu mengacak-ngacak semua yang ada di sana? Dan mungkin kini dia akan mengajukan ‘negosiasi’? negosiasi dalam kamusku untuk subjek bernama Wanda artinya: PEMERASAN.
            Oh Wanda! Dia benar-benar duri dalam daging. Rahimku bergerak mual. Tapi aku harus  berlagak lapar.
            “Ssssssstttt… laki-laki palsu itu!” Wanda berbisik misterius, jantungku nyaris lupa berdenyut.
            “Apa?” syukurlah, ternyata bukan tentang bayi ini.
“ Laki-laki android itu. Si Boy. Robot itu.”
“Maksudmu, apa?” bisikku lega.
            “Kau ingat iklanmu yang kini popular?”
            Aku hanya diam. Oh sialan kau  Wanda! aku kira apa.
            “Kau tahu bagaimana kameramannya  bekerja?”
            Otakku mengkerut tak pasti. Ya adegan ajaib itu! Membuat pemirsa dan si bayi kembar saling menatap, seolah-olah pemirsanyalah yang menggendong si bayi! Otakku mengembang, pasirnya bergerak sesak..
            Kurasakan rahimku bergerak nyeri.
            Wanda mengangguk-angguk, matanya memberi isyarat,  berulang kali melirik si Boy yang hilir mudik membersihkan kamar-kamar.
            “OH!” aku mendengar suaraku menguik.
***

“Jadi, menurutmu, mata si boy itu seperti mata si Yasmin? Dipasangi sebuah kamera pengintai?” Bisikku dengan terburu.
            Wanda mengangguk sambil matanya mengawasi si Boy.
            “Menurutmu siapa kira-kira yang selalu memonitor hasil pantauannya?” aku sama sekali tak ingin menduganya, sekalipun pasir di otakku meneriakan sebuah nama.
            “Menurutmu siapa, bodoh? Ya pemiliknya! Aku sudah periksa di catalog dan baca spesifikasinya, kalau android tipe ini memiliki banyak keunggulan. Termasuk monitoring jarak jauh.” Wanda si gadis cerdas, menampakan bakatnya.
Uhuk! Uhuk! Aku benar-benar tersedak, terbatuk, terkencing, terkentut. Sekali lagi,  kamu harus mengerti, ini pasti terjadi pada wanita hamil yang perkembangan rahimnya mendesak kandung kemih, dan saluran pencernaan.  Oh Tuhan,  memangnya bayiku sebesar apa hingga mampu memompa kandung kemih?
            Aku cepat-cepat mundur dari ruang makan.
***

Di cermin berbingkai mahal, di kamar mandi kamarku yang berinterior Victoria, kutatap wajah kemelutku. Oh Tuhan! Berarti selama ini pak Jan…
            Melihatku tanpa jilbab! Melihatku bernyanyi-nyanyi sambil menari-nari, karena kukira aku melakukannya dengan sebuah Android? Melihatku tidur? Karena seringkali saat  aku bangun si Boy sudah ada di kamar dan sedang menatapku, menungguku dengan segelas susu. Dan aku menganggapnya biasa! Apakah Pak Jan juga melihat aku mencabuti bulu kakiku yang tumbuh panjang tidak semestinya? Pak Jan juga bisa melihatku menarik benang gorden untuk menjadikannya ‘dental floss’?
            Pak Jan juga melihat kegiatanku yang lain?
            O! oooooooooo!
            “Qon! Kamu kenapa?” Wanda menggedor pintu kamar berulang-ulang.
            “Wanda…” ku tarik tangannya. Lalu aku kunci kamar kami.
            Wanda nampak lebih santai.  Sementara aku bolak-balik bingung. Melihat Wanda yang santai tanpa beban, membuatku menjadi sebal. Bagaimana mungkin masalah segenting ini dia masih bergaya seperti kaisar roma di kursi tidurnya dalam sebuah pesta tak masuk akal jaman Romawi kuno?
            Kini aku mengerti kenapa pak Jan menginginkan Wanda ke luar apartemen ini.
            Karena pak Jan, melalui mata si Boy, telah mengamati dan tahu segala polah Wanda yang asli di apartemen ini. Kutatap Wanda dengan perasaan tak karuan, apa dia tidak memikirkan ini? Jangan-jangan kebiasaan mencuri atau memakai barang yang bukan haknya, terpantau oleh pak Jan juga!
            Aku yakin itu.
            “Kau mau bilang, pak Jan mungkin juga telah melihatmu telanjang?” tanyanya padaku.  aku melihat selintas senyum liciknya. Dia pasti bersorak karena ternyata aku telah mempermalukan diriku di depan si Boy android terkutuk.
            Android terkutuk? Haaaa... Tuhan tak mungkin menjebloskannya ke neraka, dia itu Cuma robot! Rakitan rongsokan dari seorang pencipta berotak miring.
            “Ah! Gila! Tentu saja aku tak segila itu, membiarkan ‘benda’ itu menatapku telanjang.”
            “Hahahaha… bagus! Memang sebaiknya kau sadar dan  malu dengan tubuhmu yang gagal berkembang itu.”
            “Wanda tapi…” aku belum sampai membuka adegan-adeganku yang lain saat Wanda bergaya di depan cermin. Hingga aku dapat melihat pemandangan kontras ini.
            Aku dengan wajah kemelutku. Wanda dengan wajah sumringahnya. Kadang-kadang –buatku- dia nampak tidak pas antara kejadian dengan penampilan. Tapi lalu aku mengerti saat dia mulai  mendesis-desis gila di depan cermin:
            “Kalau begitu, aku akan pura pura tidak tahu ‘ada benda android itu’ saat aku melintas dari kamar mandi ke dapur, lalu kemben andukku merosot, maka ‘penontonnya’  akan melihat bidadari aslinya.Bagaimana menurutmu, Qon?”
Tentu saja aku gemas sekali  melihatnya tersenyum iblis di cermin kami.
            “Qon…?”
            “Qon… kamu kan paling kreatif menciptakan adegan yang membuat orang gemas!”
            Oh Tuhan! kenapa aku harus serumah dengan Wanda dan si Boy. Dua jenis mahluk Gila yang berkombinasi menjadikan kerusakan kerja otakku semakin parah.
            “Qon…?”
            Wandaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!

***


BERSAMBUNG

Translator: