Minggu, 25 September 2016

TELELOVE 69


PUTRI. 23



PREMATUR


Jadi Wanda dengan sikapnya yang biasa itu. Biasa tebar pesona, biasa banyak lagak, Biasa centil,  jatuh cinta berat pada pak Jan. Dia menderitaan kebutaan. Namanya buta cinta. Cinta butanya  telah membuatnya lupa dari mana dia berasal. Tak heran bila Maya  melayangkan tinju padanya karena sifat ‘biasa’ berlagaknya ini.
            Sementara aku bingung dan marah harus memperlakukan pak Jan seperti apa. Di satu sisi aku bergantung atas perlindungannya, di sisi lain aku begitu marah, kesal, jengkel mengetahui bahwa pak Jan –bisa saja- selama ini mengamatiku saat dia tidak ada bersama kami. Aku sangat berharap, bahwa kesibukannya akan mengubur segala kejahilannya dalam memata-mataiku.
            Kuhela nafasku panjang. Kucoba tenang. Kuatur gemuruh marah, malu, kesal, yang membuat kacau semua  pasir di otakku. Kutenangkan diriku di depan cermin.
 Tenanglah! Aku adalah orang yang tidak berkelas, aku pesek, aku  nonong, aku kuno, aku hitam, aku tidak seksi, bahkan fisikku yang kecil, gagal berkembang, entah karena genetis, atau  kurang gizi. Menurutku nilaiku adalah minus 3 dari skala keseksian 1-10. Tak ada sesentipun dari diriku yang dapat menarik hatinya, yang dapat membangkitkan gairah kejantanannya. Cukup?
            Dari cermin aku melirik ke arah pak Jan yang sedang bekerja di balik laptopnya. Ternyata dia sedang menatapku! Ya Tuhan.
Kualihkan pandanganku pada Wanda yang –biasa berlagak-  ‘tertidur’ di sofa depannya, tentu saja dengan baju tidur yang seadanya. Itu adalah baju tidur Maya yang tertinggal di loundry apartemen ini.
            Aku coba melirik lagi pada pak Jan, dan dia masih menatapku. Bukan melihat Wanda dengan pose yang menggiurkan itu. Apa benar pak Jan tipe pria yang bisa menjaga kehormatanya? Tapi kemudian aku melihat dia berjalan mendekati Wanda. Lalu membungkuk, wajahnya begitu dekat dengan Wanda. Ah! Si Wanda pasti bersorak dalam  hati. Pak Jan mau mencium Wanda? Hah? Apa dia lupa bahwa aku ada di depannya? Atau dia sengaja melakukannya? Untuk apa?
            “Dia benar-benar tidur.” Pak Jan menunjukan aliran air liur Wanda kepadaku. Wajah pak Jajan berkerucut, memberi isyarat jijik.
            Oh Wanda! Aku tak tahu harus tertawa atau prihatin. Aku bergegas mengambilkan selimutnya dari dalam kamar, lalu menyelimutinya.
            “Aku perlu bicara padamu.” Pak Jan memberi isyarat padaku untuk ke balkon. Dia tentu menjaga agar Wanda tak dapat mendengar percakapan kami.
            Tanganku mengepal keras. ‘Aku perlu meninjumu.’ Seandainya aku bisa menyuarakan jerit pasir di otakku.
            Lama kami saling diam. Memandang pemandangan kota yang suram dari balkon mewah kami. Tak ada yang istimewa. Cuma gebyar  tampilan-tampilan  iklan tiga dimensi yang sesak sibuk membuat dirinya lebih istimewa dibanding dengan iklan disampingnya.
            Gelora kemewahan yang dipajang itu menghianati kehidupan gembel dibawahnya.
            “Lihat orang gila itu!” pak Jan menujuknya. Aku hanya menggangguk.
            ‘Qonita! Dia sedang mengalihkan dendammu! Waspadalah! Aku ingin kau meninjunya, bahkan kalau mungkin, mendorongnya dari lantai ini!’
            ‘Ingat, mungkin dia mengintipmu waktu kau berenang di jam khusus itu!’
            Pasir di otakku riuh seperti di ruang sidang parlemen saat dengar pendapat perlu tidaknya harganya BBM dinaikan.
“Dulu sering kali aku ingin tertawa seperti mereka, lepas dari penderitaan dunia.” Pak Jan memulai percakapannya.
“Kenapa? Kelihatannya kehidupan bapak sangat baik.”
Pak Jan menggeleng. “Dulu saya tidak pernah bisa tertawa lepas, Qon.”
 “Bagian hidup bapak yang mana yang bapak sebut menderita? Hingga tak bisa tertawa?”
“Sebelum aku mengenalmu.”
Lalu senyap. Mungkin dia mendengar bunyi ‘glek’ saat aku menelan ludah.
‘Awas Qon! Dia merayumu! ‘
‘Setelah melihat gambar-gambar *pornomu* hasrat lelakinya bangkit, bukan karena kau seksi, tapi karena kau kecil, seperti anak-anak!’
‘Ya, bisa saja dia seorang pedofilia! Dan kebanyakan dari mereka, melakukan hal sadis terhadap korbannya!’
Dengar! Pasir di otakku riuh memperingatkanku, menakut-nakutiku, sambil menghinaku! Ya, karena pak Jan tidak normal, dia mungkin tertarik padaku.
“Maksud bapak, saya seperti badut?”
“Kadang- kadang.” Dia menengok kearahku, dan tersenyum. Sungguh menawan.
“Tapi seringkali sejak kau ada, aku bisa tertawa lepas seperti orang itu. Orang gila yang melepas tawa tanpa jiwanya dengan bebas.”
“Pasti kepahitan hiduplah yang membuat Allah membebaskan dirinya dari penderitaan dengan kegilaan seperti itu.”  aku mencoba mengalihkan pembiacaraan yang mulai membuat aku kacau.
“Sedang kau mengembalikan manisnya kehidupan  kepadaku.” Katanya sambil menatapku. Dia benar-benar berhasil membuatku salah tingkah.
Aku bingung, harus meninjunya atau menjadi tersipu malu dengan rayuannya. Akibatnya adalah perutku yang mengeras. Kuraba janinku.

“bagaimana perutmu?” pak Jan terlihat sedikit cemas, seperti biasanya..





BERSAMBUNG 

Tidak ada komentar:

Translator: