Minggu, 18 September 2016

TELELOVE 65

PANGERAN. 22
KEMBALI KE ASAL



Hanya jiwa  pasrahlah yang dapat merdeka dari segala penderitaan.
Mahatma Gandhi

Di atas gerbong kereta yang melaju cepat, lemaslah aku ditebing takdirku. Terkapar lunglai setelah kejang karena emosi jiwaku memaksa kulitku meluruh. Lalu hujan asam turun mengguyur tubuhku. Kecepatan kereta yang 100km/jam membuat air hujan yang menabrak tubuhku terasa seperti hujan jarum   yang turun dari neraka. Tajam, keras, asam,  menambah kesengsaraan.
            Aku masih setia menempelkan  head set di telingaku. Berharap telpon genggamku  menangkap sinyal. Berharap aku bisa mendengar suara Qonita lagi. Aku seperti manusia bodoh, tentu saja aku tahu jarak dan perbukitan  yang memisahkan kami membuat kami kehilangan sinyal.
            “Aku akan mencari gadis yang mengandung anakku, Qonita.” Aku menjawab kesunyian diseberang sana. Aku telah pandai melakukan rekayasa persepsi sehingga bisa melupakan luka dan sakit proses mengelupasku.
            “Aku harus menemukannya. Menyelamatkannya dari tangan-tangan ilmuwan, agar dia tak melalui saat-saat penderitaan dan kebodohan sepertiku.”
            “Aku harus mencari gadis itu, untuk sekedar meringankan penderitaannya.”
            “Aku harus dapat meyakinkan gadis itu bahwa aku tidak menakutkan, tidak bodoh, tidak kikuk, tidak seperti mansis pada umumnya.’
            “Aku harus membawa gadis itu lari, entah ke mana.”
            “Ya, aku harus bawa gadis itu lari sejauh mungkin sebelum para ilmuwan itu mencelakainya, hanya untuk mengambil –anakku-.”
“Qon... kau masih mendengarku?”
            Tentu saja tidak, sudah beberapa lama kami terputus, lalu aku mengelupas. Kini aku kembali merasakan perihnya.
            Terdengar dari area kumuh yang aku lewati, suara sirine meraung-raung, penanda tingkat keasaman hujannya melebihi ambang aman. Sirine itu memberi peringatan agar orang-orang mewaspadainya.  Bayangkan, manusia normal saja ‘harus’ melakukan pengamanan, sedang aku baru saja mengelupas. Tentang lukaku, mungkin kau bisa gambarkan seperi luka yang ditaburi garam lalu  disiram asam cuka.
Industri sialan! Siapa yang mau bertanggung jawab? Mereka seolah dilindungi oleh alasan  cuaca. Karena polutan mereka terbawa angin entah kemana, dan mengguyur  bumi semaunya sendiri.
            Kalau saja kerja Tuhan seperti ini:
Menghukum langsung para penjahat lingkungan, aku jamin maka rumah rumah mewah pemilik korporasi penghasil polutan itu akan selalu kelabu, karena diliputi ash legam. Lalu taman-taman mereka yang bak surga itu akan nampak kerontang, meranggas hangus, karena penderitaan hujan asam dan terpaksa menghirup polutan.
            Selain itu  kau juga akan melihat mereka seperti mayat hidup. Karena kanker yang disebabkan oleh aneka rupa kimia karsinogenik yang mereka hasilkan di industri mereka.
            Kubayangkan, mereka mengalami kanker tenggorokan karena harus meminum air yang penuh polutan. Kanker paru-paru, atas balasan udara kotor yang mereka ciptakan, Carsinoma adenoid sebagai balasan bagi mereka karena menurunkan daya imun mahluk lain.
            Oh! Terkutuklah mereka....
            Yang telah membuatku begini perih, pedih.
            Bip! Penyerentaku bergetar.  Tiba-tiba saja segala kutukanku pergi, saat wajah keluarga baruku terpampang di penyerentaku.
            Aku baca pesan keluargaku tersayangku:
Karin: ‘Kak Yusufku, tetaplah istiqomah dalam kebenaran, sekalipun pedih. Sepedih kami mencoret namamu di rumah kami. Tapi percayalah, kami menyimpan setiap detik kenangan bersamamu dengan perasaan manis di hati kami. Karin yakin, suatu hari pasti kita akan berkumpul sebagai keluarga lagi.
Karin: K Yusuf, kini  Hati kami, tak sesepi dulu lagi. Kami semua menyayangimu.
Nisa: Bila keadaan aman cepatlah kembali, smoga  Allah akan menuntun kita dalam keadaan yang lebih baik. ‘
Ica: Sial! Aku kangen sekali padamu!
Ilalang : aku selalu sayang kamu.
Ibu RatijaKau pasti tahu semua kata yang kubendung. Hapus semua hal yang menghubungkan kau dengan kami. Demi keamanan semua.
Terpana aku membaca pesan terakhir. Pasti telah terjadi sesuatu sehingga semua beramai-ramai mengirimiku pesan. Tanganku bergetar lemah menghapus pesan dari mereka. Perlahan bibirku bergetar membisikan puji-pujian kepadaNya.
Hanya karena Dialah, hanya karena kebesaranNyalah, semua ini terjadi.
Hujan menderas. Mungkin langit begitu geram melihat bumi, hingga menurunkan hujan asam yang deras seperti ini. Lalu ...
Bip! Wajah Qonita menyala di penyerentaku.
Qonita : waspadalah selalu. Kau akan ke mana? Kabari aku!
Dia pasti tak bisa menghubungiku. Dia juga pasti mencemaskan aku. Ya, aku tahu, dari suaranya. Dari kelembutan hatinya.
Dia ingin tahu aku akan kemana.  Aku sendiri belum pasti. Tapi setidaknya aku harus mencari dokter Rut, untuk mencari tahu, benarkah aku –bisa-dan akan mempunyai anak? Dokter Rut pasti tahu, tentang ‘mimpi indah’ yang sengaja mereka tanamkan pada tidurku, hingga mereka dapat dengan mudah mengambil spermaku.
Ya! Dokter Rut pasti tahu.

***




BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: